Salin Artikel

Fakta: Otakmu Sulit Membedakan Opini dan Fakta

Penelitian terbaru membuktikan bahwa otak tidak dapat membedakan antara fakta dengan opini yang kita sukai. Ini juga menjawab mengapa kita enggan membaca tulisan atau berita yang tidak kita sukai, meski beritanya benar  

Pertama, kita hanya mempercayai fakta yang kita sukai. Saya beri contoh, saudara saya, sebut saja namanya si Bemby, dia mengatakan jalan tol lancar selama lebaran.(https://www.antaranews.com/berita/718188/jalan-tol-jakarta-cikampek-hingga-cipularang-lancar.) Meski ada fakta bahwa pada waktu tertentu jalan tol memang macet Bamby enggan membaca tautan berita mengenai jalan tol yang macet. (https://www.merdeka.com/peristiwa/terjebak-macet-di-tol-cikampek-pemudik-mengeluh-capek-dan-makin-boros-bbm.html).

Sebaliknya saudara saya yang lain, si Nungki (bukan nama sebenarnya) mengatakan jalan tol macet sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Kabar mengenai jalanan lancar, dia abaikan. Berita yang dijadikan dasar hanya tautan kedua. Keduanya saling sindir di media sosial.

Padahal memang waktunya berbeda, lancar tanggal 13 Juni, lalu pada tanggal 14 Juni 2018 macet. Mungkin saja di hari berikutnya lancar lagi.

Ini bukan salah beritanya, entah berita itu hoax atau tidak. Mereka berdua membaca tulisan yang berisi fakta, namun mereka hanya menyimpan fakta-fakta yang mereka sukai. Istilahnya “Confirmation Bias”.

Menyortir informasi

Studi tahun 2011 diterbitkan jurnal Psychological Medicine membuktikan bias kognitif ini. Sekelompok psikiater diminta untuk melakukan diagnosis, lalu diminta untuk melakukan konfirmasi online mengenai akurasi diagnosisnya. Hanya 27% psikiater yang benar-benar ingin membuktikan bahwa mungkin diagnosisnya tidak akurat, sementara 70% psikiater melakukan konfirmasi online hanya untuk memperkuat dan membuktikan bahwa diagnosisnya sudah benar.

Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar orang secara kognitif menyortir informasi.

Hanya fakta yang disukai disimpan dalam memori, sementara fakta tidak disukai dibuang. Sebenarnya bukan mereka yang salah, tapi memang otak manusia dirancang demikian.

Hal ini bisa kita hindari apabila kita tidak malas untuk membuktikan dan selalu bertanya bahwa diri kita sendiri bisa salah (self correction).

Faktor kedua dinamakan “Backfire Effect”. Jadi semakin Bemby diberikan fakta-fakta bahwa jalan tol selama lebaran macet, justru keyakinan Bemby bahwa jalanan tol sebenarnya lancar semakin kuat. Sebaliknya semakin Nungki disodorin berita-berita jalan tol lancar, Nungki semakin yakin bahwa jalan tol macet.

Aneh ya? Tapi memang demikian adanya.

Saat ini di media sosial, kelompok A menggebu-gebu ingin membuktikan kelompok B salah dengan membombardir fakta-fakta yang benar. Yang terjadi adalah semakin disalahkan, kelompok B akan semakin yakin dengan pendapatnya.

Sebaliknya kelompok B bernafsu membuktikan kelompoknya benar dengan memberikan fakta-fakta yang membenarkan, yang terjadi adalah kelompok A semakin yakin kelompok B salah. Dan seterusnya tanpa ada ujung.

Mekanisme pertahanan diri

Fenomena ini dibuktikan dalam penelitian tahun 2010 oleh Brendan Nyhan dan Jason Reifler keduanya profesor politik di Dartmouth College, Amerika Serikat. Peneliti membagi kelompok penelitian menjadi dua kelompok, sama-sama orang konservatif yang percaya Irak punya senjata pemusnah massal.

Kedua kelompok diminta membaca laporan mengenai senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD) yang dimiliki oleh Irak, sebuah informasi yang dijadikan alasan oleh Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak.

Peneliti menyiapkan dua laporan, yang pertama laporan bahwa Irak memiliki WMD. Laporan kedua adalah laporan lebih baru (2004-Duelfer Report) yang menyebutkan bahwa Irak ternyata tidak memiliki WMD.

Kelompok pertama hanya membaca laporan yang kedua (tidak punya WMD), dari keseluruhan anggota kelompok ada 34% yang masih percaya bahwa Irak punya senjata tersebut. Sementara kelompok kedua diminta membaca laporan pertama (Irak punya WMD) dan laporan sanggahannya, yaitu laporan kedua (Irak tidak punya WMD).

Ternyata angka yang percaya Irak punya WMD meroket menjadi 64%. Informasi sanggahan tidak membuat kelompok menjadi sadar dan insaf, tapi malah menguatkan keyakinannya meski informasinya sebenarnya salah.

Bias kognitif ini merupakan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang menghindarkan kita dari rasa “sakit” atau rasa “malu” bahwa kita sebenarnya salah.

 Senang diadu domba

Confirmation Bias, dan backfire effect ini terjadi sehari-hari di Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan semua media sosial belakangan ini. Tentu saja kontestan pemilu dan konsultan politik sebagian tahu hal ini dan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan mereka; mengadu domba masyarakat untuk keuntungannya sendiri.

Kita sebagai pengikut sosmed faktanya juga senang-senang saja diadu domba.

Penelitian terbaru oleh Anat Maril dari Fakultas Psikologi The Hebrew University, Israel, April 2018, memperlihatkan sesuatu lebih mengkhawatirkan.

Pengikut di sosmed tidak hanya memilih informasi yang disuka saja, tetapi semakin diberikan informasi benar, kita malah semakin tidak percaya.

Ketika otak kita disuplai informasi berupa opini atau pendapat (yang belum tentu benar) yang kita sukai, informasi itu langsung dikategorikan sebagai “fakta” dalam memori kita.

Hanya sebagian kecil orang yang mau bersusah payah “menantang” informasi yang belum tentu benar ini dengan melakukan klarifikasi (tabayyun).

Bias ketiga ini dinamakan “The Stroop Effect”. Eksperimennya sederhana, bisa dilakukan sendiri dan sebagian saya yakin sudah pernah melakukan.

Cetak 'nama-nama warna' tetapi dengan warna berbeda. Misalnya tulisan “BIRU” yang berwarna hijau. Otak kita biasanya akan susah payah mengenali warna “sebenarnya” yaitu hijau. Karena warna biru sudah tersimpan dalam memori kita ketika kita membaca tulisan “BIRU” meskipun warna jelas hijau.

Butuh waktu bagi otak untuk “pindah kopling” dan melakukan re-kategorisasi tulisan itu menjadi warna hijau.

Contohnya, seseorang difitnah sebagai anggota partai terlarang. Si Nungki karena diberi tahu oleh orang yang sangat ia percayai, ia menyimpan dalam memori bahwa orang itu adalah benar anggota partai terlarang.

Jadi ketika ada informasi fakta bahwa orang itu ternyata bukan partai terlarang, maka Nungki akan sulit menerima bahwa orang itu ternyata bukan anggota partai terlarang.

Sumber :

https://rd.springer.com/article/10.1007%2Fs11109-010-9112-2 http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1948550618762300

https://edukasi.kompas.com/read/2018/06/18/14234741/fakta-otakmu-sulit-membedakan-opini-dan-fakta

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke