All men are created equal.
Demikian slogan utama humanisme universal. Slogan ini pula yang membangkitkan perjuangan anti-rasisme, feminisme, dan perjuangan hak asasi manusia di seluruh dunia sejak awal abad 20.
Artikel di Slate.com pada 28 September 2014 lalu cukup menggelitik. Salah satu artikel ditulis oleh David M. Hambrick. Profesor di Michigan State University ini juga editor Journal of Experimental Psychology.
Ia menyatakan satu hal yang menurut saya bisa jadi cukup kontroversial. We are not all created equal. Manusia diciptakan tidak setara apabila kita mempertimbangkan faktor genetik sebagai indikator kesuksesan dalam bidang tertentu.
Malcolm Gladwell dalam buku best seller-nya berjudul Outliers menceritakan kisah-kisah inspiratif orang-orang yang sangat sukses.
Menurutnya, semua orang memiliki kesempatan menjadi sukses dalam bidang apapun apabila kita berusaha cukup keras. Gladwell mempopulerkan kaidah “10.000 jam”. Siapapun kalau berusaha cukup keras selama 10.000 jam bisa menguasai dan sukses di bidang apapun yang ia geluti selama waktu tersebut.
Magnus Carlsen, pecatur muda dari Norwegia, di usianya ke-13 tahun mengalahkan grandmaster catur Rusia, Anatoly Karpov. Pada usia 14 tahun ia melawan pecatur nomor 1 dunia ketika itu, Garry Kasparov. Hasilnya draw.
Pada tahun 2010, di usia ke-19 Magnus menjadi pecatur no.1 dunia hingga kini. Magnus memang mulai belajar catur sejak usia 5 tahun. Kalau dikonversikan, 10.000 jam setelah dikurangi waktu istirahat menjadi kurang lebih 6-7 tahun. Masuk akal bukan?
Tapi pertanyaan berikutnya adalah: Apakah semua orang akan bisa berprestasi seperti Magnus apabila diberikan waktu, kesempatan dan lingkungan belajar yang sama?
Gladwell menerangkan, pada tahun 1993 terbit artikel di jurnal bergengsi Psychologycal Review berjudul “The Role of Deliberate Practice in the Acquisition of Expert Performance” tulisan seorang psikolog dari Swedia, Anders Ericsson.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa keahlian dalam hampir semua bidang bisa dikuasai secara superior oleh siapapun apabila memang sengaja untuk berlatih dalam jangka waktu tertentu.
Ericsson meneliti para pemain musik. Pemain yang sangat ahli dan sukses berlatih kurang lebih 10.000 jam. Penelitian ini didukung penelitian lain oleh Gobet & Compitelli (2007) pada pemain catur. Pecatur paling ahli dalam subyek penelitiannya berlatih antara 728 jam hingga 16.120 jam.
Penelitian-penelitian ini bertolak dari mazhab psikologi behavioristik yang meyakini bahwa keahlian bisa dibentuk melalui belajar (nurture). Pada awalnya John Locke menduga semua anak lahir seperti kertas putih (tabula rasa). Tugas orangtua dan para gurunya untuk “menuliskan” sesuatu dalam lembaran kertas tersebut.
John Watson, psikolog Amerika pada 1913 sesumbar mengatakan, “beri saya 12 bayi sehat, dengan metode spesifik. Saya akan bentuk mereka menjadi ahli dalam bidang apapun. Sebut saja: dokter, pengacara, insinyur, atau bahkan penjahat profesional.”
Peneliti mazhab ini meyakini Magnus lain bisa diciptakan dengan proses dan prosedur yang terstandarisasi.
Peneliti-peneliti mazhab nurture ini memiliki lawan abadi yaitu para peniliti mazhab nature yang meyakini perkembangan dan proses belajar manusia sangat dipengaruhi oleh tipe sifat, keturunan, dan genetika (nature).
Meta-analisis (meneliti berbagai penelitian yang sudah ada) yang dilakukan oleh Brooke Macnamara (2014), psikolog dari Universitas Princeton menyatakan bahwa efek dari latihan keras untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu hanya 26%.
Artinya, latihan keras memang penting, tapi masih ada 74% faktor lain mempengaruhi.
Teori 10,000 jam berlatih memang penting untuk menguasai keahlian tertentu, tapi hanya efektif pada keahlian khusus yang tidak terpengaruh perkembangan zaman. Artinya, kaidah dan peraturannya sangat terstruktur. Seperti catur, sejak awal diciptakan peraturan permainannya tidak mengalami perubahan signifikan. Atau keahlian lain seperti musik klasik.
Pada bidang-bidang lain teori ini menurut para peneliti mazhab “nature” tidak berlaku.
Robert Plomin (2013), psikolog King’s College London dalam penelitiannya terhadap 15.000 pasangan kembar menyatakan ada korelasi kuat dalam keahlian menggambar pada pasangan kembar identik.
Senada dengan penelitian Miriam Mosing (2014), psikolog Swedia pada 10.000 pasangan kembar untuk ketrampilan bermain musik.
Pada 2014 pula Robert Deaner, psikolog Universitas Duke menyatakan bahwa sprinter peraih emas olimpiade seperti Jesse Owen dan Usain Bolt memiliki perbedaan fisik dan genetik dibandingkan sprinter pada umumnya, begitu pula dengan perenang langganan emas Olimpiade seperti Michael Phelps.
Sehingga, sekeras apapun latihan seorang sprinter tetap tidak akan bisa berlari secepat Usain Bolt atau berenang segesit Michael Phelps.
Para peneliti ini meyakini bahwa Magnus Carlsen merupakan individu yang unik. Hampir pasti tidak ada orang lain yang bisa menyamai prestasinya saat ini karena memang keahliannya bawaan lahir.
Lalu kita harus percaya dengan mazhab yang mana? Apa yang musti kita lakukan pada anak-anak kita?
Memberikan usaha dan upaya yang menyeluruh untuk les piano supaya bisa menjadi pemain piano kelas dunia? Atau kita tes dulu inteligensi anak kita? Kalau ternyata IQ (intelligence quotient)-nya “hanya” rata-rata ya kita pasrah saja. Apa boleh buat, anak kita paling pol hanya bisa jadi staf administrasi di sebuah organisasi.
Untuk apa buang uang untuk sekolah tinggi-tinggi? Apalagi menurut penelitian lain yang dilakukan profesor Hambrick, IQ terbukti memprediksi kesuksesan kognitif anak.
Ada beberapa pilihan. Pilihan pertama tidak usah repot. Cukup 'membeo' saja dengan komentar para ahli Barat itu.
Atau pilihan kedua, kita harus berpikir lagi. Hipotesis atau dugaan para peneliti dari dua mazhab yang berlawanan itu harus kita sikapi secara kritis.
Memang hasil penelitian menunjukkan kerja dan latihan keras “hanya” punya andil 26% untuk meraih sukses. Tapi sebenarnya peneliti belum ada yang tahu 74% yang lain itu apa saja. Apa yang turut mempengaruhi kesuksesan seseorang?
Belum lagi ukuran “sukses” yang berlaku saat ini sangat materialistik; uang banyak atau gaji selangit.
Jadi menurut saya, tetap upayakan yang terbaik bagi anak-anak kita. Terbaik dalam arti mendidik anak-anak kita untuk untuk membuka batin (rasa-spiritual), memerdekakan pikiran (cipta) dan membangun kemandirian (karsa).
Dengan begitu anak akan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah (agile), tetap sadar akan budaya dan asal-usulnya, tidak minder dengan orang asing.
Dan terakhir, tetap percaya diri dengan keahliannya sendiri. Demikian ajaran luar biasa dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara.
Sumber :
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0956797614535810
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/27/114500526/bappenas--pengeluaran-peserta-acara-imf-world-bank-di-bali-rp-943-5-miliar
https://edukasi.kompas.com/read/2018/05/15/10263651/benarkah-manusia-tidak-diciptakan-setara