BANGKOK, KOMPAS.com - Di India, tersebar di media sosial sebuah foto seorang wanita menangis sambil membungkuk memegang ujung sebuah kain. Di ujung seberang, seorang lelaki berusaha menarik kain itu.
Narasi dalam bahasa Hindi yang mengikuti foto itu menyebutkan, bahwa seorang wanita Hindu tengah dilecehkan oleh seorang pria Muslim di Bengali Barat.
Faktanya, foto itu adalah cuplikan salah satu scene dalam sebuah film India, "Aurat Khilona Nahi Bhojpuri".
Di India, sentimen agama, Muslim dan Hindu ibarat api dalam sekam. Mudah disulut untuk memicu pertikaian antar-dua komunitas. Mirip-mirip Indonesia. Sentimen agama juga mudah disulut untuk memancing emosi.
Cerita lain datang dari Laos. Saat banjir besar melanda kawasan Attepeu Selatan pada Juli 2018, beredar di media sosial gambar-gambar tubuh tergeletak yang disebut sebagai korban banjir.
Gambar itu cepat sekali tersebar dan memunculkan disinformasi mengenai jumlah korban akibat bencana tersebut. PM Laos Thongloun Sisoulith sampai perlu menggelar jumpa pers khusus mengenai disinformasi yang beredar.
Mirip-mirip juga dengan Indonesia. Biasanya, setiap kali ada bencana, beredar pula foto-foto yang diklaim sebagai korban bencana.
Demikian sepenggal kisah disinformasi yang disampaikan peserta seminar “Arise the fake news and how to handle it” di Bangkok, Thailand, Senin (20/8/2018).
Seminar yang diselenggarakan oleh Confederation of Thai Journalists (CTJ) dan Online News Providers Association (SONP) Thailand tersebut menghadirkan perwakilan media arusutama dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam, China, dan India. Kompas.com adalah satu-satunya media dari Indonesia yang diundang dalam acara tersebut.
Masing-masing media berbagi pengalaman tentang bagaimana disinformasi berdampak bagi masyarakat dan apa yang saja telah dilakukan untuk menangani masalah ini.
Berita bohong yang menyesatkan memang bukan hanya menjadi soal di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, tapi juga dunia.
Kabar bohong beredar lebih cepat
Soroush Vosoughi, seorang akademisi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, meneliti tentang bagaimana penyebaran berita bohong terjadi di dunia maya.
Ia mengumpulkan 126 ribu berita bohong yang disebarkan oleh 3 juta orang di Twitter sepanjang 2006 hingga 2017. Hasilnya, kabar bohong ternyata lebih cepat menyebar daripada berita benar.
Berita bohong dengan cepat menjangkau 1.000 hingga 100 ribu orang. Sementara, berita benar jarang tersebar hingga lebih dari 1.000 orang. Penelitian Vosoughi diterbitkan dalam Jurnal Science belum lama ini.
Faktanya, ternyata banyak orang di dunia mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi apakah informasi yang mereka terima adalah informasi benar atau bohong.
Penelitian yang dilakukan Edelman Trust pada 2018 mendapatkan, 59 persen responden mengalami kebingungan ini. Survei dilakukan terhadap 1.000 orang responden di 28 negara.
Sebanyak 63 responden mengaku tidak tahu praktik jurnalisme yang baik itu seperti apa. Mereka bahkan tidak bisa membedakan antara platform (Google dan Facebook) dan media sebagai organisasi berita.
Bagi mereka, yang disebut media adalah semua yang mereka temukan di internet: Google, Facebook, situs-situs di internet non-media mainstream termasuk di dalamnya. Hanya 49 persen yang mendefinisikan media terkait dengan jurnalisme.
Meski begitu, masyarakat di 21 negara mengaku mereka lebih mempercayai jurnalisme daripada platform. Hanya masyarakat di Brazil, Malaysia, Mexico, dan Turki, lebih percaya pada informasi yang mereka dapatkan di platform daripada kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan media tradisional arus utama.
Literasi digital
Literasi digital adalah satu hal yang mengemuka dalam diskusi. Literasi dipahami sebagai kemampuan individu untuk bersikap kritis terhadap informasi yang ia terima.
Direktur Operasional Digital MGR Online, Thailand, Varit Limthongkul mengatakan, selama ini literasi selalu dikaitkan dengan topik jender. Padahal, aktivitas di media sosial juga membutuhkan literasi yang memadai.
“Ini mengerikan. Literasi tidak lagi terkait dengan pendidikan. Seorang profesor pun hari ini terjebak ikut menyebarkan berita bohong,” kata dia.
Co-founder sekaligus Pemimpin Redaksi Malaysia.com Steven Gan menambahkan, literasi digital adalah sesuatu yang tidak ada dalam kurikulum sekolah.
“Bagaimana kita bersikap terhadap informasi yang kita tonton di Youtube, kita lihat di Facebook, Twitter? Ini keterampilan hidup yang tidak pernah diajarkan di sekolah,” kata dia.
Para peserta seminar sepakat harus ada aksi yang dilakukan untuk mengedukasi publik. Namun, tidak hanya publik yang harus diedukasi. Wartawan pun perlu mendapatkan pendidikan soal literasi digital.
Media online banyak dikeluhkan karena meninggalkan prinsip-prinsip etik jurnalistik. Demi klik, alih-alih menjadi batu penjuru informasi, media online malah mengamplifikasi kabar bohong yang tersebar di media sosial.
Pendiri thmeythmey.com, Kamboja, Ky Soklim, menceritakan, di negaranya masyarakat lebih percaya pada informasi yang mereka dapat di media sosial.
“Kita ingin meluruskan informasi yang salah, tapi mereka tidak lagi percaya. Eksistensi media menjadi tantangan serius di Kamboja,” tutur dia.
Siapa bertanggungjawab?
Lalu, siapa yang bertanggungjawab terhadap persoalan literasi digital? Sejauh mana negara perlu berperan?
“Saya tidak percaya pada negara. Di Filipina, Presiden Duterte adalah salah satu sumber informasi palsu. Negara memproduksi informasi palsu demi menjustifikasi kebijakannya yang ngawur,” ujar Associate Editor Philipphines Daily Inquirer John Nery.
Dalam hal narkoba, kata Nery, Duterte mengeluarkan klaim angka bombastis untuk membenarkan kebijakannya menembak mati mereka yang disangka terlibat narkoba.
Sebagaimana dilaporkan Rappler, Duterte memang pernah mendapat kritik tajam dari wartawan senior Fiipina Ellen Tordesillas yang kini mengelola Vera File, organisasi nirlaba yang begerak dalam isu cek fakta dan disinformasi.
Tudingan itu disampaikan Tordesilas di hadapan senat awal tahun ini. Senat mengundang Tordesilas untuk mendengar kondisi terkini mengenai diinformasi di Filipina.
Duterte mengklaim bahwa ada 4 juta pecandu narkoba di negara ini. Faktanya, angka resminya hanya 1,8 juta.
Ketua Klub Jurnalis Thailand (CTJ) Pramed Lekptech juga tidak percaya pada upaya negara dalam mengembangkan literasi digital.
“Bagaimanapun negara dikuasai oleh para politisi yang justru kerap menggunakan hoaks sebagai senjata untuk menyerang lawan-lawan politik mereka,” kata dia.
Namun, tidak semua pesimis terhadap negara. Pemerintah Malaysia melalui Komisi Mulitmedia dan Komunikasi Malaysia (MCMC) mendirikan sebenarnya.my, sebuah situs yang berisi aneka klarifikasi mengenai informasi simpang siur yang beredar di masyarakat.
Di Indonesia, situs serupa bernama cekfakta.com. Bedanya, situs cekfakta.com dinisiasi oleh media-media online Indonesia secara mandiri, bukan inisiatif pemerintah.
Di singapura, ada SURE yang dinisiasi oleh perpustakaan nasional Singapura. Situs ini berisi berbagai materi soal literasi digital. Misalnya, ada panduan praktis dalam bentuk video tentang apa yang harus dilakukan ketika mendapat informasi yang meragukan.
Materi tidak hanya disusun untuk orang dewasa, tapi juga untuk anak-anak sekolah.
“Literasi digital terutama dibutuhkan bagi orang dewasa. Sebab, anak-anak memiliki orangtua yang bisa memberi tahu mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Nah, untuk orangtua, siapa yang memberitahu?” ujar David Tay, Wartawan The Straits Time, Singapura.
Media juga punya tanggungjawab moral dalam meproduksi konten yang benar. Steven Gan mengingatkan, dunia boleh berubah, tapi jurnalisme yang benar tidak boleh berubah.
“Verifikasi. Check, recheck, double check, independen, obyektif, mencari kebenaran informasi sampai ke akar-akarnya, tetap harus dipraktikkan,” ujar Steven.
Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Jangankan bicara soal literasi digital, literasi media saja pekerjaan rumahnya banyak sekali.
Literasi Indonesia berada di peringkat 60, posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti Central Connecticut State University sepanjang 2003-2014. Peringkat Indonesia itu hanya lebih baik dari Botswana.
Ada lima indikator yang dijadikan ukuran baik tidaknya literasi di suatu negara yaitu, akses terhadap perpustakaan, surat kabar, input dan output pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Berapa banyak orang Indonesia memiliki minat baca? Menurut UNESCO (2012), minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca.
Anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun (UNESCO, 2014).
Tapi, literasi digital memang tidak terkait dengan pendidikan. Di Indonesia, pernah seorang mantan menteri, berpendidikan tinggi, pernah menjadi presiden sebuah partai politik, mentwit berita hoaks soal Rohingya.
Meskipun akhirnya yang bersangkutan minta maaf dan mengapus twitnya, ini membuktikan literasi digital memang tidak terkait dengan pendidikan.
Literasi digital memang persoalan di banyak negara. Di Amerika Serikat, Pilpres yang dimenangkan Trump pun dikendalikan oleh berita-berta bohong.
Kita hanya berharap, semoga para politisi kita, di pihak sana dan situ, tidak memproduksi berita bohong atau kampanye hitam untuk saling menyerang satu sama lain di Pilpres mendatang.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/21/11322011/literasi-media-dan-kabar-bohong-yang-beredar-cepat