Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masih Perlukah Psikotest?

Beberapa tahun lalu seorang VP (vice president) salah satu direktorat di kantor datang ke ruangan saya untuk “memprotes” hasil asesmen pengukuran kompetensi anak buahnya bulan lalu.

Bukan protes dalam arti sebenarnya, tapi ingin tahu dan membuktikan skor hasil asesmen dalam psikogram. Beberapa hari lalu, ia juga beberapa kali minta dites.

Akhirnya beliau saya minta mengerjakan salah satu alat tes di meja saya. Berduaan. Saya mengetes, ia melakukan pengetesan.

Jarang saya menemui kepala departemen yang punya rasa ingin tahu begitu tinggi tanpa merasa bossy atau gengsi.

Dengan senang hati saya menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya. Biasanya selama ini para pimpinan yang saya “support” dalam bentuk asesmen ada 2 macam.

Model pertama, model tidak mau tahu.

Sebenarnya tahu manfaatnya dan selalu minta anak buahnya dilakukan asesmen agar tahu kekuatan dan kelemahan dalam bekerja. Namun setelah laporan asesmen diserahkan, tidak ada respon, tidak ada umpan-balik (feedback) baik ke tim asesor maupun ke anak buah.

Laporan ditumpuk saja dilemari, atau dijadiin ganjal meja.

Model kedua, sok tahu.

Membaca laporan asesmen dengan detail lalu protes keras kalau asesmen “tidak valid”, “tidak menggambarkan yang sebenarnya”, dan segudang alasan yang lain. Akhirnya anak buah diberikan umpan balik seadanya.

Saya lebih suka menghadapi model kedua. Paling tidak orangnya merespon dalam bentuk protes. Saya jadi punya alasan untuk menjawab.

Tapi lebih senang lagi saya menghadapi VP saya yang datang tadi siang. Protesnya sangat asertif dan elegan.

Akhirnya kami diskusi panjang mengenai kekuatan dan kelemahan asesmen psikologi. Saya termasuk praktisi psikologi yang pilih-pilih menggunakan alat tes. Kalau tidak diperlukan, saya tidak akan pakai.

Untuk aplikasi dalam dunia kerja, alat tes psikologi saya bedakan menjadi 3 golongan.

1. Alat tes mengukur kemampuan kognitif.

Biasanya saya gunakan tes inteligensi umum, praktis, tapi komperhensif. Seperti IST (Intelligenz Struktur Test). Memang sekarang banyak meragukan karena banyak bocor tapi saya belum menemukan alternative lain.

Kalau mau lebih praktis bisa memakai SPM/APM (Standard/Advanced Progressive Matrics) atau CFIT (Culture Fair Intelligence Test) tapi kurang komperhensif. Untuk keperluan seleksi bisa dipakai tapi untuk keperluan asesmen internal saya jarang pakai.

Alat tes golongan ini menurut saya sangat obyektif dan universal. Tidak ada masalah.

2. Alat tes mengukur sikap kerja.

Alat ini mengukur bagaimana orang bekerja: kecepatan, ketelitian, sistematika, dan lainnya. Intinya bagaimana seseorang merespon pekerjaan-pekerjaan yang ada di depannya dengan cepat dan tepat.

Logikanya, orang dengan kemampuan kognitif tinggi sikap kerja akan bagus pula. Kalau tidak, maka asesor bisa menggali lebih dalam apa masalahnya.

Data ini dapat membantu atasan melakukan perbaikan dan pengembangan (development). Alat tes golongan ini juga cukup obyektif. Kalaupun ada pertanyaan, asesor dengan mudah bisa menjawab keabsahan hasil tesnya.

3. Alat tes kepribadian.

Menurut saya, alat tes di golongan ini punya kelemahan-kelemahan diterapkan dalam lingkungan kerja. Sifatnya subyektif.

Tentu biasanya ada penelitian statistik yang mendasari penyusunan alat tes tapi tetap saja, kadang asesor melakukan judgment kurang pas, atau menjawab pertanyaan dari para manajer lini yang penasaran secara defensif.

Menurut saya kepribadian tidak bisa diukur secara absolut. Kalau asesor yang tidak berpengalaman memaksakan interpretasinya, itu tidak ubahnya seperti praktisi Tarot, garis tangan, golongan darah, atau sidik jari.

Namun demikian alat tes ini tetaplah diperlukan meski menurut saya perlu seorang psikolog berpengalaman untuk melakukan interpretasi tes kepribadian.

Hal ini penting karena berdasarkan pengalaman saya di sebuah organisasi, ada seorang karyawan management trainee (MT) yang secara kognitif di atas rata-rata, lulusan perguruan tinggi ternama, pernah menangani beberapa proyek besar dan berhasil.

Namun dalam sebuah situasi yang bersangkutan kesulitan mengendalikan emosi sehingga mengancam karyawan lain secara tidak etis. Dan hal itu terjadi berulang.

Seharusnya kemampuan mengendalikan emosi yang lemah ini bisa ditemukan dalam interpretasi beberapa tes kepribadian, misalnya dalam tes menggambar (grafis), melengkapi gambar (wartegg), atau tes-tes proyektif lain.

Dengan demikian dari awal sudah bisa dilakukan mitigasi atau langkah penanggulangan. Yang bersangkutan tidak diterima atau diterima dengan catatan sehingga atasan atau pendamping bisa menentukan strategi menanggulanginya.

Setelah hampir satu jam diskusi, Pak VP ‘manggut-manggut’ dan semoga puas dengan hasil diskusinya. Sepertinya masih banyak hal yang mau ditanyakan. Ia menyampaikan kemungkinan kalau masih bisa melakukan diskusi lagi lain waktu. Siap Pak, nanti kita lanjutkan ngobrol-ngobrolnya…

https://edukasi.kompas.com/read/2018/05/28/08133411/masih-perlukah-psikotest

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke