Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tjilik Riwut, dari Legenda Kalimantan sampai Wacana Pindah Ibu Kota

Nama ini berasal dari sosok gubernur pertama Kalimantan Tengah, yang menjabat pada periode 1959-1967. Dari berbagai dokumentasi yang masih bisa ditemukan, Tjilik bukanlah gubernur biasa.

Ada sejumlah kisah terkait Tjilik yang menjadi semacam legenda sendiri, selain ketokohannya yang juga melegenda. Wacana lama yang berkali-kali mencuat lagi soal wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya pun punya kaitan erat dengan sosok ini.

Pahlawan nasional asli Dayak

Pada 1998, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Tjilik menjadi pahlawan nasional, berdasarkan SK Presiden No. 107/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Kiprahnya berarti besar bagi Kalimantan dan warganya, juga bagi seluruh Indonesia.

Merujuk situs web Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Tjilik yang lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, ini adalah pendiri Organisasi Pakat Dayak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1938. Dia adalah putra Dayak, tepatnya Dayak Ngaju.

Pakat Dayak disebut memiliki tujuan utama mengangkat derajat Suku Dayak, baik dari ketertinggalan di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun budaya, sekaligus mempersatukan masyarakat Suku Dayak.

Pada 1946, Tjilik dipercaya mewakili 142 Suku Dayak untuk menyatakan sumpah setia mendukung Pemerintah Republik Indonesia. Berlangsung di Gedung Agung di Yogyakarta, sumpah setia dilakukan dengan gelaran upacara adat leluhur Suku Dayak.

Tjilik juga meninggalkan sejumlah jejak sejarah di kemiliteran. Operasi penerjunan pasukan payung di Desa Sarabi di Kalimantan Tengah yang dia pimpin pada 17 Oktober 1947, misalnya, belakangan ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI Angkatan Udara.

Tjilik dan kelahiran Provinsi Kalimantan Tengah

Dalam UU Darurat itu disebutkan bahwa Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin dipisahkan dari Kalimantan Selatan lalu menjadi bagian wilayah Kalimantan Tengah. Pahandut menjadi ibu kotanya. 

Kota Palangkaraya merupakan kota yang benar-benar baru, wilayah yang dibuka dari hutan lebat, yang sebelumnya masuk wilayah Pahandut tersebut.

Pencanangan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya dilakukan Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957, ditandai peresmian Tugu Ibu Kota Kalimantan Tengah di Pahandut di dekat aliran Sungai Kahayan.

Lalu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958, menegaskan keberadaan Kota Palangkaraya. Realisasi pewujudan kota inilah yang berlangsung pada masa Tjilik menjadi Gubernur Kalimantan Tengah.

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Des. 52/12/2-206 tertanggal 22  Desember 1959 menandai pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangkaraya terhitung sejak 20  Desember 1959. Ini bersamaan dengan penunjukan Tjilik sebagai gubernur.

Anak kunci dari 170 gram emas

Sejak itu, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya. Antara lain, mempersiapkan Kotapraja Palangkaraya.

Perlahan, Ibu Kota Kalimantan Tengah yang  semula adalah Pahandut diganti menjadi Palangkaraya. Proses pembangunan kota dari semula hutan lebat tersebut rampung pada medio 1965.

Meski begitu, ulang tahun Kota Palangkaraya tetap merujuk pada tanggal peresmian Tugu Palangkaraya oleh Soekarno, yaitu 17 Juli. Tugu tersebut sekarang dikenal sebagai Tugu Soekarno dan kerap dikaitkan dengan wacana lama pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke sana.

Adapun jejak Tjilik di kota itu diabadikan juga untuk antara lain nama pangkalan udara, bandara, jalan, dan nama Detasemen TNI AU di Palangkaraya.

Wacana pemindahan ibu kota

Roeslan Abdoelgani, yang antara lain pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Nasional, bertutur bahwa Tjilik-lah orang yang pertama kali mengajukan wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya.

Dalam sebuah video dokumenter keluarga—antara lain dibagikan netizen dalam link ini—, Roeslan mengatakan, Tjilik mengajukan wacana tersebut melalui Dewan Nasional. Alasan yang diusung Tjilik bukanlah karena dia orang asal Kalimantan.

Argumentasi Tjilik, posisi Palangkaraya tepat berada di titik tengah Indonesia. Lokasinya pun bisa menjaga ibu kota dari ancaman negara lain. Tantangan yang dihadapi pada saat itu, belum tersedia jalur transportasi yang memadai ke kota itu.

"(Wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya) ini gagasan Tjilik Riwut yang diterima seluruh anggota Dewan Nasional," ujar Roeslan dalam video tersebut.

Menurut Roeslan, Tjilik adalah sosok yang setiap pandangannya di sidang-sidang Dewan Nasional dinilai sangat berbobot. "Sangat dihargai Bung Karno dan anggota-anggota lainnya," ujar dia.

Saat wacana pemindahan ibu kota itu muncul, tutur Roeslan, usulan yang muncul menyebutkan beragam kota, termasuk Subang di Jawa Barat. Namun, kata dia, gagasan Tjilik lah yang membuat Bung Karno tercengang.

Menurut Roeslan, tugu yang menandai Palangkaraya dan wacana pemindahan ibu kota negara memiliki nama Tugu Dewan Nasional. Rencananya, tugu itu bakal menjadi pusat lokasi ibu kota negara yang baru.

"Sayangnya, ganti-ganti kabinet tak lagi memikirkan (wacana pemindahan ibu kota) itu," tutur Roeslan.

Dari sosok sederhana hingga gua pertapaan

Cerita soal sosok Tjilik antara lain diungkapkan AA Baramuli dalam video dokumenter yang sama. Menurut dia, Tjilik adalah orang sederhana, yang itu tak berubah sejak zaman perjuangan hingga mendiang menjadi gubernur bahkan anggota DPR dan MPR.

Meski begitu, banyak referensi tak melewatkan eratnya sosok Tjilik dengan angka 17. Berbagai momentum kehidupan Tjilik mengandung unsur angka 17. Bahkan nama istri Tjilik, Clementine Suparti, memiliki 17 huruf.

Sosok Tjilik juga makin lekat dengan nilai ketidakbiasaan saat dikaitkan dengan sebuah situs pertapaan yang sekarang bernama resmi Gua Pertapaan Pahlawan Nasional Tjilik Riwut. Sejumlah cerita pun menyebut Tjilik pernah menjelajahi Kalimantan hanya dengan berjalan kaki.

Salah satu dari 17 penghargaan yang pernah didapat Tjilik berasal dari Kawedanan Sampit Timur (Kasongan) bahkan menyebut dia sebagai sosok Dewa Petir.

Penghargaan tersebut selengkapnya  berbunyi "Anak Nyaru Hapatar Batu, Antang Liang Habalu Kilat, Mangkalewu Bukit Batu" yang kurang lebih berarti "Dewa Petir bertangga batu, Burung elang berambut kilat, Penghuni Bukit Batu".

Kisah-kisah tentang sosok Tjilik dapat pula ditelusuri antara lain melalui situs web milik Nila Riwut, salah satu putri Tjilik, di link ini.

https://edukasi.kompas.com/read/2017/08/09/05033961/tjilik-riwut-dari-legenda-kalimantan-sampai-wacana-pindah-ibu-kota

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke