Terbukti, Belanda Sukses Menjual "Culture Heritage"!

Kompas.com - 12/08/2014, 15:56 WIB
KOMPAS.com - Alfonzo R. Koapaha mengaku sangat bersyukur. Tahun ini, ia terpilih dalam tim Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung yang diberangkatkan ke Belanda pada Juni 2014 lalu.

Alfonzo terpilih berkat proposalnya berjudul "Capacity Building in Visual Communication Design Methodology based on Traditional Culture Heritage in Supporting and Developing the Indonesia’s Creative Economy". Proposal itu disetujui oleh Nuffic Neso Indonesia dalam program beasiswa Tailor Made selama 3 minggu.

"Kami sangat gembira dan bangga, karena sepanjang yang kami ketahui, baru kali inilah ITB atau sekurang-kurangnya FSRD ITB, dapat mengikuti sebuah program dengan jumlah personil cukup banyak, yaitu 16 orang sekaligus. Lebih seru lagi tim ini terdiri dari Staf pengajar DKV, Desain Interior, Seniman, Kurator Galeri dan pemangku kepentingan," ujar Alfonzo.

Alfonzo mengatakan, keberangkatannya ke Belanda kali ini adalah yang kelima kalinya. Namun demikian, dia mengaku, pengalaman kali ini sungguh berbeda.

"Pada kesempatan sebelumnya fokus saya selalu berkaitan dengan masalah desain komunikasi visual. Kali ini tidak, karena kami akan mendalami dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan culture haritage yang merupakan fokus utama dari pelatihan ini," kata Alfonzo.

Dok Pribadi/Alfonzo R. Koapaha Alfonzo dan teman-temannya sempat melakukan studi kunjungan ke sembilan museum di beberapa kota, antara lain Rijk Museum.
Pada minggu pertama, lanjut Alfonzo, tim tersebut mendapat pelajaran yang berhubungan dengan teori permuseuman. Selanjutnya, pada minggu kedua dan ketiga, mereka mengikuti berbagai pelajaran yang selalu diakhiri dengan diskusi. Mereka bahkan sempat melakukan studi kunjungan ke sembilan museum di beberapa kota, antara lain Stedelijk Museum, Rijk Museum, Tropen Museum (Amsterdam), National Museum of Ethnology (Leiden), kemudian Culture Heritage Agency of the Netherlands/RCE (Rijswijk), RVO, Foundation Digital Heritage Netherlands (Den Haag), Textile Lab Museum and de Pont Museum (Tillburg), serta ke Bronbeek Museum dan Open Air Museum di Arnhem. Dari perjalanan itu Alfonzo mengakui, bahwa Belanda merupakan negara yang unggul dalam memelihara dan mengangkat culture heritage sebagai aset bangsanya.

"Jadwalnya memang amat padat, tapi sangat menyenangkan dan belum lengkap rasanya kalau kami tidak mampir ke Studio Dumbar di Rotterdam. Ini merupakan studio pelopor Avant Garde di Belanda, tempat saya pernah bekerja 27 tahun yang lalu," kenang Alfonzo.

Setiap akhir pekan, ia dan rekan-rekannya mengisi waktu dengan berbagai kegiatan bermanfaat, misalnya mengunjungi Museum Van Gogh (Amsterdam), Museum Escher (Den Haag) dan sebagainya. Bahkan, dengan insiatif anggota tim, mereka berlima, sempat "ziarah" ke makam Ries Mulder di Desa Ijsselstein. Ries  Mulder adalah salah seorang perintis Sekolah Guru Gambar di Bandung, yang sekarang menjadi FSRD – ITB.

Selanjutnya, selama tiga minggu dengan kegiatan yang sangat padat, Alfonzo dan rekan-rekannya mengakhiri kegiatan dengan membuat "Action plan" berupa presentasi dari tiga kelompok dengan pilihan tema berbeda. Kelompok 1 mengambil tema riset berbasis Culture Heritage dan dibuat database, kemudian kelompok 2 membuat Curriculla, yaitu kurikulum berbasis Culture Haritege yang dimasukkan ke dalam mata kuliah dan akan digunakan untuk keperluan internal/eksternal. Adapun kelompok 3, Bandung Contemporitage: Co-Creation, bertugas membuat keluaran berbasis Culture Haritage yang nyata, baik secara fisik maupun gagasan untuk diaplikasikan.

"Kami harapkan bahwa output dari topik di atas akan dapat dimanfaatkan secara optimal di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB," ujarnya.

Ide segar

Alfonzo mengakui, dari program Tailor Made ia dan rekan-rekannya mendapat banyak manfaat. Secara Individu, menurut dia, banyak pengalaman kongkrit yang sulit dijumpai di tanah air, yang sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

"Saya berharap agar teman-teman kolega muda mendapat terinspirasi untuk membuka jaringan baru untuk hubungan studi atau kerja Indonesia dan Belanda yang lebih baik lagi pada masa mendatang," kata Alfonzo.

Sebagai tim dari beberapa program studi yang berlainan, manfaat lain yang diperoleh adalah kerjasama melahirkan banyak ide dan pemikiran baru. Itu menjadi buah dari diskusi-diskusi panjang dan komprehensif.

Alfonzo mengatakan, dalam perspektif seni rupa dan desain culture heritage Belanda tidak mengalami perubahan sejak pertama kali ia berkunjung. Pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakatnya punya komitmen sama untuk menggali dan mengangkat culture heritage dan menjadikan potensi besar untuk "Holland Branding".

"Yang pada akhirnya dapat menyumbangkan pemasukkan yang besar bagi pemerintah Belanda, khususnya dalam sektor ekonomi kreatif, serta menjadi Identitas bagi negeri itu," kata Alfonzo. Alfonzo mengatakan, Indonesia harus mengupayakan hal yang sama dengan Belanda dan dilakukan secara optimal. Pasalnya, Indonesia memiliki keragaman culture heritage yang sangat kaya dan merupakan aset bangsa.

"Yang semakin pasti dan tidak terbantahkan adalah adanya benang merah, pertautan dan jalinan budaya antara culture heritage Belanda dan Indonesia, yang sampai hari ini saling mempengaruhi dan dipengaruhi," ujarnya.

Belanda dan Indonesia, yang sampai hari ini saling mempengaruhi dan dipengaruhi," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau