Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Digitalisasi, Upaya Menjaga "Harta Karun" Pencinta Alam Indonesia

Semuanya foto-foto "zaman doeloe" kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Dari foto tahun 1970-an sampai akhir era 1990-an. Warnanya rata-rata sudah terlihat memudar, tapi masih terlihat jelas.

Yayak lalu menekan tombol alat pindai itu, dan sekelebat muncul cahaya. Tak lama berselang, foto dari slide positif itu muncul di layar komputer.

"Foto-fotonya masih bagus-bagus. Cuma, ya itu, sudah memudar. Sekarang ini masih tahap scanning slide," kata Yayak, Koordinator Teknis Tim Digitalisasi Dokumentasi Mapala UI, saat ditemui di rumahnya, akhir November 2017 lalu.

Saya sendiri sebelumnya memang sempat melihat beberapa kali proses digitalisasi foto-foto berbentuk slide positif. Yayak bercerita, perlahan-perlahan foto-foto itu berhasil dialihmediakan.

"Kalau foto slide sudah berhasil dipindai semua. Jumlahnya sekitar 9.000-10.000 buah untuk slide positif, foto tercetak 4.000-5.000, slide negatif ada 3.000. Ini karena baru beberapa hari dikerjakan," kata Yayak.

Proses alih media foto-foto "jadoel" Mapala UI itu terus berlanjut. Foto demi foto dengan beragam obyek kegiatan bersejarah Mapala UI didigitalisasi. Beberapa di antaranya masih tercatat dalam sejarah kegiatan alam bebas di Tanah Air, antara lain Ekspedisi Puncak Carstensz 1972, Ekspedisi Seven Summit Mapala UI, Ekspedisi Sungai Tripa, dan lainnya.

Semua foto-foto itu kini hadir dalam bentuk digital. Maka, mata rantai kerusakan "harta karun" Mapala UI, dan sejarah alam bebas Indonesia setidaknya sudah terputus.

"Sebenarnya keinginan digitalisasi ini sudah ada sejak 1,5 tahun ketika mau bikin buku tentang angkatan di Mapala. Karena waktu itu kita mau pinjam foto di sekretariat, ternyata kondisinya cukup parah akibat penyimpanannya tidak bagus, sudah kelihatan mulai rusak, berjamur dan sebagainya. Memang, itu cuma persoalan penyimpanan, tapi kan itu yang umum terjadi di kelompok pencinta alam, yaitu persoalan pendokumentasian. Maka, kami bersepakat setelah buku itu jadi, kita lanjut ke foto-foto, karena ini memang harta karun Mapala UI," tambahnya.

"Kan gak ada foto gw-nya," begitu ungkapan yang mungkin tepat.

Yayak menuturkan, semua koleksi itu ada di sekretariat Mapala UI di Kampus UI, Depok.

"Kalau foto slide itu kondisinya 30-40 persen on the way ke rusak. Ada yang berjamur parah, kalau berdebu sih sudah pasti. Kalau dibilang berdebu, hampir semuanya berdebu, dan kami berusaha membersihkan, tapi kalau jamur tidak bisa. Untuk foto negatif sedang dikerjakan. Mungkin terdeteksi sekitar 15 persen yang rusak," tambahnya.

Tak terurus

Proses digitalisasi foto-foto bersejarah Mapala UI itu membuat ingatan saya terlempar ke belakang, beberapa tahun silam ketika menyelesaikan skripsi untuk jurusan Ilmu Perpustakaan berjudul "Restorasi Digital Koleksi Foto Mapala UI".

Berbulan-bulan saya melakukan proses restorasi digital foto-foto Mapala UI. Mulai pemilahan kerusakan foto, alih media, hingga memperbaiki kualitas foto yang rusak menggunakan perangkat lunak Adobe Photoshop.

Potensi kerusakan foto-foto itu pun sebetulnya sudah terlihat ketika saya melakukan observasi ke Sekretariat Mapala UI. Kondisi foto yang berantakan tak terurus bisa terlihat dengan mudahnya.

