Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Anak Nasional dan PR Besar Pendidikan Anak Indonesia

KOMPAS.com - Tanggal 23 Juli secara rutin diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Tahun ini HAN mengangkat tema ,"Anak Indonesia, Anak GENIUS" yang merupakan akronim dari Gesit, Empati, Unggul dan Sehat.

Dalam bincang Kompas.com bersama Wisnu Subekti dan Sabda Subekti, pengamat pendidikan dan juga pendiri media pembelajaran berbasis teknologi Zenius, masalah pendidikan anak di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar yang perlu dituntaskan.

1. Masih rendahnya standar kualitas

Salah satu pemetaan pendidikan di Indonesia adalah melalui PISA (Programme for
International Student Assesment) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-
Operation Development (OECD).

Indonesia bergabung PISA sejak tahun 2000. Ujian PISA dilakukan tiga tahun sekali kepada siswa usia 15 tahun (setara SMP kelas II atauIII). PISA fokus menguji mengenai tiga pelajaran; yaitu sains, matematika, dan membaca.

Lantas, separah apa kondisi pendidikan di Indonesia? Pada hasil ujian PISA tahun

Tahun 2012, sebesar 76% siswa Indonesia mengikuti tes tersebut tidak bisa mencapai level 2
dalam menjawab soal yang berikan. Artinya, baru dua pertanyaan yang diberikan, mayoritas anak didik kita gagal.

Dibandingkan dengan negara lain, seperti negara ASEAN, Indonesia termasuk yang berada di level terbawah versi PISA. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang tingkat lulus level 2-nya mencapai 48%.

Bahkan Vietnam yang PDB-nya di bawah Indonesia memiliki tingkat lulus hingga 86%. Sedangkan Indonesia hanya 24%.

2. Mengubah metode mengajar

"Artinya, bukan sekadar kurikulum yang harus diganti. Akan tetapi, dari segi cara mengajar dan pengajar juga harus berubah," jelas Sabda.

Dalam hal ini, kita sama sekali tidak dapat menyalahkan anak-anak.

"Sering kali pendidik dalam mengajar anak sering kali menggunakan 'cara cepat' dalam mengerjakan soal. Sayangnya, mereka tidak menyertakan pemahaman konsep akan setiap soal yang diberikan," tambah Wisnu.

Pada akhirnya, yang terjadi adalah anak-anak hanya menghafal soal dan rumus tetapi tidak mengerti konteksnya.

3. Persoalan kemampuan dasar 

Karenanya, salah satu persoalan mendasar menurut Sabda adalah masih rendahnya kemampuan dasar anak-anak kita.

"Bayangkan, berdasarkan tes reading competency, 70% pelajar usia 15-26 tahun di Jakarta tidak mencapai level 1 atau di bawah 1. Padahal, Level 1 hanya mengerti kalimat yang tertera sesuai atau tidak," jelas Sabda.

Jika basic skills-nya saja kurang, yaitu membaca, matematika dasar, dan sains, maka
logikanya akan bermasalah. Padahal, logika sangat berkaitan dengan proses demokrasi suatu negara agar bangsa ini tidak mudah terpecah karena hoaks dan fitnah.

4. Potensi bahaya dari akses luas

Persoalan berikut menjadi dasar adalah akses pendidikan. "Seoalnya bukan pada sulitnya akses. Namun justru saat ini akses informasi jutru semakin mudah dan luas," kata Sabda.

Namun perlu dipahami, apabila akses sudah baik, tapi isinya hanya 'racun', maka orang akan keracunan. Supaya itu tidak terjadi, Sabda menekankan pentingnya konten untuk mengasah otak dan logika.

Sekali lagi, akses penting, tapi konten jauh lebih penting, tegas Sabda.

5. Pendidikan berbasis Teknologi

Sabda dan Wisnu kemudian melihat pendidikan berbasis teknologi yang saat ini sedang tumbuh dapat menjadi alernatif solusi dalam kebuntuan masalah pendidikan saat.

"Pendidikan berbasis teknologi mengedepankan great learning experience atau pengalaman belajar yang asik sesuai dengan karakter anak milenial," ujar Wisnu. Kalau anak sudah suka dan 'ketagihan' maka belajar tidak lagi dilihat sebagai beban, tambah Sabda.

Kedua, edukasi berbasis teknologi dapat membangun literasi logika dan sains. Jauh lebih penting membentuk pola pikir logis. Nah, scientific literacy  melalui edukasi berbasis teknologi adalah bagaimana seseorang memperoleh metodelogi ilmu yang bisa diandalkan kebenarannya.

Keunggulan ketiga dari edukasi berbasis teknologi ini adalah proses pembelajaran terencana dan tuntas. Berbeda dengan pelajaran sistem konvesional kelas, anak sulit mengejar ketertinggalan dalam belajar karena 'kejar tayang' target kurikulum.

Dengan teknologi, anak dimungkinkan mengejar pelajaran tertinggal dan memahami secara penuh pendidikan yang ditempuhnya.

 

https://edukasi.kompas.com/read/2018/07/23/12381241/hari-anak-nasional-dan-pr-besar-pendidikan-anak-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke