Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Terorisme, Kesehatan Jiwa, dan Cara Menghindarinya

Minggu lalu setelah peristiwa teror bom Surabaya seorang teman spontan berkata, “Perilaku teror bukan masalah agama, ini masalah kesehatan jiwa.” Beberapa teman mengiyakan.

Kurang lebih saya juga setuju. Bahwa pelakunya orang gila?

Tunggu dulu, masyarakat sekarang, apalagi netizen, mengaburkan istilah “gila” dan istilah “tidak sehat jiwa”.

Tidak ada istilah “gila” dalam panduan diagnosis psikologi manapun. Gila itu istilah budaya. Orang yang ingin selalu dihormati, kayak para pejabat itu juga gila. Gila hormat, gila kekuasaan, gila uang, makanya gaji ratusan juta selalu masih kurang. Itu juga namanya gila.

Karena merupakan turunan budaya, “gila” juga berubah seiring jalannya waktu. Kurang dari seratus tahun yang lalu, orang mau pergi ke bulan disebut orang gila. Jaman sekarang, orang pergi ke bulan adalah orang-orang cerdas yang lolos seleksi menjadi astronot.

Seseorang yang sehat jiwa adalah orang yang percaya diri, mandiri, memiliki relasi sehat dengan keluarga maupun lingkungan sekitar, dan punya rasa humor yang cukup.

Namun, tidak setiap waktu kita memiliki jiwa yang sehat. Perjalanan kesehatan jiwa juga mirip dengan perjalanan kesehatan fisik. Ada kalanya sehat, ada kalanya sakit.

Ketika sakit ada yang cepat sembuh mudah diobati, atau sembuh setelah beberapa waktu dirawat di rumah sakit, dan ada juga yang tidak bisa sembuh.

Begitu pula kesehatan jiwa, ada masa ketika seseorang kesehatan jiwanya merosot, bisa merosot sedikit bisa merosot banyak. Di sinilah masa paling rentan, masa-masa titik balik seseorang  mudah terpengaruh dan mudah dipengaruhi.

Tidak peduli dia kaya atau miskin, tidak peduli dia orang dewasa atau remaja, tidak peduli dia lulusan SMA, S2 atau seorang profesor.

Jadi apakah hanya orang-orang tidak berpendidikan yang mudah dipengaruhi? Sama sekali tidak.

Masa-masa “sakit” jiwa ini menurut Martha Crenshaw, seorang profesor dan ahli terorisme Stanford University disebut dengan “Blip!”.

Seperti menjentikkan jari, “klik!” seorang yang memiliki kehidupan “normal” tiba-tiba menghilang dan tidak sampai setahun kemudian bisa muncul membawa bom di pinggang, meledakkan diri di keramaian.

Kesehatan jiwa yang merosot pada orang “normal” bisa terjadi ketika seseorang kehilangan figur disayangi atau diputus pacar, sedang ada masalah keluarga, ketika pertama kali bekerja atau saat kehilangan pekerjaan, ketika mulai masuk perguruan tinggi, mau memutuskan untuk menikah, atau bahkan saat harus pindah rumah atau harus menjalani kehidupan di luar kota untuk pertama kali.

Peristiwa kejiwaan unik ini juga terjadi pada masa remaja. Remaja sangat mudah dipengaruhi. Masa remaja menurut fase perkembangan kognitif, masuk tahap operasional formal, yaitu masa-masa ketika anak sudah bisa berfikir secara abstrak, mulai belajar dan memahami konsep-konsep seperti agama, filsafat, politik, ataupun solidaritas.

Ketika seseorang kesehatan jiwanya sedang merosot, orang lain cenderung  dengan mudah “masuk” dalam kehidupannya. Bisa jadi “Klik” yang terjadi pada Dita Oepriarto, pembom 3 gereja di Surabaya sudah terjadi ketika masa sejak masa remaja yang konon tidak mau ikut upacara bendera.

Lalu bagaimana cara kita menghindari direkrut oleh organisasi teroris?

Sebelumnya kita perlu tahu bahwa organisasi teroris biasanya berbentuk kelompok tertutup. Skema rekrutmennya seperti sebuah sekte (cult) membuat seseorang terikat dan tergantung. Tidak secara fisik, tapi secara psikologis.

Contohnya kelompok NII (Negara Islam Indonesia) yang melakukan beberapa “penculikan” dan sempat membuat heboh beberapa waktu lalu. Korban seperti dihipnotis.

Namun perlu diingat bahwa tidak semua kelompok tertutup itu organisasi teroris. Kelompok yoga pun bisa menjadi sebuah cult.

Lalu seperti apa ciri-ciri modus rekrutmen kelompok teroris ini sehingga korban bisa “ditelan” (engulfed) oleh kelompoknya  :

Fase 1: Empati

Sebelum mem-brainwash, korban akan diberi “ikatan” psikologis berupa empati, kasih sayang (bila perempuan), dan solidaritas (bila laki-laki) yang sangat kuat. Atau malah dalam kacamata orang-orang di dekatnya, berlebihan.

Proses ini tidak butuh waktu lama, apalagi pada korban jiwanya sedang merosot. Kemudian korban akan merasa memiliki tempat aman, merasa punya kawan seperjuangan yang “benar”, yang berkorban demi dirinya.

Fase 2: Dinding Emosi

Korban akan mulai dijauhkan dari teman-temannya, lalu keluarganya. Mereka dianggap ancaman karena memiliki pengaruh dan riwayat psikologis pada korban. Korban harus “diputuskan” secara emosional.

Bisa jadi secara fisik masih berinteraksi seperti,tetapi ada “tembok tinggi” dalam kepala dan pikiran bahwa teman dan keluarga adalah “orang lain”.

Fase 3: Brainwash

Fase ini menurut saya paling panjang. Pelaku sudah “menguasai” korban secara psikologis. Teman dan keluarga sudah disingkirkan, jadi pelaku punya waktu agak longgar.

Pandangan-pandangan orang yang di luar kelompoknya sudah pasti salah. Kebenaran hanya milik kelompoknya. Saat ini pelaku mulai mengajak diskusi mengenai pandangan-pandangan yang baru. Fase ini bisa jadi sudah dimulai sejak fase pertama. Tapi akan lebih intensif di fase yang ketiga.

Fase 4: Penugasan

Benjamin Franklin effect yang saya bahas pada artikel saya sebelumnya “Dilan, Cinta, dan Cara Menemukan Pasangan” menurut saya berlaku disini.

Selain diskusi korban akan juga akan diminta mematuhi peraturan-peraturan dan melakukan tugas-tugas. Seperti kita sudah baca kembali, seseorang senang, bahagia, dan akan terikat secara emosi bukan karena orang itu diberi sesuatu. Tapi karena orang itu diminta melakukan sesuatu.

Kemudian bagaimana mencegahnya? 

Ketika masuk jauh ke fase kedua, upaya mengubah pikiran korban sudah sulit apabila sudah masuk fase ketiga. Bukan lagi pencegahan (preventif) yang bisa dilakukan, tapi sudah kuratif oleh ahlinya. 

Jadi satu-satunya jalan bagi kita untuk mencegah adalah ketika fase pertama atau awal fase kedua. 

Kata kuncinya hanya satu: jangan sampai “diabaikan” (ignorance) ketika kita tahu ada seseorang di dekat kita sedang mengalami masa-masa sulit.

Apabila kita tahu ada orang lain yang di dekat calon korban memberikan perhatian yang berlebihan (fase pertama), bisa lewat sosial media, bisa sering datang ke rumah/kost, kita sudah harus waspada.

Pemahaman-pemahaman kitab suci yang letter lijk dan dangkal seperti tiba-tiba memutuskan tidak mau ikut upacara bendera karena dianggap syirik juga merupakan satu tanda keras.

Pencegahan sebaiknya harus dari orang-orang yang paling dekat, yang biasanya dipercaya bukan dari orang lain.

Kalaupun orang terdekat tidak begitu memahami pemikiran-pemikiran religius, sebaiknya bertanya para ahli yang membawa pesan damai, baru bicara dengan calon korban.

Jadi tetap orang terdekatlah yang selalu berada disampingnya dan menumpahkan segala ceritanya.

Jadikan keluarga dan teman-teman dekat tempat perlindungan paling aman bagi calon korban (safe haven). Jangan biarkan orang baru tidak jelas asal dan lingkungannya jadi tempat berkeluh kesah.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/05/21/07581401/terorisme-kesehatan-jiwa-dan-cara-menghindarinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke