Salin Artikel

Pendidikan Multikultural untuk Pembumian Pancasila

Upaya membelah masyarakat tidak terhenti setelah pilkada. Sosial media tetap gencar menyebar kebencian dan intoleransi. Sementara itu, kita sering diyakinkan bahwa perbedaan harus disyukuri dan bisa diolah secara produktif untuk menjadi kekuatan. Namun, bagaimana mewujudkannya?

Dunia pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam membentuk karakter siswa dan bangsa sehingga menjadi pilihan untuk menanamkan kesetaraan dari Pancasila dan demokrasi. Sekolah harus mengajarkan dan dikelola dengan merangkul  keberagaman (inklusif) sehingga siswa menyikapi perbedaan penuh kecintaan.

Kita diwarisi filosofi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mengrwa yang dilembagakan dalam tata pemerintahan dan menjadi ideologi Majapahit. Jaminan kebebasan beragama ini mampu meredam konflik internal antara pemeluk agama Buddha dan Syiwa, sehingga dengan persatuan Majapahit bisa membangun imperium dunia di abad 14.

Filosofi tersebut indah karena tidak hanya menjamin kesetaraan dalam kebhinekaan agama, tetapi juga suku, ras maupun golongan di Indonesia; karena agama sering melekat dengan ketiganya.

Konsep pendirian negara bangsa (nation state) oleh Sukarno menegaskan asas kesetaraan dalam ketatanegaraan, di mana setiap orang dijamin berkedudukan sama di hadapan hukum. Ini menguatkan konsensus pendiri bangsa sebelumnya bahwa Pancasila yang berjiwa inklusif sebagasi dasar NKRI.

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila merupakan konseptualisasi dari kebebasan beragama di Indonesia. Karena setiap sila saling menjiwai, maka merangkul kemanusiaan, membangun persatuan, berdemokrasi, dan mewujudkan keadilan sosial adalah wujud ekspresi relijiusitas bangsa.

Kebhinekaan Indonesia dibanggakan tetapi belum dilembagakan sepenuhnya karena komunikasi sering hanya berlangsung dalam komunitas masing-masing. Kalaupun berlangsung komunikasi lintas komunitas, sering kali itu hanya seremonial karena prasangka dan curiga masih mendominasi alam pikiran kita.

Interaksi antar-warga negara dengan mindset silo (terisolasi) akan gagal mewujudkan motto "kebhinekaan adalah anugerah" karena gagal menjadikannya sebagai modal sosial yang produktif.

Kita perlu melembagakan kebhinekaan ke dalam sistem-sistem sosial agar dapat menciptakan kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligence) terutama di sistem pendidikan kita.

Sekolah multikultural

Pengelolaan sekolah multikultural terbukti bisa mengantar pembentukan watak siswa yang mampu menghargai martabat kemanusiaan orang per orang tanpa terganggu sekat-sekat SARA.

Sekolah sepatutnya merengkuh kebhinekaan dengan tulus, dan mengarusutamakannya agar bisa membentuk DNA (watak) siswa yang adil dan tidak diskriminatif.

Kaukus Pancasila dan Cahaya Guru menemukan—sementara—12 sekolah yang telah mampu mengajarkan siswa mencintai perbedaan dan mengolahnya menjadi kekuatan.

Kita patut bersyukur ketika Ketua MPR dan Ketua BPIP setuju untuk menggelar praktik indah 12 sekolah multikultural tersebut dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional di Gedung MPR pada 2 Mei 2018.

Pengajaran multikultural ini bisa dilakukan oleh sekolah yang homogen siswanya seperti Ponpes maupun Kanisius, ataupun sekolah Islam tapi dengan siswa campuran seperti SMA Al Ihzar, Pondok Labu Jakarta.

Namun, multikultural bisa juga diadopsi sebagai metodologi misalnya oleh sekolah-sekolah yang sengaja merekrut siswa lintas agama, golongan, ras seperti Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) Medan dan SMK Bakti Karya Parigi di Pangandaran.

Di sekolah YPISM yang digagas oleh politisi PDI Perjuangan, Sofyan Tan membangun empat rumah ibadah untuk empat agama. Dampaknya positif, ada siswa muslim yang mendesainkan kartu Paskah untuk temannya yang Katholik atau ada siswa Tionghoa beragama Buddha yang sering mengingatkan agar teman Muslim-nya tidak lupa shalat. Pergaulan siswa kaya-miskin, beda ras suku dan agama berlangsung nyaman tanpa sekat.

Sekolah multikultural juga efektif menjawab kebutuhan untuk penyembuhan trauma para siswa pasca-konflik agama. SMAN Siwalima di Ambon mengharuskan siswa berbagi kamar dengan siswa yang beda agama atau asal daerah. Perayaan agama disiapkan oleh siswa  yang berbeda agama, bahkan lagu kristiani dimainkan dengan rebana karena mereka punya motto "One for All, All for One".

Pengajaran multikultural juga berlangsung di ponpes Al Muttaqin Pancasila Sakti di Klaten dengan membangun kesadaran santri tentang Indonesia yang plural. Selain mengajarkan syariah, ponpes tersebut juga menyelenggarakan upacara bendera dan menyanyikan Indonesia Raya. Bahkan, Pancasila sering dibacakan bersama-sama seusai mengaji agama.

Para siswa sekolah-sekolah multikultural di atas tidak saja merasakan perubahan personal (IQ, EQ, SQ) tetapi juga kecerdasan kelompok, publik, ataupun masyarakat. Persatuan dan gotong royong bisa diwujudkan karena ada syarat-syarat yang terpenuhi, yaitu toleransi, tenggang rasa, saling hormat sebagai wujud saling menerima, dan memberi berdasar prinsip kesetaraan dalam kebhinekaan.

Menyebarkan roh inklusifisme Pancasila bisa dimulai dengan upaya inklusif yang mudah dan sederhana. Empat belas SMA Al Izhar dan Kanisius bersama membentuk kelompok RagaMuda dan kampanye Plural-is-Me di sosial media. Sambutan hangat, kampanye toleransi yang semula untuk DKI pasca-pilkada disambut netizen seluruh Nusantara.

Pengalaman penyelenggaraan pendidikan multikultural dari 12 sekolah yang telah dibukukan sekaligus dipergelarkan di MPR tersebut diharapkan mampu menginspirasi sekolah-sekolah lainnya untuk melakukan hal yang sama. Momentum telah tiba karena sejatinya Kurikulum 2013 adalah bertujuan sama, yaitu Pembentukan Karakter berdasar Pancasila.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/05/02/07041861/pendidikan-multikultural-untuk-pembumian-pancasila

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke