Meski sudah jaman old, tapi relevansinya merentang hingga kini di tahun 2018. Ketika itu Ki Hadjar punya mimpi setiap orang yang terpelajar berbagi ilmunya dengan tidak meninggalkan karakter budaya nasionalnya, dimana saja, kapan saja untuk membangun karakter bangsa Indonesia.
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara sendiri di tanggal 2 Mei 1889, dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar sendiri baru serius mempelajari dan terjun dalam dunia pendidikan dan pengajaran tahun 1922, setelah malang melintang menjadi aktivis politik radikal menentang penjajah dan berkali-kali ditangkap polisi, dibuang, dipenjara, dan dihukum kerja paksa.
Tulisan-tulisan Ki Hadjar kebanyakan berupa artikel, konsep, dan risalah pidato sejak tahun 1928 hingga wafatnya di tahun 1959. Ratusan artikel beliau sudah dibukukan oleh Taman Siswa menjadi dua jilid, satu jilid berjudul “Pendidikan” sejumlah 116 artikel, dan satu jilid lagi berjudul “Kebudayaan” berisi 67 artikel kebanyakan dalam bahasa Indonesia, sebagian kecil ada juga dalam bahasa Belanda.
Artikel-artikel tersebut menurut saya layaknya harta karun nasional yang harus diperbanyak dan didalami kembali setiap saat karena kedalaman pemikiran dan ide-idenya yang melampaui jamannya.
Pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, sudah pernah ada inisiatif untuk menerbitkan kembali kedua buku tersebut dan dibagikan pada semua guru se-Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana akhirnya setelah beliau di-reshuffle. Semoga sudah terlaksana. Tapi minimal menteri yang sekarang juga menyebut-nyebut Ki Hadjar dalam pidato Hardiknasnya 2 Mei 2018 kemarin, sampai tiga kali.
Memang sudah semestinya minimal setahun sekali kita selalu berefleksi dan mempelajari kembali setiap saat pemikiran-pemikiran Ki Hadjar yang menurut saya masih kontekstual dengan masa kini, meski belum semua impian beliau tercapai. Saat ini banyak sekali “pendekar-pendekar” pendidikan di sentero nusantara, mulai dari yang punya inisiatif mengajak mahasiswa menjadi guru di pedalaman, membuat perpustakaan keliling, yang kemudian menginspirasi kegiatan lain yang serupa, ada pula yang membuat aplikasi android dan video sebagai suplemen belajar anak dan sebagainya.
Namun menurut saya itu belum cukup, seperti semboyan Ki Hadjar di awal tulisan ini “Tiap-tiap orang menjadi pengajar!” Atau tidak usah tiap orang lah, minimal seperempat, atau malah sepersepuluh saja dari tiap orang yang berpendidikan di negeri ini bergerak untuk memberikan ilmunya, atau minimal memberikan contoh perilaku yang positif pada anak-anak.
Menurut saya itu sudah cukup untuk membantu Pak Menteri melaksanakan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) seperti disampaikan dalam pidato Hardiknas kemarin. Karena pendidikan tidak berhenti sebagai materi ajar di sekolah, apalagi pendidikan karakter.
Tidak bisa diajarkan melalui sekian jam pelajaran. Pendidikan karakter hanya akan terlaksana melalui contoh-contoh nyata dari perilaku orang-orang di sekitar kita. Kalau menggunakan konsep trisentra Ki Hadjar, alam pendidikan ada tiga. Alam-keluarga, alam-perguruan, dan alam-pergaulan. Contoh perilaku yang merefleksikan karakter ada di ketiga alam trisentra tersebut, tidak bisa hanya di sekolah (alam-perguruan). Pada lingkungan keluarga (alam-keluarga) dan pergaulan (alam-pergaulan).
Hampir setengah waktu hidup kita di jaman now ini dihabiskan di depan layar, akumulasi screen-time kita di depan handphone, tablet, laptop, pc, atau televisi dalam sehari bisa berjam-jam. Korban pertama perubahan perilaku ini adalah anak-anak, calon-calon penerus bangsa yang mau dibangun karakternya menghadapi revolusi industri 4.0.
Belum ada penelitian yang membuktikan bahwa screen-time saja menyebabkan perubahan yang negatif terhadap perilaku anak. Dampak buruk hanya terjadi apabila orangtua tidak mendampingi. Sayangnya yang demikian yang paling sering terjadi. Istilah kerennya adalah Technoference. Seperti yang disebutkan Brandon T. McDaniel dan Jenny S. Radesky dari Illinois State University dalam penelitiannya “Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems” di jurnal Child Development edisi Mei 2017.
Technoference adalah interupsi teknologi (technological interruption) yang membuat anak menjadi anak menjadi lemah dalam kontrol emosi, sering gelisah, mudah frustasi, sering merengek dan merajuk lebih dari biasanya (situasi yang mirip ketika orangtua marah-marah karena koneksi wifinya sedang lemot padahal baru mau update status IG atau Facebook).
Kondisi ini apabila tidak diatasi akan berlanjut menjadi kebiasaan dan karakter anak ketika tumbuh dewasa. Menurut penelitian tersebut hal ini terjadi karena lemahnya interaksi anak-ayah, dan anak-ibu disebabkan karena waktu anak berinteraksi dengan orangtua jauh lebih sedikit daripada interaksi anak-smartphone dan orangtua-smartphone.
Di sini juga muncul istilah “absent-presence”, dimana orangtua dan anak ada dalam satu ruangan, tapi tidak saling berinteraksi. Solusinya? Gampang, perbanyak waktu interaksi kita dengan anak-anak, termasuk interaksi dengan orang-orang di sekitar kita secara fisik dibandingkan interaksi kita dengan smartphone.
Gampang, tapi susah.Dari sisi alam perguruan atau sekolah tentu Technoference juga berpengaruh, jangan sampai guru sebagai perwakilan orangtua di sekolah juga berperilaku sama dengan orangtua di rumah yang lebih banyak menghabiskan waktu didepan smartphone dibandingkan di depan anak.
Mari kita lihat sekilas pendidikan di Finlandia,yang saat ini menjadi acuan tempat pendidikan paling bermutu didunia, mendahulukan penanaman kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, mengantri, berperilaku sopan pada orangtua, meminta maaf apabila melakukan kesalahan, dan sebagainya.
“Tiga puluh tahun yang lalu, Finlandia memiliki sistem pendidikan yang sangat buruk” kata Dr. Darling Hammond, profesor pendidikan di Universitas Stanford. Titik balik terjadi pada 1970-an ketika pemerintah merombak sistem pendidikan ketika semua guru sekolah diwajibkan untuk mengambil gelar Master – tentu dibiayai oleh pemerintah.
Kurikulum pendidikan Finlandia hanya berupa garis besar, guru dituntut untuk kreatif dan mandiri untuk menentukan proses belajar-mengajar. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas berupa sekolah gratis 12 tahun. Bukan malah disuruh hutang (student loan).
Menurut staf ahli menteri pendidikan Finlandia Dr. Pasi Sahlberg –yang sudah menerbitkan 15 buku tentang pendidikan, sebelum usia 16 anak tidak diberikan segala macam ujian dan pekerjaan rumah (PR) karena pada usia tersebut anak bukan untuk dinilai dan dibanding-bandingkan yang bisa menghancurkan tujuan belajar dan kepercayaan diri anak. Evaluasi prestasi anak hanya dibandingkan dengan prestasi sebelumnya, bukan prestasi anak lain.
Anak diajarkan untuk mengevaluasi dirinya sendiri dibimbing oleh guru sejak pra-TK. “Ini membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri” Kata seorang kepala sekolah SD Poikkilaakso, Finlandia. Bahkan “menyekolahkan” anak sebelum usia 7 tahun bisa dianggap melanggar hak anak untuk bermain.
Pada usia tersebut anak didorong untuk mengeksplorasi dunianya, mempersiapkan diri untuk belajar, dan mencari minat-bakatnya (passion). Satu-satunya “ujian nasional” wajib, dilakukan saat usia anak 16 tahun.
Mayoritas sekolah merupakan sekolah inklusif, semua anak berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. Berdasarkan data PISA (Programme for International Student Assessment), pada usia 15 tahun gap perbedaan antara anak yang berprestasi baik dan buruk sangat tipis.
Hampir semua memiliki kemampuan yang setara di ranah membaca, matematika, dan sains atau STEM (Science, Technology, Engineering, Math). Program-program pengajaran dilakukan guru untuk membimbing anak sampai ke level individu, oleh karena itu kelas tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Pada kelas sains rata-rata diisi 16 siswa. Guru menghindari kritik negatif atau menyalahkan langsung kepada siswa yang bisa menjatuhkan kepercayaan diri, karena siswa yang malu cenderung terhambat dalam belajar.
Guru merupakan profesi terhormat di Finlandia sejajar dengan dokter atau pengacara. Hanya lulusan terbaik yang menjadi guru. Fakultas pendidikan merupakan fakultas populer dan terketat persaingannya seperti fakultas kedokteran atau hukum.
Regulasi pemerintah menyatakan guru diberikan waktu mengajar rata-rata 4 jam sehari di dalam kelas. Mereka juga dibayar 2 jam seminggu untuk “professional development”. Padahal guru-guru di Finlandia saat ini digaji rata-rata diantara negara eropa yang lain, bahkan masih lebih rendah dari gaji guru di Amerika –yang banyak dikeluhkan sangat rendah di antara negara maju.
Jadi, nampaknya gaji bukan merupakan faktor utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Anggaran pendidikan Finlandia tidak habis untuk menggaji guru melalui sertifikasi dan semacamnya. Namun langsung dialokasikan kepada peningkatan kualitas guru baik melalui beasiswa Master maupun kegiatan-kegiatan yang meningkatkan “professional development”.
Tentu segala prestasi yang dicapai oleh sistem pendidikan Finlandia tidak bisa serta merta di “contek” begitu saja di Indonesia. Kita harus akui dan belajar dari sistem yang ada di sana, namun harus selalu disesuaikan dengan kondisi dan budaya setiap bangsa.
Menurut Dr. Sahlberg “Only dead fish, follow the stream.” Untuk membuat sistem pendidikan yang sukses, selalu harus melihat tujuan pendidikan. Untuk apa ada pendidikan nasional? “Kami tidak berusaha untuk menjadi yang terbaik di dunia, kami hanya berusaha untuk lebih baik dari Swedia. Itu cukup bagi kami.” Lanjut Dr. Sahlberg
Sumber :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/cdev.12822
https://edukasi.kompas.com/read/2018/05/07/09000071/hardiknas-ki-hadjar-dan-perilaku-orangtua-hadapi-technoference-revolusi