Salin Artikel

Memaknai Pembangunan Perdamaian Melalui Perempuan

Pernyataan Ibu Elisabeth Anita dari Klaten dalam Forum PBB di Jepang yang digelar pada 28 Februari-3 Maret lalu menunjukkan dengan jelas bahwa pencegahan radikalisme dan terorisme bisa dilakukan perempuan.

Bukan hanya itu. Ibu yang akrab dipanggil Bu Anita itu beragama Nasrani dan menjadi kelompok minoritas di daerahnya. Dia merasakan bahwa perwujudan perdamaian merupakan kewajiban semua warga.

Perwujudan perdamaian bisa dilakukan dari keluarga kemudian baru lingkungan sekitar. Baginya, peran ibu penting untuk menjadi motor dalam mewujudkan perdamaian di lingkungan terkecil yaitu keluarga, termasuk cara membangun generasi yang toleran dan cinta damai.

Wahid Foundation sendiri diundang oleh UN Women dan Pemerintah Jepang terkait upayanya dalam pencegahan arus radikalisme dan terorisme melalui perempuan. Upaya yang dilakukan Wahid ini dinilai unik karena menggabungkan antara pendekatan pemberdayaan ekonomi, pembangunan perdamaian dan partisipasi perempuan sekaligus.

Upaya itu mendapat perhatian, karena fokusnya yang langsung menyasar masyarakat akar rumput dengan menginisiasi lahirnya 9 Desa Damai di 3 provinsi di Indonesia.

Perempuan dan Terorisme

Pembangunan perdamaian dan penanganan terorisme menjadi problema utama semua masyarakat. Fenomena mutakhirnya adalah bahwa teroris itu kini bukan hanya menjadi isu laki-laki, tapi juga perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam tindak radikalisme dan terorisme bukan hal yang baru sama sekali. Di Indonesia, fenomena kembali menjadi perhatian pascapenangkapan Dian Novita Yuli di Bekasi. Penangkapan itu sekaligus membuktikan, bahwa terorisme bukan lagi domain kaum lelaki semata, melainkan juga perempuan.

Kelompok perempuan ini bukan hanya menjadi kelompok pendukung, tapi menjadi pemain utama pelaku terorisme. Bahkan, riset yang dilakukan the Institute of Policy Analysis of Conflict (IPAC), yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” tahun 2017 menunjukkan dengan jelas keterlibatan perempuan dalam tindak terorisme itu.

Laporan itu menjelaskan bahwa sejak 2013 lebih dari 100 perempuan dan anak dari Indonesia telah melewati perbatasan Turki-Syria untuk bergabung dengan ISIS.

Fenomena itu menunjukkan bahwa dalam jaringan terorisme, perempuan telah melampaui peran tradisional dalam hal isu pernikahan, keibuan, dan membangun jaringan teroris, yang menjadi satu domain tradisional para istri teroris di Indonesia.

Kini, perempuan telah menjadi pelaku aktif tindak terorisme. Dengan kata lain,  keinginan perempuan untuk memainkan peran lebih besar merupakan transformasi dari jaringan terorisme.

Perempuan tidak lagi melihat diri mereka sebagai istri, ibu, atau bahkan ustadzah bagi anak-anak jihadis, melainkan sebagai kombatan. Lebih jauh bisa dikatakan, bahwa transformasi dalam diri perempuan jihadis tidak lepas dari apa yang mereka lihat dari perempuan-perempuan di Palestina, Irak, dan Chechnya.

Perempuan dan perdamaian

Apa yang yang patut menjadi perhatian adalah bahwa potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian yang cenderung diabaikan. Karena itu, laporan atau pun narasi tentang perempuan yang menjadi bagian dari teroris lebih banyak terungkap daripada sebaliknya. Maksudnya, narasi perempuan yang jatuh ke dalam lubang radikalisme lebih banyak diungkap daripada peran mereka dalam perdamaian.

Survei yang dilakukan Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia yang diluncurkan pada Januari 2018 lalu menunjukkan potensi toleransi yang luar biasa di kalangan perempuan di Indonesia untuk mempromosikan perdamaian.

Dibandingkan laki-laki perempuan lebih bersifat toleran terhadap perbedaan dan lebih sedikit bersedia melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda.

Survei yang melibatkan 1.500 responden laki-laki dan perempuan di 34 provinsi di Indonesia  itu menunjukkan bahwa sebanyak 80,7 persen perempuan mendukung hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan atau keyakinan.

Dalam konteks radikalisme, sebanyak 80,8 persen perempuan lebih tidak bersedia radikal dibanding laki-laki (76,7 persen) dan perempuan yang intoleran (55 persen) lebih sedikit dibanding laki-laki (59,2 persen). Perempuan (53,3 persen) juga memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibanding laki-laki (60,3 persen).

Ini merupakan potensi luar biasa bangsa kita untuk melakukan pencegahan tindak radikalisme dan terorisme. Perempuan memiliki peran penting dalam menyebarkan nilai-nilai kepada keluarga dan komunitas.

Meminjam kata-kata Presiden Jokowi, "Karakter senang damai harus ditumbuhkembangkan dari lingkup keluarga dan perempuan yang mengisi. Memang ibu-ibu dan perempuan itu yang bisa menjadi kunci bagi perdamaian dari scope kecil hingga dunia”.

Perdamaian dan Kesetaraan Perempuan

Sayangnya, sebagaimana diakui banyak pihak, potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian seringkali diabaikan. Persoalan ini tidak lepas dari persoalan gender.

Dengan kata lain, upaya untuk mendorong potensi perempuan menjadi agen perdamaian masih dihadapkan pada persoalan kesetaraan gender.

Survei Wahid Foundation itu di saat yang sama juga menunjukkan bahwa tingkat otonomi perempuan untuk mengambil keputusan dalam hidupnya lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Persentasenya, kemungkinan perempuan muslim Indonesia mengambil keputusan itu hanya sebesar 53,3 persen. Sementara, laki-laki persentasenya 80,2 persen.

Dalam kaitan itu bisa dikatakan bahwa terabaikannya suara perempuan dalam pembangunan perdamaian tidak lepas dari persoalan gender. Persoalan ini tercermin pula dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Upaya pencegahan radikalisme dan terorisme masih sangat maskulin. Forum antaragama atau forum lintas iman yang notabene bisa menjadi basis pencegahan radikalisme di masyarakat,  rata-rata masih diisi oleh pemimpin agama laki-laki.

Dalam kaitan itulah, sangat penting untuk menjadikan agenda upaya penguatan toleransi dan perdamaian sebagai satu kesatuan dengan agenda pengarustaman gender serta pemberdayaan perempuan. Dengan kata lain, untuk memaksimalkan potensi perempuan sebagai agen perdamaian tidak bisa mengabaikan aspek partisipasi perempuan.

Rasanya akan sangat mustahil merancang upaya untuk mendorong perempuan dalam perdamaian tanpa adanya komitmen bersama untuk memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Penting juga untuk diperhatikan bahwa partisipasi perempuan dalam pembangunan perdamaian di sini bukan berarti memutus sama sekali peran perempuan di keluarga.

Pengalaman Wahid Foundation dalam melakukan pemberdayaan misalnya menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam kegiatan akan berkurang ketika kita memaksa perempuan untuk sama sekali meninggalkan urusan domestiknya.

Sebaliknya, partisipasi anggota kelompok perempuan ini semakin meningkat ketika diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan untuk aktif baik di ranah publik tanpa meninggalkan peran mereka untuk keluarga.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa penguatan peran perempuan dalam perdamaian harus dimaknai sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari persoalan domestik perempuan.

Arti kesetaraan dalam pembangunan perdamaian bukanlah menyerahkan semua persoalan domestik kepada salah satu pihak, tapi bagaimana misalnya suami-istri bisa berbagi peran sehingga kesempatan perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan strategis baik di lingkungan keluarga dan masyarakat termasuk dalam kegiatan perdamaian semakin besar.

Artinya, perdamaian melalui perempuan pun secara bersamaan bisa memberikan dampak pada upaya perwujudan kesetaraan. Kesetaraan dalam arti mendorong partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam wilayah yang pada umumnya didominasi laki-laki.

Kesetaraan dalam maksud juga membagi peran kepada laki-laki dalam urusan domestik yang sebelumnya didominasi oleh perempuan.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/03/22/10333601/memaknai-pembangunan-perdamaian-melalui-perempuan

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke