KOMPAS.com - Ada sebuah pepatah menarik yang saya percaya. “Anda adalah orang-orang di sekitar Anda dan buku-buku yang Anda baca.”
Artinya bahwa diri, kepribadian, yang setiap hari dibangga-banggakan sebenarnya tidak otentik-otentik amat. Diri kita adalah cerminan dari perilaku orang-orang di sekitar dan cerminan dari apa yang kita baca sehari-hari.
Manusia adalah makhluk sosial. Tarzan sepenuhnya hanya fiksi. Tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada di dunia nyata. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri.
Sejak usia kurang lebih 8 bulan, bayi sudah tahu siapa ibunya. Dia bisa membedakan mana yang bukan ibunya dan mulai membangun hubungan khusus. Mulai lebih percaya dengan ibu dibandingkan orang lain, termasuk ayahnya.
Biasanya, bayi akan lebih nyaman berada di dekat ibunya. Menangis kalau kelamaan berada di dekat orang lain. Ketika dewasa, setiap manusia akan tergabung dalam kelompok-kelompok sosial.
1. Kelompok sosial: kenyamanan dan tekanan
Ada bermacam kelompok sosial;mulai pacaran, menikah, dan membangun keluarga, menjadi anggota organisasi, bisa dalam bentuk perusahaan, organisasi sosial, maupun politik, sampai ikut group Whatsapp, bergabung dalam paguyuban alumni, dan sebagainya.
Kelompok-kelompok sosial akan memberikan kenyamanan, kebahagiaan pada satu waktu. Namun pada waktu yang lain akan menimbulkan kesedihan, bahkan secara psikologis bisa saling melukai satu sama lain.
Begitu pula dalam media sosial. Namanya saja media sosial, interaksi sosial di dalamnya pun memiliki dinamika sama dengan kelompok sosial pada umumnya.
Bisa menyenangkan, misalnya mendapatkan komentar dan like banyak. Bisa membuat stress, ketika di-bully netizen.
Perdebatan dunia maya cenderung lebih seru dan lebih kasar dibandingkan perdebatan dunia nyata. Ini bisa terjadi karena interaksi sosial di facebook atau instagram sering tidak menampilkan identitas sebenarnya. Akun bisa dipalsukan, profil bisa diduplikasi, bahkan foto pribadi yang diposting bisa dicuri dan dipakai orang lain sesuka hati.
Tanpa adanya identitas jelas, individu cenderung menjadi tidak bertanggung jawab dan kehilangan moralitas. Oleh karena itu banyak orang berbicara sesukanya, sekasar-kasarnya, tanpa khawatir diketahui identitasnya.
2. Tekanan sosial dan ketidaknyamanan emosional
Manusia dalam kelompok sosial, termasuk di media sosial sering mengalami tekanan (social pressure). Tekanan sosial ini senjata paling ampuh membuat individu mengikuti (conform) dengan pendapat orang lebih banyak meski awalnya tidak setuju.
Hanya segelintir orang benar-benar tahan banting, tidak terseret arus, berani kritis, bahkan kritis terhadap pendapatnya sendiri meski akibatnya adalah ketidaknyamanan emosional.
Berpuluh tahun lalu seorang teman saya, punya hobi melukis, ketika masih kecil sering juara lomba menggambar. Ketika baru lulus SMU, ingin masuk jurusan seni rupa. Semua anggota keluarganya, om dan tantenya tidak setuju dengan keputusannya.
Ia kemudian “mengalah” dan masuk jurusan lebih “favorit”. Hobi melukisnya kemudian hilang entah kemana. Contoh lain, seorang ibu tadinya rutin melakukan imunisasi, sejak ikut sebuah grup di media sosial menjadi seorang anti-vaksin. Mencegah anak kedua ikut imunisasi, yang tidak hanya akan mencelakakan anak sendiri, tapi juga mencelakakan anak lain.
3. Penelitian 2 kartu
Fenomena ini pertama kali diteliti tahun 1951 oleh Solomon Ach. Psikolog sosial dari Columbia University, Amerika Serikat.
Dalam penelitiannya, sekelompok relawan ditunjukan dua lembar kartu. Pada kartu pertama terdapat gambar sebuah garis. Pada kartu kedua terdapat tiga buah garis dengan panjang berbeda-beda.
Salah satunya sama panjang dengan garis di kartu pertama. Percobaan dilakukan dua kali. Pada percobaan pertama, kelompok subyek penelitian diminta memilih garis mana pada kartu kedua yang sama panjang dengan garis di kartu pertama.
Percobaan ini dilakukan sendiri. Hasilnya, subyek yang menjawab dengan jawaban salah kurang dari 1%. Lebih dari 99% subyek menjawab benar.
Percobaan kedua, peneliti meminta kelompok subyek lain bergantian memasuki ruangan. Dalam ruangan itu sudah ada tujuh orang “subyek lain". "Subyek lain" ini merupakan rekan peneliti yang menyamar menjadi subyek penelitian.
Mereka diminta menjalin relasi positif dengan subyek dan nantinya memberikan jawaban salah. Hasilnya, dengan soal sama persis jawaban salah meroket menjadi 33%, dan hanya 67% subyek masih menjawab benar.
4. Persepsi spasial dan emosional
Pada tahun 2005 profesor psikologi dari Princeton University, Gregory Berns ingin menguji kembali penelitian Solomon Ach. Penelitiannya diterbitkan dalam jurnal Biological Psychiatry edisi Agustus 2005.
Metodenya mirip yaitu membandingkan gambar-gambar. Subyek juga dibagi dua kelompok. Satu diminta membandingkan sendiri. Kelompok lain diminta membandingkan, tetapi ditemani beberapa “subyek lain" yang memberikan jawaban salah.
Semua subyek dalam penelitian ini masuk dalam ruangan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan memakai pemindai otak (brain scanner) untuk dilihat aktivitas otaknya.
Hasilnya sama persis dengan penelitian lima puluh empat tahun sebelumnya. Subyek yang menjawab pertanyaan dalam kelompok, banyak memilih jawaban salah. Bahkan jumlahnya kali ini hingga 40%!
Hasil MRI pada kelompok ini menunjukkan bahwa subyek yang “terseret” arus jawaban salah otaknya aktif pada bagian persepsi spasial.
Peneliti menyimpulkan bahwa mereka yang takluk pada tekanan sosial mengubah persepsinya terhadap kenyataan. Sedangkan subyek yang kekeuh, konsisten terhadap jawabannya, otaknya aktif pada bagian emosi (emotional salience).
5. Melatih sikap kritis
Berns menyimpulkan bahwa mereka yang melawan tekanan kelompok akan mengalami ketidaknyamanan emosi.
Kesimpulan umum adalah tekanan sosial bisa menyebabkan orang mengubah keyakinannya mengenai suatu hal. Bagi yang melawan akan resah secara emosi.
Ekstremnya adalah ikut-ikutan orang lain membuat kita lebih nyaman meski mengorbankan akal sehat. Sebaliknya kita perlu mengorbankan kestabilan emosi, sebagai harga keberanian mempertahankan apa yang kita tahu benar.
Jadi mulai sekarang, sebaiknya kita lebih berhati-hati. Bersikaplah kritis terhadap informasi baru yang bersliweran, khususnya di media sosial, misalnya grup Whatsapp atau Facebook.
Sumber :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15978553
https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/20/15553111/tekanan-sosial-hampir-selalu-mempengaruhi-setiap-keputusan-kita