Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tutupnya Path dan Terancamnya Masa Depan Penulisan Sejarah

PENGGUNA setia Path akhirnya sudah mendapatkan kabar resmi, layanan media sosial favorit mereka ini akhirnya akan segera tutup.

Ekspresi sedih pun bermunculan dan berbagai kenangan manis saat Path sedang berada di masa jayanya kembali diceritakan oleh para penggunanya.

Memang tutupnya Path bukanlah akhir dari segalanya. Masih banyak layanan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, dan lainnya, yang bagi banyak orang telah pula menjadi seperti gudang penyimpanan kenangan.

Buat para pengunanya, media sosial memang kerap menjadi bak kotak sejarah pribadi yang berisikan kenangan-kenangan manis dari perjalanan hidup sang pengguna.

Lihat saja bagaimana Path dan Facebook seringkali mengingatkan penggunanya tentang apa yang diunggah beberapa tahun lalu di tanggal yang sama. Ada kenangan kelulusan sekolah, pernikahan, jalan-jalan, makan-makan, dan apa pun cerita yang pernah diunggah oleh para pengguna.

Bukan pertama dan satu-satunya

Apa yang terjadi dengan Path sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Para pengguna media sosial di Indonesia, terutama Generasi X, mungkin masih ingat ketika Friendster dan Multiply mengakhiri layanannya sebagai jejaring media sosial pada 2009 dan 2012.

Dulu, yang namanya pengguna media sosial Indonesia sudah hampir pasti punya akun Friendster atau akun Multiply.

Dalam perspektif bisnis, sebetulnya tidak perlu heran bahwa layanan jejaring media sosial seperti Path, Friendster, dan Multiply pada akhirnya bisa mendadak tutup.

Sebab, model bisnis yang mereka gunakan lebih banyak bergantung pada investasi untuk dapat terus beroperasi, dibanding pemasukan dari "penjualan jasa layanan" atau layanan berlangganan berbayar.

Lihat saja Twitter yang baru mendapat laba setelah 11 tahun beroperasi. Artinya, selama 10 tahun sebelumnya, Twitter terus mencatat kerugian setiap tahunnya.

Karenanya, ketika investasi berakhir dan mereka belum juga mendapat sumber pemasukan yang stabil, otomatis tidak ada pembiayaan untuk dapat tetap beroperasi.

Ini pula yang umum terjadi di layanan serupa lainnya. Tentu, pendanaan media sosial berbeda model bisnisnya dengan bila kita membuka toko penjualan bahan bangunan, yang rasanya tidak mungkin akan tetap beroperasi sampai 11 tahun ketika tidak juga mencatat keuntungan.

Penulisan sejarah

Namun, bagi saya ada perspektif lain yang lebih merisaukan dari peristiwa tutupnya berbagai jejaring media sosial seperti Path, Friendster, dan Multiply ini. Yaitu, terkait terancamnya masa depan penulisan sejarah.

Sebagai seorang praktisi komunikasi, saya memang melihat berbagai unggahan pengguna media sosial sebagai sumber data untuk menganalisa kebiasaan dan preferensi netizen.

Akan tetapi, sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu sejarah secara akademis, saya juga melihat berbagai unggahan yang ada sebagai calon-calon sumber sejarah di masa depan.

Sebagai contoh sederhana untuk menjelaskan yang saya maksud, kita cukup mengingat tentang sosok dan pemikiran Kartini.

Saat kita mengenang cerita Kartini, banyak sumbernya yang berasal dari kumpulan surat yang ditulis Kartini, yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Jika tidak ditemukan surat-surat itu, mungkin sampai sekarang kita tidak akan kenal Kartini dan tidak akan memahami pemikiran dan visinya tentang pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Apabila surat di zaman Kartini merupakan salah satu medium bercerita yang utama, pada zaman sekarang sudah lebih banyak orang yang mencurahkan pemikirannya, menceritakan perjalanan hidupnya, serta mengunggah foto dan video kenangannya di layanan media sosial.

Itu yang saya maksud dengan memandang berbagai unggahan netizen sebagai calon sumber sejarah.

Nantinya, 10 tahun atau 30 tahun atau bahkan 50 tahun lagi, saat seseorang ingin menulis sebuah peristiwa bersejarah pada 2018, misalnya, sudah hampir pasti dia perlu pula mencari dan mempelajari berbagai unggahan netizen di media sosial.

Media sosial dan sejarah

Persoalannya, bagaimana jika 50 tahun lagi seluruh data yang ada di media sosial sekarang sudah hilang, karena layanan media sosialnya sudah tutup seperti Path, Friendster, dan Multiply?

Hal itu berarti hilangnya berbagai data yang di masa depan sebenarnya dapat menjadi sumber yang sangat dibutuhkan dalam penulisan sejarah.

Mungkin juga sulit bagi kita sekarang untuk membayangkan bahwa layanan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, dan lainnya akan bisa berakhir. Namun, itu bukannya tidak mungkin terjadi.

Memang, Path dalam pengumuman penutupannya sudah mencantumkan cara untuk melakukan penyimpanan data bagi para penggunanya. Tapi saya sangsi akan banyak yang melakukannya.

Selain itu, berbagai data di Friendster dan Multiply sendiri tampaknya sudah hilang selamanya.

Otomatis, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan semua data calon sumber sejarah yang ada di media sosial?

Jawaban teknisnya mungkin saat ini belum ada. Akan tetapi di era yang semakin serba digital, saya percaya solusi teknis atas masalah ini dapat ditemukan.

Demi catatan sejarah

Namun, agar jawabannya dapat segera ditemukan, harus ada dialog antara praktisi ilmu tentang masa lalu dengan praktisi ilmu tentang masa depan.

Harus ada diskusi antara sejarawan dengan para pakar teknologi informasi dan perusahaan jejaring media sosial, terkait mekanisme penyelamatan data unggahan para pengguna, untuk kepentingan penelitian sejarah di masa depan.

Bahkan, sebaiknya diskusi turut melibatkan pemerintah. Sebab, kalaupun berbagai data yang ada nantinya bisa diselamatkan saat layanan media sosialnya berhenti beroperasi, secara komersial sulit membayangkan ada pihak swasta yang secara sukarela menyimpan semua data tersebut.

Dalam kondisi seperti itu, wajar jika ada harapan agar pemerintah turut berperan, seperti peran yang dilakukan oleh ANRI saat ini dalam menyimpan dan mengkurasi berbagai sumber sejarah dari masa kolonial Belanda.

Kita tentu ingin anak cucu cicit kita nantinya tetap dapat belajar dari sejarah. Belajar dari rangkaian peristiwa yang kita alami sekarang.

Agar itu dapat terjadi, tentu kita ingin di masa depan nanti para penulis sejarah memiliki akses terhadap berbagai sumber yang dapat menunjukkan seakurat mungkin apa yang sedang kita alami sekarang.

Memang ada jenis sumber-sumber lainnya yang akan dapat digunakan nanti untuk penulisan sejarah. Walaupun begitu, akan terasa aneh saat kita menulis sejarah dalam periode kehidupan manusia yang digital tanpa adanya sumber dari kehidupan digital kita sendiri.

Sudah saatnya masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu agar jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah di era digital.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/25/06543391/tutupnya-path-dan-terancamnya-masa-depan-penulisan-sejarah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke