Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah Siswa Kurang “Pintar” Berhak Masuk Sekolah Favorit?

KOMPAS.com - Ada dua kata problematik dalam judul artikel saya. Pertama kata "pintar". Saya termasuk tidak sepakat dengan pengertian pintar yang diyakini kebanyakan orang (baca : orangtua siswa).

Umumnya pintar hanya diartikan tingginya kemampuan kognitif. Misal, disamakan dengan tingginya nilai-nilai pelajaran sekolah. Lebih spesifik lagi pintar disamakan dengan nilai pelajaran sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA) tinggi.

Jadi, juara dunia atletik lari 100 meter Muhammad Zohri mungkin tidak dianggap pintar oleh kebanyakan orang. Saya juga agak pesimis, mungkin tidak terlalu banyak. Kalau tidak mau mengatakan tidak ada. Orangtua yang sengaja menyiapkan anaknya menjadi atlet atletik nasional.

Istilah "pintar" dan "favorit"

Jadi istilah “pintar” sudah dimonopoli. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pintar /pin·tar/ (1) pandai; cakap, (2) cerdik; (3) mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu).

Jadi, menurut saya Zohri tidak hanya pintar, tapi sangat pintar dalam hal atletik, khususnya cabang lari 100m.

Istilah problematis kedua adalah istilah “favorit”. Kebetulan saya termasuk beruntung bisa menikmati belajar di sekolah favorit. Tidak hanya favorit, tapi sebagai alumni (seperti hampir semua alumni yang lain) menganggapnya sebagai sekolah terbaik di wilayah Vorstenlanden, tanah raja-raja.

Memang secara resmi baik secara input (nilai ujian akhir SMP), maupun output (banyaknya siswa yang diterima di perguruan tinggi ternama) SMUN 3 Jogja “hanya” berada di urutan dua.

Tapi secara tidak resmi saya mengganggapnya sekolah saya jauh lebih kece, lebih keren, dus sudah seharusnya jadi yang terbaik.

Nah, di titik ini masalahnya.

Soal sekolah favorit

Kita menganggap ada sekolah baik, ada sekolah kurang baik, dan mungkin ada juga sekolah yang tidak baik. Lama-lama saya jadi agak skeptis dengan keyakinan saya itu. Jangan-jangan output SMU kami yang hebat itu, dikarenakan inputnya juga tinggi. Bukan karena kualitas pengajarannya.

Saya jadi penasaran, bagaimana kalau suatu waktu di SMU saya tadi hanya menerima anak-anak dengan nilai ujian akhir SMP sedang-sedang saja atau bahkan rendah. Apakah outputnya akan sama? Kalau iya, berarti memang SMU saya benar-benar hebat.

Kemudian muncul lagi pertanyaan, apakah SMU saya dibilang favorit “hanya” karena lulusannya bisa diterima di universitas ternama? Bagaimana kalau indikatornya dibuat lebih jauh lagi? Misalnya, lulusannya menjadi pribadi-pribadi bermanfaat dan membangun lingkungan sekitar? Itu berarti SMU saya luar biasa hebat!

Sekolah favorit versus tidak favorit ini yang belakangan hangat diperbincangkan, apalagi kalau sudah bicara kebijakan zonasi. Khususnya sekolah negeri.

Melakukan segala cara masuk sekolah favorit

Para orangtua siswa yang sadar akan peta sekolah favorit akan berlomba-lomba memasukkan anak ke sekolah impian demi masa depan anak, supaya bisa peluang diterima UI, UGM, atau ITB lebih besar.

Segala cara harus dilakukan. Kalau perlu memalsukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) supaya bisa masuk sekolah negeri favorit. Di Jawa Tengah saja, 78.065 SKTM palsu dibatalkan (yang ketahuan).

Itu artinya 78 ribu orangtua terang-terangan sudah membuang jauh dan merobek-robek tujuan utama pendidikan dan pengajaran bangsa ini menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu membentuk manusia berakhlak mulia.

Tentu, tidak semua sampai memalsukan SKTM. Dugaan saya, sebagian besar melakukan protes secara lunak maupun secara keras terhadap kebijakan zonasi.

Indikator "pintar" dan "bodoh"

Bagi yang kontra kebijakan ini, ada pernyataan menarik dari seorang kawan, “anak-anak yang pintar akan bosan kalau dijadikan satu kelas dengan anak-anak yang bodoh.”

Pernyataan yang lain, “anak-anak yang bodoh akan keteteran kalau dijadikan satu dengan anak-anak yang pintar.”

Tentu saja, dugaan saya, arti kata pintar dan bodoh yang dimaksud dis ini persis seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Indikatornya ya sebatas nilai ujian akhir SMP atau SD.

Jadi menurut pandangan ini, sekolah favorit dan siswa kurang “pintar” itu seperti air dan minyak. Susah jadi satu. Seperti pasangan yang tidak jodoh. Susah jalan bareng.

Apakah benar demikian?

Keyakinan yang tragis

Beberapa tahun yang lalu saya melihat dampak keyakinan yang demikian secara tragis.

Ketika beberapa bulan mendampingi siswa dianggap kurang “pintar” di sekolah favorit. Demi mempertahankan kefavoritannya, sekolah baik sengaja maupun tidak, menghancurkan asa anak-anak ini.

Sebut saja namanya Budi. Budi anak seorang pedagang gorengan. Rumah kontrakannya sempit, lembab, dan gelap. Bapaknya, yang katanya buruh bangunan sudah beberapa bulan tidak pulang.

Budi bisa masuk ke sekolah ini karena adanya kebijakan pemerintah daerah menjamin siswa miskin dapat kursi, bahkan di sekolah unggulan tanpa melihat nilai ujian akhir. Kebijakan hebat ini punya mimpi, anak-anak kurang pintar pasti bisa digali potensinya dan diasah kemampuannya di sekolah.

Sekolah, apalagi yang unggul-unggul ini, pasti punya cara membentuk siswa biasa saja menjadi pribadi-pribadi unggulan pula.

Awalnya memang penuh harapan. Namun yang terjadi adalah nilai Budi terseok-seok dibandingkan dengan siswa-siswa “reguler”.

Budi dianggap tidak bisa mengikuti pelajaran. Terang saja tidak bisa mengikuti, wong tidak ada perubahan dalam pola pengajaran meski jelas kemampuan Budi tidak sama dengan lainnya.

Sudah jatuh tertimpa tangga

Saya yang diminta mendampingi mendapati dari hasil tes inteligensi bahwa Budi termasuk dalam kategori slow learner. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, demikian ibaratnya.

Bukannya tidak bisa memahami pelajaran, tapi anak ini perlu waktu lebih panjang memahami pelajaran. Saya pun menjadwalkan tambahan waktu belajar untuk Budi. 

Saya membayangkan sekolah akan melakukan sesuatu membantu Budi sampai lulus. Karena dalam semangat pendidikan inklusi, sekolah harus menyesuaikan anak, bukan sebaliknya anak menyesuaikan sekolah.

Bahkan ada yang menyebut anak “tak qualified” dengan sekolah. Budi dikhawatirkan “merusak” rata-rata nilai ujian sekolah dan nanti bisa menurunkan ranking sekolah. Saya melongo.

Dalam bayangan saya, sekolah yang berhasil itu sekolah yang membuat anak tidak bisa menjadi bisa. Membentuk karakter anak supaya sesuai dengan tahap perkembangannya.

Disingkarkan secara halus

Kemudian kekhawatiran saya benar terjadi, Budi bersama siswa lain yang diterima di sekolah karena kebijakan baru ini dijadikan satu kelas. Menguap sudah tujuan kebijakan ini untuk membangun “terciptanya sekolah inklusif yang dapat mengakomodir semua peserta didik”.

Dengan dikumpulkan dalam satu kelas, sekolah ini bukan lagi sekolah inklusif, tapi sekolah eksklusif. Bukannya membaik, prestasi Budi semakin lama semakin merosot.

Menurut saya, anak-anak ini disingkirkan secara halus. Pendampingan saya tidak maksimal karena tidak semua pihak sepaham dengan program tambahan pelajaran bagi Budi. Tidak berapa lama setelah itu saya mendengar Budi drop out dari sekolah.

Ketika saya cari ke rumahnya, Budi dan keluarganya sudah tidak disana lagi. Pemilik kontrakan pun tidak tahu mereka kemana. Tragis. Saya sedih bukan kepalang.

Sementara di waktu yang sama, di sekolah lain yang memang semangatnya inklusif, saya juga melakukan pendampingan.

Tidak hanya anak slow learner, tapi anak berkebutuhan khusus dijadikan satu kelas dengan anak “reguler”. Dan semua berjalan dengan baik-baik saja. Bahkan kemajuan dan prestasi anak ini meningkat drastis.

Pemerataan pendidikan

Jadi kalau memang serius dan dimonitor kesiapannya, kebijakan zonasi ini dapat menciptakan kelas-kelas inklusif yang lebih luas. Pemerataan kualitas pendidikan akan terwujud, seperti di Finlandia.

Tidak ada sekolah favorit, karena memang semua sekolah kualitasnya standar. Siswa kurang “pintar” tidak akan tersingkir ke pinggiran, ke sekolah yang jauh dari rumahnya, hanya karena sekolah di belakang rumahnya kebetulan favorit.

Namun bila tidak siap dari sisi infrastruktur maupun kualitas dan pola pikir guru-gurunya. Maka akan muncul Budi-Budi lain yang hancur harapannya.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/07/16/21200361/apakah-siswa-kurang-pintar-berhak-masuk-sekolah-favorit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke