KOMPAS.com – Coba tanyakan pada diri Anda sendiri, sudahkah Anda berkarier sesuai passion? Apakah pekerjaan saat ini merupakan cita-cita yang diimpikan? Apakah kuliah yang ditempuh sesuai dengan bakat dan minat? Jika jawabannya iya, Anda patut bersyukur.
Sebab, lebih dari setengah profesional muda Indonesia lainnya harus berjuang lebih keras daripada Anda karena mereka bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan cita-cita mereka. Tak jarang dari mereka yang sudah mengalami hambatan meraih cita-cita bahkan sejak bangku sekolah atau kuliah.
Dikutip dari Kompas.com, Minggu (23/7/2018), sebuah survei dari jaringan profesional global LinkedIn menyebutkan bahwa 58 persen profesional muda Indonesia bekerja tidak sesuai cita-cita. Sementara yang bekerja sesuai impian, hanya berjumlah 13 persen.
Survei yang digelar mulai dari Juni hingga Juli 2017 tersebut melibatkan 1.000 responden dari seluruh Indonesia, termasuk pelajar usia 16−23 dan profesional muda berusia 25–36 tahun yang memiliki pengalaman kerja lebih dari dua tahun.
Sementara itu, untuk responden yang merupakan para pelajar, mereka mengatakan bahwa hambatan terbesar dalam meraih impian adalah finansial. Sebanyak 51 persen pelajar menyatakan hal tersebut.
Peserta survei lainnya, yakni sebesar 28 persen, mengaku mengalami hambatan pada akses jaringan yang tepat, dan hanya delapan persen yang mengatakan bahwa akses pendidikan merupakan tantangan besar untuk mereka lewati.
Cita-cita, orangtua, dan pendidikan
Hal yang menarik justru ditemukan pada sisa responden, yakni sebesar 13 persen. Mereka mengatakan, hambatan dalam meraih cita-cita adalah tidak adanya dukungan dari orangtua terhadap bidang yang mereka minati.
Padahal, orangtua berperan sentral dalam meningkatkan performa siswa. Hal ini pernah dituliskan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di akun Instagram pribadinya, @smindrawati, pada Minggu (2/4/2017).
“Sayangnya peran orangtua Indonesia dalam pendidikan masih minim. Sebanyak 80 persen orangtua tidak pernah memberikan masukan dalam pengambilan keputusan di sekolah, dan sebanyak 30 persen tidak pernah berdiskusi dengan guru,” tulis Sri Mulyani.
Bersama sekolah, orangtua harus menjadi mitra dalam pendidikan anak. Sri Mulyani mengatakan keterlibatan orangtua adalah cara yang murah tapi efektif dalam meningkatkan kinerja sistem pendidikan.
Di sisi lain, sekolah, sebagai tempat proses belajar, bertugas menemukan dan mengembangkan kemampuan peserta didik, sesuai bakat dan minat mereka.
“Semakin dini bakat dan minat peserta didik diketahui, semakin cepat pula untuk dikembangkan dan difokuskan sesuai arahnya,” ujar Nigel Robson, salah satu tenaga pendidik Sinarmas World Academy (SWA), saat ditemui Kompas.com, Selasa (22/5/2018).
Umumnya, pemfokusan ini dilakukan sekolah lewat program penjurusan pada kelas 11 atau 2 SMA. Penjurusan inilah yang akan menjadi awal persiapan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah sesuai bakat dan minat mereka yang akhirnya akan menentukan karier apa yang kelak mereka geluti.
Namun, Nigel mengatakan, penjurusan ini sesungguhnya akan semakin efektif jika dilakukan lebih awal, seperti yang dilakukan Sinarmas World Academy.
Lewat program SWA BEST Pathaways, Sinarmas World Academy sudah mempersiapkan peserta didik mereka mulai dari kelas 9 atau 3 SMP untuk melanjutkan kuliah.
Penamaan BEST merupakan singkatan dari Business, Engineering, Science, dan Technology. Keempatnya dianggap sebagai bidang utama dalam pengembangan karier di masa depan.
Program ini, kata Nigel, mengakomodasi siswa mulai dari kelas 9 untuk memilih sendiri subyek pelajaran yang sesuai dengan minat mereka.
Di samping empat mata pelajaran wajib, yakni Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Biologi, para peserta didik bisa memilih lima dari sepuluh subyek lain sesuai minat dan bakat mereka, misalnya fisika, ekonomi, bisnis, atau komputer science.
Selain dapat memilih mata pelajaran sendiri, para siswa juga akan didampingi oleh seorang konselor. Konselor ini akan membantu siswa menggali minat dan bakat mereka sehingga dapat memilih subyek yang benar-benar tepat.
Hal krusial lainnya, konselor ini akan membantu menjembatani antara keinginan juga bakat peserta didik dan keinginan orangtua yang seringkali tak sejalan dan menjadi hambatan dalam meraih impian.
“Tidak hanya menunjukkan bukti berupa nilai dari mata pelajaran, kami juga akan melakukan sejumlah tes akademik dan kepribadian sehingga orangtua bisa yakin akan bidang yang memang diminati si anak,” kata Christopher Warren, salah satu tenaga pendidik Sinarmas World Academy (SWA).
Chris menjelaskan, orientasi orangtua Indonesia kebanyakan adalah karier. Jika peserta didik minat di bidang A, misalnya, para orangtua harus tahu bagaimana prospek karier dengan bidang tersebut. Meski sesungguhnya, semua bidang memiliki prospek karier yang sama cerahnya.
Di sinilah sinergi antara sekolah dan orangtua menjadi begitu penting. Dengan adanya kolaborasi antara dukungan juga keterlibatan orangtua, dan peran sekolah dalam mengembangkan serta mengarahkan bakat dan minat anak, niscaya proses pendidikan akan berjalan optimal.
Kelak, tak akan ada siswa yang “salah pilih” jurusan kuliah karena desakan orangtua. Hingga pada akhirnya, tak akan ada lagi profesional muda yang “terpaksa” bekerja di bidangnya karena gagal meraih cita-cita.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/05/31/06470051/antara-karier-pendidikan-dan-dukungan-orangtua