Bahkan kadang-kadang anak lebih ahli memainkan gadget dibandingkan orangtuanya.
Sebagian kalangan mengatakan gadget memberikan pengaruh yang buruk dan harus dihindarkan karena mengakibatkan kecanduan. Hal ini dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh psikiater dari University of California, Los Angeles (UCLA) Peter C. Whybrow yang menyebut online games sebagai “Digital Heroin”.
Bahkan menurut Eileen Kennedy, psikolog dari Princeton University, American Psychological Association (APA), telah menyatakan bahwa “Ada korelasi yang konsisten antara kekerasan dalam video games dengan perilaku agresif, pikiran agresif, hilangnya empati dan penurunan perilaku prososial pada anak”.
Sementara peneliti yang lain mengatakan permainan (game) bisa menstimulasi kemampuan kognitif anak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan (problem solving) seperti yang dipaparkan Dr. Patrick Markey, psikolog dari Villanova University, Pennysilvania dalam bukunya “Moral combat: Why the war on violent video games is wrong”.
Lalu mana yang benar? Bisa jadi dua-duanya benar. Akses anak kepada video games maupun online games cenderung lebih banyak ketika orangtua tidak melakukan kontrol.
Saya termasuk yang percaya bahwa permainan online anak jaman now ada manfaatnya, tapi lebih banyak mudharatnya sehingga harus dibatasi, karena tidak bisa dihilangkan.
Namun demikian sebenarnya permainan hanyalah sarana, lebih penting yang harus kita perhatikan adalah apa yang terjadi dalam alam-keluarga yaitu interaksi anak-orangtua ketika anak sedang bermain –apapun permainannya.
Demikian Ki Hajar Dewantara menyebutnya dalam sistem trisentra. Ada 3 hal maha-penting dalam lingkungan pendidikan anak yaitu alam-keluarga (interaksi anak-orangtua), alam-perguruan (interaksi anak-guru), dan alam-pergaulan (interaksi anak-teman sebaya) yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam perkembangan karakter anak.
Dalam hal ini mungkin bisa kita lengkapi dengan faktor genetik (nature), yang meskipun menurut saya pengaruhnya mungkin tidak akan sebesar ketiga alam trisentra (nurture).
Penelitian-penelitian terkini, ternyata terbukti faktor genetik memiliki pengaruh dalam perkembangan anak. Tentu 80 tahun yang lalu ketika Ki Hajar menuliskan mengenai sistem trisentra, belum ada yang membuktikan demikian.
Parenting is an art, not an equation kata seorang teman dan saya setuju. Mengasuh dan mendidik anak itu seni, bukan ilmu eksakta.
Setiap anak punya keunikan. Selalu ada kemungkinan suatu pola pengasuhan atau pendidikan cocok bagi banyak anak tapi kurang cocok bagi anak kita, dan sebaliknya. Yang bisa kita lakukan adalah mengenali pola umum perkembangan anak, tugas-tugas perkembangannya untuk mengenali keunikan anak dan memberikan stimulasi bagi anak untuk bertumbuh secara optimal sekaligus mengurangi risiko-risiko negatif yang menurut saya tidak terhindarkan.
Intensitas interaksi anak-orangtua umumnya paling banyak terjadi ketika anak usia 0 hingga 7 tahun tepat ketika anak akan masuk sekolah dasar.
Meski belakangan intensitasnya mulai menyempit karena banyak juga anak di bawah 1 tahun sudah dititipkan di Tempat Penitipan Anak (TPA) yang harga bulanannya mencapai jutaan rupiah.
Kata seorang teman yang lain, yang terpenting adalah kualitas hubungan dengan anak, bukan kuantitas.
Saya kurang setuju karena kualitas hubungan dengan anak tidak bisa dipisahkan dari kuantitas interaksinya. Anak di bawah tujuh tahun menurut teori perkembangan kognifit masih memiliki pemikiran “operasional konkrit” yaitu berinteraksi dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya secara langsung.
Saya termasuk yang sudah merasakannya, selama setahun ketika hanya bertemu anak paling banter dua minggu sekali, saya mendapati anak saya tidak memiliki hubungan yang “berkualitas” dengan saya. Dalam arti anak jadi tidak terlalu tertarik bermain dengan saya.
Tapi bisa jadi saya salah, dengan kuantitas yang demikian (tidak bertemu anak setiap hari) tetap hubungan teman saya dengan anaknya bisa berkualitas. Wallahualam..
Pertanyaan mendasar yang harus muncul dalam pengasuhan (parenting) adalah. Apa tujuan orangtua mengijinkan anak bermain? Sebagian mungkin masih menganggap permainan itu suplemen bagi pendidikan anak, masih banyak orangtua bilang “Ayo jangan main terus, sekarang waktunya belajar!”
Menurut Ki Hajar pendidikan anak usia pra-sekolah dasar adalah latihan panca-indria. Latihan panca-indria akan lebih optimal apabila didapatkan melalui permainan. Jadi pendidikan anak adalah permainan itu sendiri!
Persis di sini interaksi anak-orangtua memberikan pengaruh yang sangat besar. Apakah kemudian kita harus mengijinkan anak bermain sepuasnya? Tentu saja tidak! Kalau demikian jadinya, tidak perlu ada orangtua.
Orang tua-lah yang seharusnya memegang kendali bagaimana anak mengoptimalkan panca-indrianya melalui bermain. Orangtua lah yang harus punya pengetahuan permainan apa saja yang akan mempengaruhi perkembangan anak.
Aspek yang dikembangkan melalui permainan tertentu, memberikan rambu-rambu, dan mengeliminasi permainan-permainan yang tidak bermanfaat. Dalam sebuah buku kecil seorang ibu rumah tangga dengan dua anak balita berjudul “Saat Kamu Bertambah Besar” yang disampaikan terbatas dari mulut ke mulut dan melalui Instagram ig @rumahmentariku.
Penulisnya seperti memberikan wejangan pada anak bahwa “Nak, kamu bebas bermain, tapi kamu punya batas mana yang boleh, mana yang tidak boleh.”
Lagipula, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kekayaaan mainan tradisional yang sayangnya sudah banyak ditinggalkan. Padahal permainan-permainan itu yang mewarnai perkembangan tokoh-tokoh pendiri negeri kita.
Mari kita simak sedikit penuturan Ki Hajar Dewantara dalam nukilan artikelnya di majalah Wasita, Jilid 1 No.1 bulan Oktober 1928 :
“…Sedikit contoh bolehlah disebutkan disini. Permainan anak Jawa seperti : sumbar, gateng, unclang itu mendidik anak agar teliti, cekatan, dan menjernihkan penglihatan. Permainan dakon, cublak-cublak suweng, kubuk, itu mendidik anak tentang perhitungan dan pengiraan (pen-kognitif). Permainan gobag sodor, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan, si, jamuran, jelungan itu bersifat sport, mendidik kuat sehatnya badan, kecekatan, dan keberanian (pen-motorik kasar). Permainan ngronce, menyulam janur, atau membuat tikar itu untuk pendidikan keteraturan dan tabiat tertib (pen-motorik halus). Nyatalah tidak usah kita mengadakan barang tiruan kalau memang kita sudah mempunyainya sendiri...”
Sumber :
“Pendidikan” Kumpulan tulisan Ki Hajar Dewantara
“Saat Kamu Bertambah Besar” buku kecil tulisan Rahmawati Putri
https://grandchallenges.ucla.edu/happenings/2016/08/27/its-digital-heroin-how-screens-turn-kids-into-psychotic-junkies/
https://www.nytimes.com/2017/04/01/opinion/sunday/video-games-arent-addictive.html
https://edukasi.kompas.com/read/2018/03/26/13000001/permainan-anak-jaman-now-apa-kata-ki-hajar-dewantara-