Salin Artikel

Apakah Bias Kognitif Memengaruhi Pilihan Anda dalam Pilkada?

Selama kita masih punya otak, Anda, tentu saja termasuk saya, hampir tidak pernah bisa rasional dalam menentukan pilihan dalam pemilihan, baik itu pilbup, pilwakot, pilgub, maupun pilpres. Sama saja. Mengapa?

Karena manusia tidak didesain sebagai makhluk rasional. Keputusan-keputusan yang kita ambil hampir pasti dibarengi dengan bias-bias kognitif.

Loh kok bisa? Kan kita punya akal dan pikiran rasional atau obyektif?

Obyektif bisa, tapi hanya untuk hal-hal tertentu yang tidak melibatkan emosi atau tidak melibatkan individu lain.

Misalnya ketika menghitung ikan dalam akuarium, manusia bisa obyektif. Umumnya hasil hitungan kita akan sesuai fakta. Karena memang apa untungnya menghitung ikan? Kalaupun nanti sedih (salah satu bentuk emosi), misalnya karena ternyata ada ikan yang mati, itu emosi setelah menghitung, bukan sebelum atau saat menghitung.

Emosi memainkan peran

Setiap kandidat selalu menyodorkan program-program generik semacam sekolah gratis, pembangunan infrastruktur, penurunan harga, membuka lapangan pekerjaan dan segerobak program-program keren yang lain.

Namun kalau kandidat tidak membungkus dengan “kemasan” tertentu, termasuk SARA (Suku Agama Ras Antar golongan), atau datar-datar saja, maka pemilih biasanya kurang tertarik.

Datar-datar saja maksudnya, semua sudah tahu kewajiban pemimpin salah satunya adalah mencerdaskan warga, biasanya dengan membuka lapangan kerja. Semua sudah tahu pemimpin yang baik tidak membiarkan warganya menganggur, jadi harus membuka lapangan kerja.

Kalau begitu saja, emosi kita tidak akan menggelora.

Ironisnya emosi memainkan peranan sentral dalam pengambilan keputusan para pemilih. Dugaan saya, hanya sebagian kecil, kecil sekali, pemilih akan repot-repot menggali program-program para pasangan calon pemimpin daerah dengan serius dan obyektif.

Sebagian besar sisanya memilih karena dua hal; satu pasangan itu kita disukai, kedua karena pasangan lain dibenci.

Jadi tim sukses akan berusaha membuat pasangan jagoannya disukai, sekaligus kalau bisa membuat pasangan lawan tidak disukai. Misal, dengan black campaign.

Pada artikel saya sebelum “Fakta: Otakmu Sulit Membedakan Opini dan Fakta”, saya menceritakan mengenai “The Stroop Effect” bahwa sekali kita suka pada calon tertentu, kebanyakan orang akan “lengket” bahkan mengabaikan (bila ada) rekam jejak yang negatif dan sebaliknya.

Contohnya, saya susah sekali menyukai sosok politisi, sebut saja F, meski teman saya sangat dekat dengan beliau. Saya kebanjiran statement negatif di sosial media mengenai si F, termasuk yang saya dengar sendiri.

Padahal saya hanya mendengar potongan-potongan pernyataan. Saya sendiri juga belum pernah bertemu secara langsung, apalagi ngobrol. Keputusan insting saya untuk tidak menyukai politisi si F ini tidak rasional.

“Tidak suka” ini sangat subyektif. Kebalikan dari cara berpikir rasional (analytic reasoning), keputusan untuk menyukai atau tidak suka dalam psikologi dipengaruhi oleh cara berpikir intuitif-instingtif (intuitive thingking).

Stereotyping

Cara berpikir ini sifatnya otomatis, tidak disadari, dan berlangsung cepat. Sebaliknya berpikir rasional cirinya logis, disadari, dan lambat.

Pernyataan, status, broadcast di media sosial selalu singkat, cepat berubah, dan bertubi-tubi. Banjir informasi ini lebih sulit dicerna dengan cara berpikir rasional. Jadi cara berpikir instingtif bermain disini.

Menurut Daniel Kahneman, profesor psikologi dan peraih Nobel ekonomi 2002 dalam penelitiannya bersama Amos Tversky, psikolog kognitif dari University of Michigan berjudul “Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases”, ciri-ciri berpikir instingtif adalah munculnya pernyataan “Saya pikir…”, “Kemungkinan si Anu…”, “Sepertinya…”, dan seterusnya.

Meski banyak penelitian mengatakan bahwa berpikir instingtif ini bisa bermanfaat untuk berbagai hal. Misal untuk mengambil keputusan bisnis.

Namun dalam penelitian Irene V. Blair dan Mahzarin R. Banaji dari Yale University pada Journal of Personality and Social Psychology cara berpikir ini juga menyebabkan kita mengalami bias kognitif yaitu “stereotyping”.

Dalam kontes politik seperti pilkada, stereotyping berarti memilih calon yang “sama dengan saya…”. “Sama” dalam konteks stereotype berarti sesuku, seagama, separtai, segolongan (in-group), atau senasib.

Hal ini digunakan sebagai kemasan kampanye. Jokowi mungkin memenangkan pemilu 2014 karena membangun gambaran diri sebagai “orang biasa” yang sama dengan Anda dan saya. Orang yang berjejal naik bus atau kereta, makan di warteg, atau belanja di pasar.

Sementara kontestan lain mungkin gagal menunjukkan kesamaannya dengan kebanyakan pemilih dengan menggambarkan dirinya naik kuda dan sebagai sosok Jendral Sudirman atau Pangeran Diponegoro.

Tidak semua orang bisa menjadi panglima besar dan mengalahkan pasukan Inggris di Ambarawa. Tidak semua orang mengenal baik atau pernah ngobrol dengan Pangeran Diponegoro.

Memang benar gambar kedua tokoh ini ada dimana-mana namun kebanyakan hanya gambar dan dikagumi samar-samar. Tentu saja hal ini secara tidak sengaja justru menjauhkan diri dari sebagian besar pemilih.

Sebaliknya pada pemilu di Amerika pemilih dengan sengaja dijauhkan dari calon kuat. Obama digambarkan sebagai “orang lain/others” dengan diisukan dia bukan warga negara Amerika, beragama Muslim, dan seorang sosialis atau komunis.

Ciri-ciri 'Bias Kognitif'

"Jokowi effect" ini kemudian ditiru banyak pemimpin daerah, baik petahana maupun calon. Ada yang menggunakannya secara halus dengan menonjolkan perasaan senasib, tapi banyak juga yang memanfaatkannya secara kasar dengan menonjolkan kesamaan keyakinan atau suku.

Apakah Anda juga “tertipu” dengan pikiran Anda sendiri? Apakah bias kognitif mempengaruhi pilihan Anda? Berikut ciri-cirinya :

1. Pilihan Anda berdasarkan emosi. Sangat suka dengan calon pilihan Anda dan/atau sebaliknya sangat tidak suka dengan salah satu atau lebih calon yang lain (suka atau tidak suka adalah salah satu bentuk emosi).

2. Sulit untuk percaya calon pilihan Anda punya keburukan, sebaliknya sulit untuk percaya calon yang lain punya banyak sisi positif.

3. Tidak begitu memahami program-program apa saja yang diusung calon Anda.

Sumber :
http://www.its.caltech.edu/~camerer/Ec101/JudgementUncertainty.pdf
http://www.people.fas.harvard.edu/~mrbworks/articles/1996_JPSP.pdf

https://edukasi.kompas.com/read/2018/06/27/15365281/apakah-bias-kognitif-memengaruhi-pilihan-anda-dalam-pilkada

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke