Salin Artikel

Permainan “Dakon”, Perkembangan Anak, dan Ki Hadjar Dewantara

KOMPAS.com - Permainan anak itulah pendidikan. Pernyataan ini disampaikan Ki Hadjar Dewantara dalam artikel di majalah “Wasita” edisi Oktober 1928. Saya setuju seratus persen. Bahkan hingga saat ini, pernyataan tersebut masih sangat relevan. Seratus persen relevan.

Karena, dunia anak adalah dunia permainan. Semua pelajaran penting meningkatkan kemampuan kognitif, kemampuan sosial, kemampuan spasial (titi pratitis), psikomotor, bahkan moral dapat diajarkan melalui permainan.

Seperti saya sampaikan sebelumnya mengenai anak saya berusia 6 tahun, setiap hari tidak pernah absen mengajak ayahnya bermain. 

Saya dan istri saya memang sengaja meminimalisir interaksi anak dengan layar (screen). Setidaknya sampai usia remaja nanti. Yang saya maksud layar adalah televisi, gadget bisa berupa smartphone, tablet, maupun laptop.

Minimalkan "screen time"

Sudah terlalu banyak riset dan penelitian jurnal internasional membahas “screen time” ini dan dampak buruknya bagi perkembangan dan kesehatan anak. Meski tidak sedikit juga konten positif.

Namun menurut kami potensi anak bisa berkembang lebih maksimal apabila interaksi anak dengan orangtua optimal. Tentu saja kami tidak terlalu kaku. Dalam sehari anak diberi ijin menonton televisi maksimal satu jam. Sabtu atau Minggu, anak diperbolehkan mengutak-atik handphone, biasanya melihat youtube, maksimal juga satu jam. Sudah lumayan menurut saya.

Konon Bill Gates saja, membatasi anaknya bermain smartphone. Selebihnya ya bermain bersama adiknya, bersama bundanya, bersama saya, atau melihat buku yang memang kami sediakan perpustakaan pribadi. Mahal? Enggak juga.

Taruhlah kita belikan anak smartphone android, yang standar saja. Misal harga 3-4 juta. Dengan harga sama kita bisa borong 60 buah buku anak, bahkan lebih. Atau satu paket lengkap ensklopedi anak. Sudah bisa disebut perpustakaan anak. 

Permainan "Dakon"

Kembali lagi soal permainan. Dalam artikel saya minggu lalu “Petak Umpet dan Perkembangan Kemandirian Anak”, saya ceritakan bahwa permainan favorit saya dan anak saya adalah “dakon”.

Apa itu dakon? Pada beberapa daerah disebut congkak atau congklak. Anda bisa googling kalau ingin tahu lebih detail. Tapi intinya permainan tradisional ini terdiri dari sebuah papan kayu dengan minimal 14 cekungan kecil dan 2 cekungan besar, serta minimal 98 biji dakon, bisa dari kerikil, biji buah sawo, atau cangkang kerang kecil.

Peraturannya juga sederhana. Biasanya dilakukan 2 pemain. Setelah 14 cekungan diisi masing-masing 7 biji dakon, maka permainan bisa dimulai dengan bergantian mengambil biji tersebut lalu dipindahkan dari cekungan kecil ke cekungan kecil yang lainnya dengan menaruh biji di cekungan besar satu (milik sendiri) dan mengabaikan cekungan besar kedua (milik lawan).

Ketika biji yang diputar berhenti cekungan kosong, putaran berhenti. Giliran lawan yang melakukan putaran, dan seterusnya. Hingga permainan pun berakhir kalau biji yang berjumlah 98 buah itu semuanya telah berada cekungan besar. Pemenang adalah yang memiliki biji terbanyak.

"Dakon" dan konsep hitung dasar

Menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam artikel yang sama, permainan dakon bersama cublak-cublak suweng (mungkin lain waktu akan saya tuliskan juga), mendidik kemampuan kognitif anak tentang perngertian perhitungan dan pengiraan.

Menurut saya memang benar, anak saya lebih cepat mengenal konsep konsep hitung dasar (aritmatika) dibandingkan berbahasa. Mungkin salah satunya dipengaruhi seringnya kami bermain dakon.

Dugaan saya, Pertama. Permainan ini mengasah kemampuan anak untuk berhitung. Ketika anak sudah bisa berhitung satu sampai sepuluh, ketika itu pula kita bisa mengajak anak bermain dakon karena biji yang digunakan hanya 7, atau bisa juga 5.

Saat bermain, anak akan tertantang untuk menang sehingga sadar atau tidak sadar akan terbiasa menghitung biji-biji dakon-nya. Kedua, ketika masuk pada taraf berikutnya, anak akan belajar memperkirakan jumlah biji dakon yang akan diputar. Akankah ketika melakukan putaran, biji akan berhenti di cekungan yang kosong? Artinya akan langsung memberikan kesempatan pada lawan untuk menambah koleksi biji dakon.

Penelitian permainan "Dakon"

Di sini anak belajar ilmu probabilitas, ilmu peluang. Memperkirakan sesuatu yang bisa terjadi berdasarkan sumber daya dimiliki (jumlah biji dakon). Manfaat langsunya adalah, anak saya tidak mengalami kesulitan saat mengerjakan soal-soal matematika saat masuk sekolah dasar.

Manfaat bagi orangtua? Tentu saja ada. Permainan dakon ini tidak melelahkan secara fisik. Misalnya seperti bermain kejar-kejaran polisi-penjahat. Bisa sambil duduk, bahkan bisa disambi membaca buku di depan kipas angin sehingga ini permainan favorit saya.

Secara akademik, penelitian mengenai permainan dakon ini sudah pernah dilakukan oleh Ahmad Afandi dari Universitas Sriwijaya dan Endang Pudjiastuti Sartinah dari Universitas Negeri Surabaya. Keduanya dari Fakultas Ilmu Pendidikan.

Keduanya kompak (meski mungkin tidak janjian) menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara permainan dakon dan kemampuan berhitung pada anak.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/24/20162241/permainan-dakon-perkembangan-anak-dan-ki-hadjar-dewantara

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke