Tak lama kemudian, dia lalu mengarahkan telapak tangan kirinya ke kepala sambil mengusa-usap rambut. Siswi kelas VII sekolah menengah pertama negeri di Jakarta Barat ini rupanya sedang mengerjakan pekerjaan rumah mata pelajaran matematika.
"Ngerjain soal matematika itu susah, masalahnya tingkat kesulitan soal yang sering dihadapi berbeda dengan yang diterangkan oleh guru di kelas," ucap dia kepada Kompas.com, Sabtu(10/3/2018).
Maka dari itu, lanjut Astriani, dirinya sering mendapatkan nilai jelek untuk ulangan harian mata pelajaran tersebut. Dia mau tak mau harus mengikuti ulangan remedial untuk memperbaikinya.
Di luar sana masih banyak pelajar lain yang punya nasib serupa dengan Astriani. Matematika pun seakan menjadi momok menakutkan bagi anak-anak Indonesia sehingga tak jarang membuat nilai rapor mereka merah.
Ketakutan banyak pelajar di Tanah Air kepada mata pelajaran itu terlihat dari hasil Survei Programme for International Student Assessment (PISA). Studi yang dilakukan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) terhadap anak usia 15 tahun pada 2015, menempatkan kemampuan matematika pelajar Indonesia ada di peringkat ke-63 dari 72 negara.
Capaian tersebut kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Dengan Vietnam misalnya, negeri berlambang bintang itu ternyata ada di peringkat ke-12, sementara Singapura ada di peringkat pertama.
Meski faktanya seperti itu, bukan berarti anak-anak Indonesia tak punya kemampuan menaklukkan matematika. Buktinya, pada International Mathematics Contest Singapore (IMSC) 2017, tim Indonesia mampu meraih 14 emas, 26 perak, dan 50 perunggu.
Ajang yang digelar pada 4-7 Agustus 2017 lalu diikuti 129 siswa-siswi Indonesia, mulai dari kelas 3 SD sampai kelas XI SMA. Total ada 11 negara dengan jumlah 1.178 peserta yang mengikuti kejuaraan tersebut.
Raihan pelajar Indoneisa di IMSC 2017 jelas bertolak belakang dengan hasil PISA 2015. Anak-anak negeri ini sebenarnya pintar-pintar dan punya kemampuan matematika yang mumpuni.
Hanya saja mereka sudah merasa inferior terlebih dahulu ketika mendengar kata matematika. Anggapan mata pelajaran itu susah untuk diajari akhirnya membuat mereka berada di bawah tekanan ketika mempelajarinya.
Belum lagi, metode belajar pada banyak sekolah di negeri ini yang berpusat pada guru membuat proses belajar menjadi membosankan. Murid hanya menjadi pendengar yang baik sehingga tak punya kebebasan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
Metode belajar berbasis teknologi
Pada zaman dahulu mungkin metode belajar yang seperti itu cocok, tetapi pada era modern seperti sekarang sudah tak relevan lagi. Terlebih saat ini perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara hidup anak-anak.
Mereka kini akrab menggunakan gadget dan internet untuk menunjang akivitasnya. Tak hanya untuk alat komunikasi dan hiburan, tetapi sebagai sumber informasi, mempelajari hobi, memecahkan masalah, dan sumber inspirasi.
Maka dari itu, untuk membuat pelajaran matematika jadi menyenangkan, kegiatan belajar dan mengajar (KBN) di kelas harus menyesuaikan dengan tuntutan jaman. Sekolah sebaiknya menggandeng teknologi (gadget dan internet) sebagai pendamping anak dalam belajar.
Adapun metode belajar yang digunakan berpusat pada siswa atau student learning center . Sementara itu, guru bertanggung jawab untuk mendukung dan memastikan anak-anak menggunakan perangkat teknologi secara sehat dan tepat.
Siswa pun bisa mendapatkan akses seluas-luasnya ke ilmu pengetahuan sehingga bisa mengembangkan diri. Proses belajar juga jadi lebih interaktif dan menyenangkan.
Dengan begitu, belajar matematika di kelas bukan lagi momok yang menakutkan malah mudah dan menyenangkan. Bukan hanya itu, mereka dapat lebih bebas mengembangkan kemampuan sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga bisa menggapai impiannya kelak.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/03/21/09211381/kemampuan-matematika-siswa-indonesia-memprihatikan-solusinya