Mereka adalah anak keluarga susah. Ayah mereka bekerja sebagai sopir, buruh serabutan, tukang tagih nasabah koperasi, nelayan, hingga kuli di pasar tradisional yang penghasilannya tak lebih dari Rp 10 ribu per hari.
Hidup mereka serba kekurangan, namun mereka tinggal dalam perhatian dan kasih sayang orangtua yang berlimpah. Orangtua yang rela menghilang beberapa hari untuk ngebut memulung botol plastik, agar tunggakan SPP anaknya segera terlunasi, supaya anak-anaknya bisa ikut ujian dan tidak dipermalukan temannya. Orangtua yang tak banyak bicara, tetapi tak henti menggumamkan doa.
"Yang penting bisa kamu sekolah, biar hidupmu tidak susah seperti kami," begitu rata-rata pengakuan mereka.
Setelah menerima Bidikmisi dan berkuliah, bukan berarti selesai semua masalah anak-anak itu. Mahasiswa Bidikmisi harus berjuang meraih nilai tinggi dan sanggup hidup dengan uang saku Rp600 ribu per bulan. Ada kalanya uang bulanan itu terlambat cair, maka seribu jurus survival mereka lakukan, mulai dari jalan pintas ngutang ke teman, memberi les privat, menjahit kerudung, menjual suara, hingga menjadi motivator muda.
Yang menarik, uang bulanan dari Pemerintah itu ternyata tidak dinikmati sendiri. Mana tega, jika di kampung adik-adik juga butuh biaya? Walhasil, manfaat uang Bidikmisi menjadi berganda, yang menggelinding bagai dana bergulir.
Phillip Anggo Krisbiantoro, mahasiswa Universitas Gajahmada Yogyakarta, ini misalnya. Philip mengaku rela berbagi dengan tiga adiknya di desa. Dia harus turut menopang ekonomi keluarga karena ayahnya hanya kuli bangunan dan ibunya seorang pembantu rumah tangga.
"Walau dapat Bidikmisi, makan saya masih kurang karena saya harus membagi uang dengan adik-adik saya. Jadi, bantuan Rp 600 ribu itu saya bagi dua. Untuk biaya sekolah ketiga adik saya dan biaya hidup saya," katanya di hadapan Mendikbud Mohammad Nuh.
Gugum Gumilar juga demikian. Penerima Bidikmisi tahun 2011 di Universitas Negeri Jakarta ini merasa perlu berbagi rezeki dengan adik-adiknya. Bahkan, ada juga mahasiswa yang cerdik menyisihkan sebagian uang Bidikmisi untuk membesarkan warung bakso ayahnya sehingga lebih layak dan jadi meningkat omzetnya.
Begitulah, setelah akses dibuka, hasilnya demikian nyata. Mereka berharap agar ke depan makin banyak anak keluarga tidak mampu yang dapat dibiayai Bidikmisi. Harapan ini bak gayung bersambut.
Memang, ini bukan basa-basi. Keberadaan program Bidikmisi ini sudah tersurat dalam Undang-undang No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 74 ayat (1) yang menegaskan, “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi".
Kini, karena sudah tercantum di UU (bukan hanya Peraturan Menteri atau Peraturan Pemerintah), berarti kebijakan tentang pendidikan tinggi bagi keluarga miskin bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab negara. Sebuah peluang emas bagi anak keluarga tidak mampu untuk mengembangkan potensi dan menggapai harapan.
Inilah kebangkitan kaum duafa. Karena telah dibiayai oleh negara, kelak mereka pasti tergerak untuk membalas budi kepada bangsanya. Menjadi generasi yang turut mengibarkan panji merah putih lebih tinggi-tinggi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.