Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peter van Tuijl, Pendidikan dan Refleksi Era Soeharto!

Sebagai pemegang gelar master bidang Modern Asian History and the Economy of Developing Countries di University of Amsterdam, Belanda, Peter memang ahlinya untuk bidang civil society.

Dia "kenyang" menerbitkan sejumlah artikel dalam jurnal akademik dan media mengenai peran LSM, transnasional masyarakat sipil, hak asasi manusia, akuntabilitas LSM serta perkembangan sosial dan politik di Indonesia.

Peter memulai itu sejak era pemerintahan represif Soeharto. Aktivitasnya membawa perkenalan yang baik dengan almarhum Adnan Buyung Nasution, almarhum Munir, serta Todung Mulya Lubis.

"Saksi pernikahan saya itu almarhum Gus Dur. Saya lalu masuk Infid dan berkumpul sebagai komunitas LSM yang ingin sedikit lebih kritis. Maklum, itu zaman Soeharto," kata Peter yang pernah menjabat Sekretaris Eksekutif Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia atau International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Peter, yang juga pernah menjabat Direktur Eksekutif Kemitraan Global untuk Pencegahan Konflik Bersenjata (GPPAC), menuturkan di antara 2000-2007 dia tinggal di Jakarta. Dia bekerja di UNDP dan menjadi penasihat teknis senior dalam memerangi korupsi di Kepolisian Negara Republik Indonesia di bawah pengawasan Program International Criminal Investigative Training Assistance (ICITAP), Departemen Kehakiman Amerika Serikat.

Sebelumnya, Peter bekerja sebagai Senior Advisor dengan OxfamNovib. Konsentrasinya pada pengembangan kapasitas advokasi LSM, dan menjabat Sekretaris Eksekutif untuk Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia (INFID).

Bersama rekannya, Lisa Jordan, pada 2009 Peter menerbitkan buku "Akuntabilitas LSM: Politik, Prinsip dan Inovasi". Di buku ini dai memaparkan bahwa sebagai segmen masyarakat sipil yang tumbuh paling cepat dan tampak menonjol di dalam arena politik global, LSM kerap diserang karena dianggap "tidak akuntabel.

Di situ Peter melakukan penyelidikan pertama yang komprehensif mengenai isu-isu dan politik akuntabilitas LSM di semua sektor. Lewat buku ini, Peter menawarkan penilaian terhadap perangkat-perangkat kunci yang tersedia mencakup akuntabilitas legal LSM. 

Refleksi Soeharto

Pekan lalu, awal Agustus 2017, Peter resmi menjabat Direktur Nuffic Neso Indonesia yang baru. Dia menggantikan Mervin Bakker yang menjabat sejak 2012.

"Bagi saya, akhir-akhir ini, mengurus pendidikan menjadi semacam refleksi hidup saya sejak zaman Soeharto. Saya ingin sekali berbuat sesuatu untuk pendidikan di Indonesia," ujar laki-laki kelahiran 6 Juni 1958 itu.

"Kenapa, karena era pemerintahan Soeharto itu terlalu represif untuk anak-anak Indonesia. Tak banyak orang Indonesia bisa keluar negeri untuk sekolah. Tidak ada alokasi besar untuk beasiswa bagi anak-anak Indonesia," tambahnya.

Kini, semua itu berubah. Pada Sabtu (5/8/2017) kemarin, Peter terkejut melihat lebih dari 350 pelajar Indonesia berkumpul di Eramus Huis Jakarta untuk mengikuti acara Pre Departure Briefing yang rutin digelar setiap tahun oleh Nuffic Neso Indonesia.

Menurut dia, semakin terbukanya informasi pendidikan sejak reformasi atau runtuhnya Pemerintahan Soeharto pada 1998 telah memberi pemahaman baru bagi pelajar dan masyarakat Indonesia, bahwa beasiswa pendidikan tinggi di luar bisa dinikmati semua orang.

Lewat Nuffic Neso, lanjut dia, upaya menjembatani kebutuhan studi pelajar Indonesia sudah berlangsung sampai hari ini. Tapi, meski setiap tahun semakin banyak pelajar Indonesia menimba ilmu ke Belanda, Peter mengaku masih belum puas.

"Saya tidak ingin lagi cuma kuantitas, tapi juga kualitas. Ada banyak talenta di Indonesia, saya yakin itu bisa dicapai," kata Peter.

Peter mengatakan ada beberapa aspek yang masih menjadi prioritas hubungan RI-Belanda, salah satunya pertanian. Dari sektor ini, Belanda punya Wageningen University.

"Dalam peta ekonomi Indonesia, agriculture menjadi sangat penting. Sebetulnya, cukup banyak mahasiswa ingin berkunjung ke Wageningen, maka keinginan itu harus diperkuat. Satu lagi, pariwisata juga menjadi lebih penting sekarang ini untuk Indonesia," tambah Peter.

Selain pariwisata, manufaktur di Indonesia juga belum maksimal untuk diperkuat dari sisi pendidikannya, meskipun sumber daya manusia untuk kebutuhan itu sangat tinggi.

"Kita berkaca saja pada olahraga. Saat ini Indonesia seakan ada dalam kondisi frustasi tinggi dalam prestasi olahraga. Kenapa, karena di olimpiade saja selalu tidak mendapat banyak emas. Negara sebesar Indonesia tidak muncul di kancah global seperti olimpiade, kenapa, itu pertanyaannya," kata Peter.

Dia mengakui, semua itu berhubungan dengan profesionalisme. Peter mengatakan, akan banyak poin untuk memperbaiki persoalan itu bersama-sama Belanda.

"Di belanda juga kami akan banyak belajar dari Indonesia. Saya rasa senang, jika kami bisa saling berbagi untuk terus mendukung mahasiswa Indonesia. Kami bikin hubungan satu level untuk bikin riset, magang, pertukaran, short course dan lain-lainnya. Pekerjaan rumah kita masih banyak," kata Peter.

Menurut dia, perguruan tinggi Indonesia harus punya hubungan sekonkret mungkin dengan pihak swasta, terutama soal profesionalisme para lulusannya. Perlu dicamkan, bahwa setelah lulus kuliah tugas seseorang itu belum selesai, karena dia masih harus berhubungan dengan dunia luar, tetap banyak membaca buku, dan terus bergaul menjalin network.

Dia mengaku kini bisa angkat topi dengan komitmen pemerintahan Presiden RI Joko Widodo yang sudah lebih besar memberi ruang untuk beasiswa. Ada 60.000 mahasiswa Indonesia sudah menikmati beasiswa LPDP.

"Itu sangat bagus. Komitmen sudah serius, tinggal waktu untuk terus belajar. Proses seleksi beasiswa misalnya, itu satu contoh. Apakah anak-anak di Wamena sudah tahu ada beasiswa LPDP? Ini tugas kami di Neso," kata Peter.

https://edukasi.kompas.com/read/2017/08/10/13114851/peter-van-tuijl-pendidikan-dan-refleksi-era-soeharto-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke