Dalam proyek tersebut, mahasiswa Universitas Prasetiya Mulya ini harus masuk ke-5 kelas berbeda dalam sehari untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada pelajar SD, SMP dan SMA di negara tersebut.
“Kadang saya merasa capek juga ngajar sehari 5 kelas, seminggu sampai 25 kelas. Cuma di satu sisi, saya merasa sudah jauh-jauh pergi dari Indonesia ke Ceko dan hanya punya kesempatan masuk kelas satu kali kok enggak bisa,” ujar Gywneth kepada Kompas.com, Jumat (14/9/2018).
Gwyneth wajib memperkenalkan budaya Indonesia kepada pelajar berusia 6-18 tahun, karena saat itu AIESEC sedang melaksanakan proyek sosial mempromosikan toleransi terhadap perbedaan budaya.
AIESEC sendiri adalah organisasi internasional yang fokus pada pengembangan kepemimpinan para pemuda dan menjadikan mereka ambassador di luar negeri untuk menjalankan proyek sosial.
Selain Gwyneth ada pula 4 mahasiswa lain dari Malaysia, China, Kyrgystan dan Georgia yang ikut proyek ini. Masing-masing dari mereka pun bertugas memperkenalkan budaya asal negaranya.
Mereka terlibat dalam proyek tersebut selama 6 minggu, yang terdiri dari 1 minggu pelatihan dan 5 minggu bekerja sukarela.Mahasiswi semester 7 jurusan bisnis ini pun merasa bersyukur bisa mengikuti proyek AIESEC. Ini karena, selain bisa berkontribusi untuk dunia, berada di negara asing sangat membantu dirinya menjadi lebih baik lagi.
“Saat berada di negara asing dan jauh dari orang tua, saya harus belajar untuk mencari solusi sendiri terhadap permasalahan yang dihadapi. Saya enggak bisa bersungut-sungut dan minta bantuan orang lain karena enggak kenal mereka. Secara enggak langsung ini bisa develop diri saya dan lebih aware terhadap permasalahan dunia juga," ucap anak pertama dari tiga bersaudara itu.
Pengalaman mendapat paparan internasional atau global exposure dialami pula Audelina Asriza Asril. Mahasiswi Universitas Prasetiya Mulya ini mendapat kesempatan study abroad atau kuliah di luar negeri selama 1 semester di Boston University, Amerika Serikat pada 2017.
“Pas awal-awal kuliah aku bener-benar enggak percaya diri banget, takut salah bicara dan takut malu saja karena anak-anak study abroad dari negara lain bahasa inggrisnya bagus banget. Cuma seiring waktu jadi terbiasa sehingga bisa,” kata Audelina sambil tertawa.
Selain bagus untuk melatih dan meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris, Audelina mengaku, studi di sana juga bagus untuk mengembangkan kemampuan diri sendiri.
Ini karena sistem belajar di sana berbeda. Pola pikir mahasiswa di sana berbeda pula sehingga bisa memperkaya perspektif pemikiran dirinya jadi lebih luas.
“Saya jadi bisa belajar untuk melihat berbagai perspektif yang berbeda. Enggak cuma perspektif berpikir dari orang Indonesia saja,” tutur mahasiswa semester tujuh ini.
Kesan positif mendapat global exposure diamini pula Nathanael Andika. Mahasiswa jurusan Branding Universitas Prasetiya Mulya ini bersama ke-4 rekan sekampusnya mewakili Indonesia di kompetisi internasional MICE Destination Marketing Contest 2017.
MICE adalah kepanjangan dari Meeting, Incentive, Convention, Exhibition. Kompetisi yang telah diselenggarakan ke-9 kalinya oleh Taiwan External Trade Development Council (TAITRA) ini mengusung konsep pengembangan pariwisata melalui event MICE.
Jadi pada kompetisi yang diikuti mahasiswa se-Asia Pasifik itu, Andika bersama timnya harus membuat anjungan atau booth tentang pariwisata Indonesia untuk dipamerkan di ajang Exhibition Marketing Competition. Mereka kemudian mengangkat Kota Yogyakarta sebagai tema booth-nya.
Namun, karena kompetisi diselenggarakan di Taiwan maka tantangan demi tantangan harus mereka hadapi. Selain kendala bahasa, tantangan terbesar datang dari bawaan logistik yang begitu banyak.
Apalagi untuk pembuatan booth mereka harus membawa properti banyak. Beruntung dengan manajemen pengaturan barang yang baik mereka bisa membawa properti dan logistik untuk booth.
Hasilnya luar biasa, booth handmade buatan Andika dan kawan-kawan keluar sebagai juara kedua kategori Exhibition Marketing Competition.
Pada 2016 tiga mahasiswa Prasetiya Mulya berhasil meraih Honorable Mention pada kategori Reception Award di ajang tersebut.
“Dengan menjuarai kompetisi internasional itu, rasa percaya diri saya jadi lebih meningkat. Rasa bangga saya terhadap negara sendiri juga bertambah,” ucap Andika.
Lebih dari itu, kata dia, dengan mengikuti kompetisi tersebut pengetahuan budaya terhadap negara-negara lain dan pergaulan atau networking juga bertambah.
Pentingnya global exposure
Pengalaman Gwyneth, Audelina dan Andika membuktikan bahwa global exposure memang diperlukan untuk melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Tidak hanya mumpuni di domestik, SDM yang sudah terkena global exposure juga bisa kompetitif di dunia internasional. Alhasil ketika lulus nanti mereka bisa bersaing dengan tenaga ahli dari negara lain.
Seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (21/6/2018), Confederation of British Industry's (CBI) merilis 8 keterampilan yang wajib dikuasai fresh graduate atau lulusan baru untuk mendapatkan pekerjaan. Salah satunya, mahir berbahasa asing dan punya wawasan global.
(BACA JUGA: Lulusan Baru Wajib Miliki 8 Kemampuan Ini)
Lebih dari itu, hasil survei CBI terhadap 80.000 mahasiswa dan pebisnis yang dipublikasi pada 2018 menyatakan, 64 persen pengusaha akan memberikan tanggung jawab profesional lebih besar kepada lulusan dengan pengalaman internasional.
Untuk itu, pengalaman mahasiswa mendapatkan global exposure adalah keniscayaan. Lagi pula, saat ini mendapatkan global exposure bukanlah sesuatu yang sulit digapai.
Ada beberapa universitas lokal berstandar internasional memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk merasakan global exposure. Salah satunya, Universitas Prasetiya Mulya.
Di lembaga pendidikan ini ada banyak kesempatan bagi mahasiswa untuk merasakan global exposure. Mereka bisa mengikuti study abroad di universitas top dunia seperti Audelina.
Terlibat dalam proyek sosial di belahan dunia lain melalui AIESEC yang ada di kampus tersebut, seperti Gwyneth. Bisa juga menjajal kompetisi bertaraf internasional seperti pengalaman Andika.
Selamat mencoba!
https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/19/09542391/tanpa-global-exposure-sdm-lokal-sulit-bersaing-di-internasional