Berdasarkan hasil observasi, saya menemukan kerusakan foto seperti terlipat, terkelupas, menyuram, degradasi warna, berjamur, bernoda, lengket, dan kerusakan lain akibat kesalahan penanganan serta penyimpanan yang tak sesuai.

Saat itu penyimpanan foto hanya diletakkan di lemari besi. Tak ada pendingin ruangan yang bisa menjaga kelembaban dan suhu udara.

Mary Lynn Ritzenthaler dalam bukunya Preserving Archives and Manuscripts (1993) menyebutkan, standar yang diterapkan untuk mencegah kerusakan bahan koleksi seperti film adalah lingkungan fisik yang ideal untuk material bahan koleksi film yang meliputi kelembaban relatif dan temperatur yang terkontrol udara bersih dengan sirkulasi baik, sumber penerangan  terkontrol dan bebas jamur, serangga, serta gangguan binatang pengerat.

Tim digitalisasi dokumentasi Mapala UI yang terdiri dari anggota internal Mapala UI lintas pendidikan dan pekerjaan kini sedang bahu membahu menyelamatkan kepingan demi kepingan sejarah organisasi mahasiswa pencinta alam tertua itu dalam bentuk foto.

Ya, bicara Mapala UI memang mau tak mau bicara sejarah dunia kepecintaalaman Indonesia. Istilah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, mungkin ada benarnya.

Digitalisasi, kendala pencinta alam Indonesia

Masalah tentang pelestarian dan pendokumentasian foto-foto "jadoel" tak hanya dialami oleh Mapala UI yang kini berumur 53 tahun. Pahitnya proses, pengelolaan berkelanjutan, dan sumber daya manusia yang mumpuni pun menjadi faktor utama dalam kegiatan pengelolaan foto "jadoel" itu.

Setidaknya hal itu juga dialami oleh organisasi pencinta alam yang berumur di atas 40 tahun seperti Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gajah Mada (Mapagama UGM) serta Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri.

Ketua Umum Mapagama UGM, Manto Sitindaon, menuturkan Mapagama UGM sebetulnya telah memulai digitalisasi sejak 2004. Dia menyebut kesulitan seperti proses pemindaian, pembuatan metadata foto, kerusakan foto, dan minimnya informasi tentang foto "jadoel" adalah beberapa kendala utama harus dihadapi.

"Kalau SDM teknisnya (memang) kurang mengerti. Kalau dulu yang pertama digitalisasi itu angkatan 2002, Mas Agus. Dia hobi fotografi, punya video (tutorial). Awalnya, dia orang yang memberikan wawasan cara (mengelola foto) itu. Di situlah kekurangan kami, di bagian kearsipannya," kata Manto.

"Yang pertama berjamur karena lembab, juga memudar. Penyimpanan foto dilipat. Pengarsipan juga tak seideal itu untuk menyimpan koleksi. Kami belum mengerti. Kami juga sharing dengan teman-teman (jurusan) Kearsipan UGM. Kami akui kompetensi kami kurang. Itu tantangan ke depannya (untuk mengelola foto jadoel)," ujarnya.

Ketua Umum Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri, Andi Angga Kusuma, turut berkeluh kesah terkait pelestarian foto-foto "jadoel". Dia mengatakan, Wanadri juga mengalami kesulitan dalam tahap pengarsipan seperti alih media dan penyimpanan foto. Plus, kesulitan pendataan lantaran banyak kehilangan koleksi foto.

"Kesulitannya di pengarsipan, dan juga waktunya juga lelah untuk mengurus koleksi foto-foto itu. Jadi, harus satu persatu scan koleksi foto. Kadang, ada juga foto yang sudah pernah di-scan. Jadi, kami dua kali kerja," kata laki-laki yang akrab disapa Pete itu.

Memulai sejak 2013, Wanadri kini berhasil mengalihmediakan ribuan foto berbagai format ke dalam bentuk digital. Banyaknya foto itu menimbulkan masalah pada media penyimpanan. Pemilihan media penyimpanan ribuan foto itu pada akhirnya juga menimbulkan masalah baru.

"Hardisk waktu itu tak pernah bisa digunakan. Waktu itu model hardisk yang dicolok ke listrik. Sudah yang ukurannya 10 terabyte. Mau simpan di Icloud juga masih pikir-pikir lagi soal urusan server. Foto-fotonya ada ribuan. Tapi, nanti harus saya konfirmasi ulang lagi," ujarnya.

Pentingnya foto bersejarah

Seperti halnya Mapala UI, sebagai organisasi penjelajah alam tertua di Indonesia, Wanadri,-- yang juga berusia 53 tahun, pun menganggap pentingnya dokumentasi foto "jadoel" yang menyimpan perjalanan sejarah organisasi.

Pete menyebut koleksi foto bersejarah Wanadri sangat penting. Hingga pada 2013, Dewan Pengurus Wanadri 23 membuat media data center untuk mendigitalisasi arsip-arsip foto mereka.

"Yang menjadi latar belakangny,a ya, karena pengelolaan data di Wanadri tidak diurus secara profesional sehingga pengamanan terhadap data juga sangat rentan hilang," ujarnya.

"Sudah dibua soft file semua dan disimpan di sekretariat dalam bentuk hardisk. Slide positif disimpan di tempat senior yang menangani. Sekretariat tak lagi menyimpan slide positif. Jadi, pengelolaan fotonya kita masukkan inventaris, bagian kerumahtanggaan, baru kemudian diatur dan disimpan. Setiap tahun dicek keadaannya. Masih ada atau tidak," kata Manto.

Ketua Umum Mapala UI, Yohanes Poda Sintong Siburian, mengatakan proses digitalisasi ribuan koleksi foto Mapala UI adalah hal penting dilakukan. Tanpa proses itu, menurut dia, koleksi foto akan rusak seiring perkembangan zaman.

"Foto Mapala UI itu adalah kekayaan dan aset. Kami memang harus memerhatikan itu, karena sejarah itu merupakan kebanggaan dan pelajaran yang tak semua orang punya. Foto-foto kami itu bagian dari perjalanan sejarah Mapala di Indonesia," kata mahasiswa yang akrab disapa John.

Menurut dia, sebagai salah satu pelopor pencinta alam di Indonesia, Mapala UI memiliki segudang foto yang menjadi bagian sejarah kepencintaalaman di Tanah Air. John menyebut dalam koleksi foto itu tersimpan beragam cerita perjalanan warga negara Indonesia ke daerah-daerah yang ada di Indonesia dan di seluruh dunia.

John menekankan bahwa masih banyak yang menyepelekan dokumentasi foto "jadoel" di tengah kemudahan akses fotografi saat kini. Mapala UI belajar dari keterlambatan untuk menyadari betapa berharganya cerita yang ada di dalam foto.

"Seharusnya itu sudah bisa disadari sejak awal dan bisa di-maintain dengan rapi sebagai organisasi," tambahnya.

Ke depannya, lanjutnya, Mapala UI bermimpi untuk membuat museum pencinta alam Indonesia. Rencana tersebut bisa terintegrasi dengan Universitas Indonesia maupun dengan pencinta-pencinta alam di Indonesia.

"Atau, mungkin pencinta alam di dunia kami mewakili Indonesia, sangat mungkin. Tapi, kami mulai dengan pameran di 2019. Pameran ke masyarakat luas, karena seperti saya sebutkan, foto-foto ini merupakan bagian dari sejarah Indonesia," ujarnya.

Dari semua rencana itulah, "harta karun" dunia pencinta alam Indonesia tetap terjaga, entah sampai kapan...

https://edukasi.kompas.com/read/2017/12/17/22532541/digitalisasi-upaya-menjaga-harta-karun-pencinta-alam-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke