Salin Artikel

Murid Penganiaya Guru, Pelaku atau Korban?

Menjadi ramai karena kemudian sang guru meninggal. Karakter seperti apa? Mental seperti apa? Ketika murid sudah mulai menganiaya gurunya? Jangan-jangan kasus kekerasan dengan penganiayaan ini hanya fenomena gunung es.

Pemerintah melalui anggaran jumbonya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semestinya melihat kasus ini secara serius. Menurut saya ini kasus yang sangat..sangat serius. Apa yang salah? Sistemnya? Gurunya? Pola asuh orangtuanya? 

"Betapa pendidikan karakter budi pekerti masih jadi PR besar dalam proses pendidikan kita,"  kata Jokowi saat membuka Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayan di Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018). Dari jaman reformasi sepertinya pendidikan karakter masih saja menjadi PR.

Saya ingat betul waktu saya masih kelas dua SMA. Karena ngobrol di kelas saat pelajaran, guru saya tiba-tiba teriak "Kamu! Keluar!" sambil menuding jidat saya. Saya lalu keluar dengan menunduk, menatap wajah guru saya yang marah saja saya tidak berani.

Lain lagi ketika masih SMP, saya dan salah satu teman saya waktu jam pelajaran, ngeloyor ke parkiran sepeda dan menggemboskan ban beberapa sepeda teman saya yang lain. Tiba-tiba pak guru sudah berdiri di ujung parkiran sepeda, tanpa bicara apa-apa, hanya menatap tajam kami berdua, sambil berkacak pinggang.

Tanpa diteriaki pun kami mundur teratur lalu lari karena kami masih punya rasa hormat terhadap guru karena memang waktu itu saya rasa guru-guru saya sebagian besar punya wibawa, dan yang paling penting adalah, kami tahu yang kami lakukan memang salah.

Apakah benar yang dikatakan Kak Seto seperti Senin 5 februari yang lalu bahwa MH (17 tahun),sang pelaku penganiayaan ini hanya korban? Apakah benar demikian? Pemerintah yang salah?

(Baca: Kak Seto Anggap Siswa yang Aniaya Guru Hingga Tewas adalah Korban)

Jelas iya. Tapi tidak pas kalau kita hanya menuding pemerintah. Munculnya kekerasan fisik selalu dimulai dari kekerasan verbal. Kapan terakhir kali kita saling mencaci maki di sosial media? Kemarin? Atau malah beberapa menit yang lalu?

Kita pikir anak-anak kita, adik-adik kita, ponakan-ponakan kita yang masih sekolah dan kesana kemari juga menenteng smartphone itu tidak membacanya?

Paparan kekerasan verbal pada anak akan selalu membekas pada pikiran anak. Pada remaja, risiko kekerasan verbal ini termanifestasi menjadi kekerasan fisik akan jauh lebih besar.

Masa remaja (adolescent) ini masa yang unik, karena pada masa ini seseorang tidak bisa disebut anak (child) sekaligus tidak bisa juga disebut dewasa (adult).

Masa Kritis

Dalam teori perkembangan psikososial Erikson (1998), nama teorinya diambil dari nama Erik Erikson, ahli psikoanalisis, profesor psikologi dari Harvard University. Usia 17 tahun masuk tahap "Identity vs Role confusion" yang rentang usianya 13-19 tahun.

Pada tahap ini seseorang mengalami masa krisis, masa ini merupakan peralihan masa anak-anak dengan masa dewasa. Remaja pada umumnya mencari identitas diri, jati diri, mulai memiliki tokoh idola yang berusaha ia representasikan dalam dirinya.

Secara psikososial menjauh dari orangtua yang ia anggap sebagai tokoh "masa lalu" dan berpaling pada lingkungan atau teman-teman sebayanya.

Umumnya sebagian orangtua sudah menyadari bahwa masa balita adalah masa kritis perkembangan otak. Namun penelitian menunjukkan masa remaja juga merupakan masa kritis.

Kehidupan anak usia dua tahun dengan anak usia 14-18 tahun ada kemiripan. keduanya merupakan pribadi-pribadi yang gelisah.

Tara Swart, neuroscientist dan peneliti dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa traumatik yang terjadi di usia balita atau remaja lebih beresiko mempengaruhi perkembangan otak secara permanen.


Pada anak dua tahun, proses sinapsis dalam neuron otak bergerak sangat lentur. Pada tahap ini pula terjadi proses perkembangan yang sangat penting : kemampuan bicara. Otak bekerja di atas rata-rata ketika anak mulai belajar bahasa. Ruang pemahaman tiba2 “meledak” jauh lebih luas dibandingkan masa sebelumnya. Pada tahap ini trauma emosional (kekerasan, pengabaian, dll) bisa mempengaruhi perkembangan neurologis.

Begitu pula pada masa remaja. Otak mulai melakukan pekerjaan “bersih-bersih”. Ketika itu sinapsis-sinapsis yang “tidak perlu” akan dihapus.

Hal ini untuk mendukung aktifnya otak depan (frontal lobes). Untuk pertama kalinya, seseorang akan mulai memahami konsep-konsep pemikiran yang lebih kompleks seperti interaksi sosial dalam konteks yang lebih luas, politik, ideologi, filosofi kehidupan, dan lain-lain.

Biasanya pada masa ini seorang remaja punya visi untuk mengubah dunia atau hal2 lain yang sifatnya mempertanyakan perannya untuk masyarakat. Pada masa transisi yang labil ini remaja mudah terpapar perilaku negatif. Jadi apa yang harus dilakukan? Apakah kita perlu belajar sistem pendidikan ke Jepang, ke Korea, atau ke Finlandia? Bisa saja.

Tapi kalau kita baca-baca lagi tulisan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, kita mungkin tidak perlu jauh-jauh studi banding ke luar negeri.

Sistem Trisentra

Delapan puluh tiga tahun yang lalu, dalam sebuah artikel di majalah “Wasita” terbitan 1935. Ki Hajar Dewantara sudah menekankan tiga hal maha-penting yang menjadi pusat pendidikan yaitu : alam-keluarga, alam-perguruan (sekolah), dan alam pergaulan pemuda/i.

Ki Hajar menyebutnya Sistem Trisentra. Pendidikan tidak hanya muncul di lingkungan sekolah. Sekolah hanya salah satu wahana pendidikan. Inti pendidikan karakter dan pengembagan pengetahuan adalah trisentra lingkungan keluarga-sekolah-pergaulan. Ketiganya tidak bisa dipisahkan.

Keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Tahap perkembangan anak sejak lahir hingga usia 6 tahun pada umumnya berpusat pada keluarga, dimana anak pertama kali belajar secara sosial, kognitif, dan psikomotor. Pada masa ini fondasi karakter anak terbentuk.

Secara insting mulai usia 2 tahun, anak sudah mulai melakukan observasi dan imitasi perilaku dengan orang-orang terdekatnya yaitu orangtua, ayah dan ibu.

Semua  perilaku, verbal maupun nonverbal seperti kata-kata, mimik wajah, aktivitas fisik, baik yang dilakukan orangtua maupun yang dilihat dari televisi, gadget, atau orang lain selain ayah dan ibu akan dengan mudah diserap dan dicontoh oleh anak.


Sebagai ilustrasi perkembangan otak anak usia golden age ini seperti spons yang menyerap semua informasi yang ada disekitarnya.

Pusat pendidikan yang kedua adalah sekolah. Istilah guru, yang digugu (ditaati) dan ditiru harus dibedakan dengan istilah pengajar. Pengajar hanya memberikan pengetahuan kognitif, pemberi ilmu-pengetahuan.

Sedangkan guru bertindak tidak hanya sebagai pengajar, namun juga sebagai contoh karakter dan budi pekerti (karaktervorming). Istilah Ki Hajar, sebagai pemimpin laku-adab.

Sistem sekolah yang hanya sebagai pabrik ilmu pengetahuan tidak memiliki jiwa, dan mengabaikan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang berbudi pekerti. 

Saya beranggapan ada korelasi yang kuat antara karakter guru dan karakter siswa.  Jangan-jangan banyak perilaku siswa yang menyimpang, karena juga ada gurunya juga berperilaku menyimpang.

Mulai remaja atau masa puber mulai muncul pusat pendidikan yang ketiga yaitu alam pergaulan. Pada masa ini anak (remaja)  mulai “menjauh” dari orangtuanya.

Remaja umumnya lebih percaya dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya, kalau orangtua tidak mulai mempersiapkan diri. Remaja secara perlahan mengalihkan tolok ukur hidupnya dari orangtua kepada kelompok sebayanya.

Pengaruh teman sebaya (peer) memainkan peranan penting yang menentukan perkembangan perilaku. Remaja yang menerima pengaruh negatif teman sebaya (negative peer influence) akan mengembangkan perilaku antisosial, termasuk kekerasan, sebaliknya remaja yang menerima pengaruh positif teman sebaya (positive peer influence) merupakan faktor protektif terbaik menghindari perilaku menyimpang.

Apabila pada masa sebelumnya (alam-keluarga dan alam-perguruan), orangtua dan guru dituntut untuk memberikan pendidikan, melakukan kontrol perilaku, memberikan pengetahuan mengenai benar-salah, baik-buruk.

Namun saat anak memasuki masa remaja seyogyanya orangtua mulai mengubah strategi, yaitu dengan mengendurkan “tali” kontrol ke anak. Anak mulai diberikan tanggung jawab lebih, kepercayaan untuk mengambil keputusan.

Orangtua dan guru hendaknya bertindak sebagai penasehat, mengawasi dari “jauh”, dan bertindak jika diperlukan atau jika ada bahaya yang muncul.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan karakter dibangun melalui tiga pusat pendidikan (trisentra) ini. Orangtua tidak bisa menyerahkan sepenuhnya tugas pendidikan guru kepada sekolah, sebaliknya sekolah tidak akan bisa mengembangkan karakter anak tanpa kerjasama dari orangtua.

Sementara itu orangtua dan sekolah juga tidak bisa mengabaikan pengaruh lingkungan pergaulan. Sejauh mana sekolah-sekolah kita saat ini memperhatikan tiga alam pendidikan tersebut?

Dari sini kita bisa menelaah lebih jauh kasus MH, bagaimana kondisi sehari-hari lingkungan sekitar dan teman sebayanya? Seperti apa pola asuh orangtuanya? Dan bagaimana cara guru mengajar?

Semua hal ini mempengaruhi kepribadian MH. Apabila memang kemudian ditemukan ada yang menyimpang, inilah yang dimaksud Kak Seto bahwa selain sebagai pelaku, MH juga bisa dikatakan sebagai korban.

Sumber :

Erik H. Erikson, Joan M. Erikson (1998), The Life Cycle Completed: Extended Version. W. W. Norton

https://edukasi.kompas.com/read/2018/02/12/06300001/murid-penganiaya-guru-pelaku-atau-korban-

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke