Salin Artikel

Memberikan Semangat Lewat Pesan Singkat, Apakah Efektif?

KOMPAS.com - Sebagian besar kita pasti pernah menghadapi situasi yang membuat stress, misal saat menghadapi wawancara kerja, diminta memberikan presentasi kepada bos, atau menghadapi ujian sekolah.

Biasanya sesaat sebelum wawancara atau ujian dimulai, teman dekat, pacar, atau suami/istri akan mengirimkan pesan Whatsapp atau SMS. “Semangat ya!” atau “Kamu pasti bisa!”, atau “InsyaAllah berhasil!”, dan semacamnya.

Tentu maksudnya baik, memberikan semangat. Mereka juga pasti berharap proses berjalan lancar dan kita lebih percaya diri.

1. Efektif atau tidak?

Anda boleh percaya, tidak percaya juga boleh. Pesan singkat semacam itu tidak efektif. Justru alih-alih memberikan semangat, niat baik teman ini malah meningkatkan tekanan darah dan detak jantung. Ini tanda-tanda meningkatnya stress.

Bukannya tambah percaya diri, malah tambah stress. Lucu kan?

Justru pesan singkat “OOT” (out of the topic) seperti “gedung ini bagus sekali ya” atau “langit di luar cerah lo” yang diberikan pada situasi sama dapat membuat tekanan darah dan detak jantung lebih santai. Tanda-tanda tingkat stress menurun. Kok bisa demikian?

Temuan ini bukan pendapat asal-asalan, tapi dari hasil penelitian yang sudah terbit di jurnal internasional pada bulan Juli 2018 lalu. Penelitian ini dapat dijumpai dalam jurnal "Computers in Human Behavior " volume 84.

Penelitian ini dilakukan Emily Hooker, Belinda Campos, dan Sarah Pressman. Ketiganya Doktor Psikologi Fakultas Psikologi dan Perilaku Sosial, University of California.

2. Memberi semangat kala stress

Para peneliti merekrut 75 pasangan (laki-laki dan perempuan) dan memisahkan mereka dalam dua ruangan berbeda. Peneliti menggunakan alat pengukur detak jantung dan tekanan darah pada peserta perempuan.

Mereka juga diminta tetap membawa smartphone agar bisa menerima SMS sebagai bagian dari penelitian. Selanjutnya, tanpa diberi informasi sebelumnya oleh peneliti, mereka diminta melakukan pidato mengenai topik tertentu dan direkam menggunakan kamera besar.

Selain itu mereka juga diminta mengerjakan soal-soal matematika dan juga direkam. Mereka diberikan waktu 4 menit untuk persiapan, kemudian lampu studio menyala, kamera menyala, dan peneliti berteriak “Action!” Para peserta pun gelagapan.

Sebelum tugas dimulai, sesaat setelah mereka diberi tahu tugas yang harus dilakukan, para peserta perempuan kaget dan merasa tidak siap. Saat itulah para peserta laki-laki di ruangan lain diminta mengirimkan SMS (hanya itu tugas peserta laki-laki).

Intinya memberikan semangat pada pasangan yang mulai stress karena waktu persiapan sangat singkat.

3. Merasa didukung dan dicintai

Tanpa sepengetahuan para pasangan itu, pesan singkat tadi dienkripsi dan dipecah menjadi dua kategori.

Kelompok pesan pertama adalah pesan-pesan memberikan semangat seperti “Ga usah khawatir, ini kan hanya penelitian psikologi, kamu pasti bisa mengerjakan.” Kelompok pesan kedua adalah pesan-pesan netral dan tidak berhubungan seperti “ruang di sini gerah banget.”

Sedangkan kelompok ketiga tidak diberikan pesan singkat sama sekali dan diperlakukan sebagai kelompok kontrol. Hampir saat bersamaan, peneliti mengukur detak jantung dan tekanan darah peserta perempuan untuk mengetahui tingkat stress mereka.

Peneliti agak terkejut, dari 3 kelompok tersebut, kelompok kedua yang menerima pesan ga nyambung justru menunjukan tingkat stress terendah. Mereka jauh lebih rileks daripada peserta menerima pesan-pesan pemberi semangat dan yang tidak menerima pesan sama sekali.

Meski demikian ketika diwawancara saat penelitian selesai, kelompok pertama, peserta yang menerima pesan semangat, mengaku merasa didukung, diperhatikan, dan lebih dicintai dibanding kelompok kedua dan ketiga.

4. Menjadi beban tambahan

Peneliti mengambil kesimpulan pesan-pesan pemberi semangat seperti “Ayo kamu pasti berhasil!” secara tidak sadar mengingatkan seseorang bahwa sebentar lagi mereka akan menghadapi situasi membuat stress.

Mereka secara tidak sadar dan juga mungkin akan merasa dianggap tidak mampu menghadapi tugas di depan mereka (karena mereka dipandang perlu dukungan).

Lebih dari itu, mereka jadi punya beban tambahan, yaitu “kewajiban” membalas pesan singkat itu sendiri. Meski hanya balasan sederhana seperti “terima kasih”, namun jika lupa membalas akan muncul rasa bersalah dan akan menambah beban yang sudah ada.

Tentu saja penelitian ini punya beberapa keterbatasan. Misal, pengukuran hanya dilakukan pada peserta perempuan. Selain itu penelitian juga terbatas pada lingkungan laboratorium kampus.

Bisa jadi akan berbeda apabila setting lingkungan juga berbeda. Namun demikian sudah pasti penelitian ini menghasilkan temuan menarik yang bisa dijadikan pijakan penelitian-penelitian berikutnya.

Yang paling penting, masyarakat awam kemudian bisa memiliki perspektif berbeda bahwa upaya memberikan support, memberikan semangat bagi orang lain hanya menggunakan smartphone ternyata tidak efektif.

Menurut saya, apabila memang kita mau serius memberikan dukungan, datangi dan bertemu langsung secara fisik akan jauh lebih efektif. Wallahualam.

Sumber: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563218300918

https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/06/17064991/memberikan-semangat-lewat-pesan-singkat-apakah-efektif

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke