JAKARTA, KOMPAS.com - Tawa penonton tak henti bergemuruh memenuhi ruangan Galeri Indonesia Kaya (GIK) Jakarta saat pementasan lenong oleh mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Rabu, 19 Juli 2017.
“Aduh, perut saya sampai sakit,” ujar Maya (27), penikmat seni yang hadir dalam pagelaran bertajuk “Ketawa-Tiwi: Kumpul Seni Tradisi Betawi”, sambil mengusap air mata saking gelinya.
Wanita yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan di daerah Thamrin itu mengaku baru kali ini ia mampu bertahan duduk selama 1,5 jam dalam sebuah pagelaran seni.
“Ceritanya seru dan pemainnya kocak banget,” tutur Maya.
Sebagai kado untuk ulang tahun Jakarta pada Juni lalu, berkolaborasi dengan sanggar Pusake Betawi, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia UNJ menampilkan sejumlah seni Betawi seperti gambang rancag, lenong, dan tari topeng.
Sebagai mahasiswa yang menimba ilmu di tanah Betawi, mereka ingin menunjukkan bahwa kesenian Betawi belum kehilangan "gigi". Artinya, masih bisa eksis di rumahnya sendiri, Jakarta.
“Mahasiswa UNJ datang dari berbagai suku dan budaya. Dengan acara ini, mereka jadi ikut terlibat langsung dengan pengenalan dan pelestarian budaya Betawi,” ujar dosen Program Studi Sastra Indonesia UNJ, Gres Grasia Azmin, kepada Kompas.com.
Gres melanjutkan, jarang-jarang kesenian seperti itu bisa ditampilkan. Bahkan, mahasiswa asli Betawi saja belum tentu benar-benar kenal budayanya kalau tak terlibat langsung.
Meski bukan pegiat seni profesional, dengan bantuan iringan musik gambang dari sanggar Pusake Betawi, para mahasiswa tampil dengan piawai. Candaan dengan logat Betawi yang ceplas ceplos dan apa adanya, sukses mengocok perut penonton, terutama saat pementasan lenong dengan lakon Mirah si Gadis Marunda.
“Semoga acara seperti ini sering ada. Jangan musik-musik Korea atau yang jedak-jeduk melulu,” ujar pengunjung lainnya, Aniek (54).
https://edukasi.kompas.com/read/2017/07/22/08090081/siapa-bilang-seni-betawi-kehilangan-gigi-