Guru Abad 21, Belajarlah dari Cokroaminoto, Ki Hajar dan Muslimah...

Kompas.com - 03/05/2015, 08:00 WIB
Oleh Indy Hardono

KOMPAS.com - Pada beberapa buku dan literatur 'Soekarno Sang Proklamator' banyak menyebut nama HOS Cokroaminoto sebagai guru sejatinya. Tidakkah kita penasaran dan bertanya, guru seperti apa yang "menghasilkan" murid sekaliber Soekarno, seorang tokoh besar yang mungkin tidak lahir setiap seratus tahun sekali?

Soekarno menceritakan betapa dirinya belajar banyak dari Cokroaminoto melalui "gelontoran" buku-buku bacaan cukup berat. Buku-buku yang tidak ada habisnya pada saat ia masih berusia 15 tahun.

Ya, dari Cokroaminoto itulah pemuda Soekarno belajar mengarungi luasnya dunia literatur di zaman belum ada internet. Dari Cokroaminoto pulalah pemuda Soekarno belajar bahwa ilmu tidak berbatas, dan hanya niat untuk maju yang membuat seseorang sadar bahwa setiap orang dapat berkelana tanpa batas mencari ilmu (global wareness).

Guru sebagai model dan inspirasi

Cokroaminoto bukan "mengajar', tapi dia menjadi inspirasi. Dia menjadi "model" bagi muridnya. Kata bijak Cokroaminoto yang paling terkenal adalah: "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, menunjukkan integrasi komprehensif antara ilmu akademis, aplikatif, beretika dan bermoral".

Bisa dibayangkan, pendidik sekaliber apakah seorang Cokroaminoto?

Tentu saja, Cokroaminoto bukan sekadar "mengajar", tapi dia mendorong muridnya untuk berpikir kritis (critical thinking). Dia melatih mereka agar melihat semua hal dari berbagai perspektif.

Tak heran, dari tangannya lahir tokoh-tokoh nasional yang mempunyai "warna" berbeda-beda. Sebut saja Semaun dan Kartosuwiryo, selain tentu saja Soekarno. Ketiganya adalah "produk" seorang guru yang memberi ruang seluas-luasnya bagi anak didiknya untuk mengeksplorasi buah pikir, ide, dan gagasan-gagasan, walaupun gagasan itu bisa jadi jauh dari mainstream dan kontroversial.

Cokroaminoto bukan "mengajar", tapi dia mendorong anak didiknya untuk bisa menentukan tujuannya sendiri (self direction). Ia tidak pernah takut menjadi berbeda dan memiliki warna sendiri, walaupun risikonya adalah penolakan dan perlawanan dari lingkungan (risk taker).

Di luar segala kontroversi tentang tokoh-tokoh tersebut, bisa dilihat keberagaman murid-murid Cokroaminoto: Soekarno yang nasionalis, Semaun yang sosialis, dan Kartosuwiryo yang Islam fundamentalis.

Guru sebagai among dan pamong

Guru yang hebat bukanlah guru yang mengharuskan muridnya memberi warna merah untuk bunga mawar atau biru untuk laut. Guru yang hebat bukan karena semua muridnya pemenang olimpiade Matematika, bukan karena semua muridnya diterima di perguruan tinggi negeri. Bukan juga karena semua muridnya jadi dokter atau insinyur. Guru yang hebat bukan pula yang menghasilkan murid "seragam", tapi murid yang "beragam".

Masih ingat cerita ibu Muslimah yang menjadi inspirasi penulis novel 'Laskar Pelangi'? Masih ingat Harun, salah seorang muridnya yang menderita down syndrome?

Muslimah bersedia mendedikasikan waktu, usaha dan kesabaran ekstra bagi Harun. Muslimah meng’among’ murid berkebutuhan khusus itu jauh sebelum konsep insklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus diterapkan di sistem pendidikan modern.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau