Pada saat Adolf Hitler berkuasa di Jerman, kaum Nazi Jerman mengembangkan konsep rasisme yang mengunggulkan ras Arya (orang Jerman) sebagai ras paling unggul di muka bumi.
Oleh karena itu salah satu tugas mereka adalah menyingkirkan musuh, orang-orang yang “berbeda” dianggap sebagai manusia yang tidak berguna, dengan demikian masyarakat akan steril dan berdaya guna. Tindak lanjutnya adalah pembersihan etnis dan menyingkirkan mereka yang membebani masyarakat, termasuk orang Jerman sendiri.
Akhir tahun 1938, Dr.Karl Brandt, dokter pribadi Hitler, memberikan sebuah surat kepada Hitler. Surat itu berisi tentang permintaan izin seorang ayah untuk membunuh anaknya yang cacat. Hitler setuju.
Anak itu kemudian dibunuh pada bulan Juli 1939. Lebih jauh lagi Melalui memo rahasia tanggal 1 September 1939, Hitler memerintahkan orang-orangnya untuk menghabisi semua anak cacat di seluruh Jerman karena mereka hanya akan membebani keuangan masyarakat dan negara.
Hitler kemudian membuat program Aktion-T yang dipimpin Philip Bouhler untuk menyeleksi dan membunuh anak-anak cacat dalam hitungan hari setelah mereka lahir. Bouhler memerintahkan untuk mencari anak-anak yang diduga cacat, kemudian menuliskan biodata dan ciri-ciri anak itu di selembar formulir.
Formulir itu kemudian diserahkan kepada para dokter khusus yang akan menentukan apakah anak tersebut layak untuk hidup; jika tidak, mereka akan menandai formulir itu dengan tanda “X”. Setelah itu, mereka akan ditugaskan untuk menjemput anak yang dianggap “tak layak hidup” untuk kemudian dikumpulkan dan dibunuh.
Sampai dengan Oktober 1941 program Aktion-T telah “berhasil” membantai 200.000 anak cacat melalui berbagai metode keji, misalnya dengan menyuntikkan luminal atau morfin dengan dosis yang mematikan ke dalam tubuh, dilaparkan hingga meninggal, atau dimasukkan ke dalam ruang gas beracun.
Sejarah juga menunjukkan bahwa individu yang dianggap “berbeda” dengan orang kebanyakan lebih sering ditolak keberadaannya dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya.
Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, ketidaktahuan orangtua dan masyarakat menyebabkan munculnya kepercayaan dan keyakinan bahwa memiliki anak cacat merupakan hukuman dari Tuhan.
Oleh sebab itu di masa lalu banyak penyandang cacat yang disembunyikan oleh orangtua atau keluarganya karena memiliki anak cacat merupakan sebuah aib. Demikian disampaikan oleh Dr. Dedy Kurniadi, dosen program studi pendidikan khusus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam makalahnya “Konsep Dasar Pengelolaan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus/ABK.”
Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat diliput di berbagai media, di Bekasi masih dapat ditemukan anak yang dipasung karena mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini dialami oleh Gia Wahyuningsih yang baru berusia 5 tahun dan sudah dipasung di dinding rumah oleh ayahnya sejak usia 2 tahun. Alasannya, tidak ada yang merawat selama ayahnya mengamen.
Gia dipasangi ikat pinggang yang dililitkan kain, lalu diikat ke paku besar yang ditancapkan di dinding rumah. Sejak usia 2 tahun Gia sudah menunjukkan gejala keterbelakangan mental, tidak mampu merawat diri sendiri, dianggap hiperaktif dan tidak bisa berbicara. Akibat pemasungan ini memperparah kondisi psikologis Gia.
Untungnya kejadian ini diketahui oleh seorang perangkat desa yang kemudian melaporkannya ke polisi. Kesehatan Gia sudah berangsur-angsur membaik meski secara kejiwaan sudah cukup parah dan perawatannya kini menjadi tanggung jawab pemerintah Kota Bekasi.
Kejadian ini bisa saja terjadi di tempat lain dan Gia-Gia yang lain masih dalam keadaan menderita diabaikan perawatannya, “ditolak” keberadaannya oleh orangtuanya sendiri, atau bahkan dipasung supaya tidak terlihat oleh orang lain.
Orangtua merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Apabila anak sudah kehilangan perhatian dari orangtuanya maka tugas pemerintah-lah yang seharusnya memelihara dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Pemerintah dalam Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dinyatakan secara jelas bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan misalnya tuna netra, tuna rungu, tuna daksa atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa.
Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan secara berkelompok atau berupa satuan khusus pada tingkat dasar dan menengah. Semua anak, baik normal maupun tuna (berkebutuhan khusus) memiliki kesempatan sama di dalam hal pendidikan dan pengajaran.
Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya.
Tentu saja kita tidak ingin anak-anak menjadi terlantar dan perawatannya harus ditangani oleh pemerintah. Apalagi di Indonesia, meski pemerintah memiliki Departemen Sosial yang salah satu tugasnya menangani dan merawat anak-anak terlantar, masih banyak anak-anak di bawah umur yang berkeliaran di jalan-jalan dan tinggal di lingkungan kumuh sehingga tidak layak untuk perkembangan kesehatan baik fisik maupun psikis bagi anak.
Tampaknya pemerintah kewalahan untuk merawat mereka seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga mereka tidak punya pilihan selain menggelandang atau terpasung.
Oleh karena itu, sebenarnya orangtua yang menelantarkan anaknya sendiri karena “berbeda” dengan anak-anak yang lain bisa disebut sebagai kejahatan.
Kurangnya informasi dan tidak adanya kemampuan diagnosis dari para orang tua (self diagnose) membuat anak-anak tersebut tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya, yang lebih ironis apabila orangtua juga masih merasa malu untuk mengakui bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus sehingga enggan untuk memeriksakan dan mencari informasi mengenai gejala-gejala yang terjadi pada anaknya. Sehingga mengorbankan atau bahkan menghilangkan peluang anak untuk diberikan penanganan yang lebih optimal, hanya gara-gara gengsi orangtuanya.
Namun demikian saat ini sudah banyak orangtua yang tidak lagi enggan untuk memeriksakan anaknya yang “berbeda”, bahkan sudah banyak komunitas-komunitas orangtua yang bersama-sama saling berbagi informasi mengenai anak berkebutuhan khusus.
Hal ini merupakan perkembangan yang positif, pemerintah seharusnya bisa mengejar dan menyesuaikan diri, meski sudah ada pernyataan bahwa setidaknya dalam satu daerah ada satu sekolah inklusi, yaitu bahwa sekolah harus menerima atau mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan “one school for all”.
Namun banyak sekolah inklusi ini belum dilengkapi fasilitas yang memadai, pengetahuan guru mengenai sekolah inklusi masih terbatas, bahkan masih ada, kalau tidak mau dikatakan masih banyak, yang enggan menerima bahkan “menolak” anak berkebutuhan khusus dengan berbagai alasan.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/04/02/07000041/berbeda-bukan-berarti-harus-disingkirkan