Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Milenial Nusantara di Simpang Jalan...

KOMPAS.com - Di tengah peringatan HUT RI, muncul pertanyaan menggelitik: masihkah nasionalisme memiliki tempat di generasi milenial? Generasi yang lahir berdampingan dengan pesatnya revolusi teknologi, generasi yang kecanduan dengan kecepatan informasi, dan generasi yang berani memberontak terhadap tradisi.

Generasi milenial memang tidak lagi mempersoalkan teritori. Internet dan media sosial membantu generasi ini mempelajari budaya dunia, meruntuhkan batas negara, dan merombak cara orang-orang lama berpikir tentang konsep berbangsa.

Survei Alvara Research Center, Januari 2018, menyebutkan generasi milenial menganggap politik adalah milik generasi yang lebih tua, mereka acuh terhadap berbagai proses politik.

Masih dalam survei yang sama, generasi milenial lebih tertarik pada isu-isu terkait informasi dan teknologi, musik atau film dan olahraga. 

Mencari sudut pandang orang ke-3, Kompas.com menanyakan ihwal ini kepada para pendidik generasi milenial. Mereka adalah orang-orang yang dekat dan mengamati keseharian generasi ini. Benarkah generasi milenial tidak lagi berpikir tentang nasionalisme? Dan, apa tantangan generasi ini dalam kehidupan berbangsa ke depan?

1. Paul Ritter, Kepala Sekolah SMA Sekolah HighScope Indonesia

"Anak-anak milenial saat ini sedang berada di "persimpangan jalan". Derasnya arus informasi dan budaya global dapat membuat 'keindonesiaan' menjadi kabur atau bahkan hilang," kata Paul.

Membombardirnya budaya dan informasi global melalui musik, film, makanan dan tren tanpa sadar membuat identitas keindonesiaan menjadi tersapu.

"Namun di sisi lain, saya justru menemukan bahwa generasi milenial Indonesia malah sangat menyadari bahwa mereka adalah bagian dari bangsa ini, dan sangat bangga menjadi menjadi bangsa Indonesia," ujar Paul.

Tantangan ke depan generasi ini menurutnya adalah bagaimana membuat "Indonesia" bukan menjadi sesuatu yang hanya bisa ditemui di museum. Bagaimana menerjemahkan ideologi Pancasila dalam keseharian mereka.

"Bagaimana lewat komen-komen mereka di Facebook, like mereka di Instagram atau video-video yang mereka buat di Youtube, bisa menggambarkan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia," ujar Paul.

2. Titik Sudarti, Kepala Sekolah SMPN 1 Surabaya

"Menurut saya generasi milenial kita masih punya rasa nasionalisme," kata Titik. Hanya, kadarnya masing-masing berbeda sesuai dengan bagaimana penanaman awal "rasa nasionalisme" itu dalam keluarga, tambahnya.

Titik melihat keluarga masih merupakan tempat pendidikan pertama dan utama untuk menanamkan nilai nasionalisme itu. "Kami di sekolah bertugas memperkuat dan mengembangkan rasa nasionalisme sehingga anak menjadi bangsa Indonesia berwawasan global, berprestasi di level internasional, namun tetap bangga dengan Indonesia," lanjutnya.

Tantangan ke depan bagi generasi milenial sangat luar biasa. "Salah satunya perkembangan teknologi informasi. Banyak pekerjaan padat karya yang hancur karena tenaga manusia dapat digantikan oleh mesin dan virtual office," kata Titik

Ia menambahkan, saat ini sudah mulai terasa dampaknya. Oleh sebab itu anak harus dilatih sebagai pribadi yang cerdas dan kreatif sehingga dapat menciptakan lapangan kerja atau pekerjaan yang akan membutuhkan kompetensi yang siswa miliki.

3. Robertus Budi Setiono, Direktur Global Sevilla School

"Anak milenial ini sangat dekat dengan gadget dan internet. Kacamata dunia mereka terbuka dengan mudah. Kalau dibiarkan terus, nasionalisme dapat memudar dan hilang," kata Robertus.

Anak milenial lebih hafal lagu lagu Korea bila dibandingkan harus menyanyikan lagu 'campur sari', tambah Robertus memberi gambaran. 

Untuk itu kita sebagai pendidik harus terus memberikan pembelajaran kepada generasi milenial ini untuk terus menjaga dan memelihara nasionalisme mereka.

Itu gunanya ada kegiatan upacara bendera, baris berbaris, peringatan 17 Agustus, sumpah pemuda atau Hari Pahlawan. "Dari situlah kita bisa memupuk nasionalisme mereka tetap tinggi," Pelajaran Indonesian studies juga bisa menjadi sarana dalam pemahaman

Tantangan generasi nusantara saat masuk ke jenjang lebih global, mereka kini merasakan tantangan lagi bukan berasal dari negara Eropa atau Amerika. "Tingkat kompetisi tinggi kini justru muncul dari negara-negara Asia seperti China," cerita Robertus. 

Tantangan ke depan adalah bagaimana menyiapkan anak-anak kita agar mampu bersaing secara global tanpa kehilangan identitas nasional.

4. Maksimus Adil, Koordinator Guru Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta Nanyang School

"Anak milenial terbiasa bepergian ke berbagai belahan dunia, atau melalui media sosial kenal banyak teman dari berbagai negara. Hal ini dapat menjauhkan dari semangat perjuangan para pahlawan di awal kemerdekaan, nasioanlisme mereka dapat memudar," jelas Maksimus.

Maksimus menambahkan, info-info negatif seperti diskriminasi, korupsi, dan hal-hal negatif lainnya, jujur saja mengurangi rasa cinta tanah air mereka dan membuat seolah mereka menjadi kurang peduli terhadap kondisi negeri ini.

Tantangan terbesar generasi milenial menurut Maksimus adalah bagaimana mereka melepas stigma pandangan umum generasi milenial yang dianggap kurang daya juang, kurang kepekaan sosial kurang dan mau semua serba instan sehingga tidak sabar untuk mengikuti proses.

Pembentukan karakter dapat menjadi langkah positif agar mereka dapat timbuh menjadi pribadi yang mampu bersaing secara global tanpa harus kehilangan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, tutupnya.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/17/22514481/milenial-nusantara-di-simpang-jalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke