Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

FIKSI 2018: Ini Bukan Fiksi, Ini Inovasi!

KOMPAS.com - Sebanyak 172 peserta mewakili 24 provinsi berhasil masuk dalam babak final ajang FIKSI 2018 (Festival Inovasi dan Kewirausahaan Siswa Indonesia) di Yogyakarta. Jumlah ini merupakan hasil penyisihan dari 1.429 peserta dari 34 provinsi.

Ajang yang berlangsung 1-6 Oktober 2018 ini diharapkan dapat menjadi wadah ekspresi anak Indonesia yang memiliki beragam keunikan bakat untuk berani mandiri dalam bidang ekonomi khususnya kewirausahaan.

Melalui program ini, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Kemendikbud memberi kesempatan pada generasi milenial mendapatkan pembinaan menjadi entreprenuer yang mampu bersaing secara global.

Ada 6 bidang usaha diperlombakan dalam FIKSI tahun ini meliputi: kriya (craft), desain grafis, fashion, games dan aplikasi, boga dan jenis usaha lainnya.

Inovasi kreatif generasi milenial

Seluruh peserta hari ini (2/10/2018) mempresentasikan inovasi wirausaha mereka di hadapan para juri. Tidak hanya dalam bentuk narasi atau fiksi, mereka memaparkan inovasi atas kreasi yang sudah mereka ciptakan atau hasilkan.

Salah satu yang menarik dari bidang fashion adalah produk sepatu berbahan dasar enceng gondok. Produk yang diberi nama "Alkisna" ini merupakan karya SMA Taruna Nusantara Musyaffa Teguh dan Cintya Sarah.

"Selain berbahan dasar alami dari enceng gondok sepatu ini didesain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai sneakers (sepatu kets) dan sloop (selop)," jelas Teguh. Inovasi ini mereka ciptakan lantaran sebagai anak muda mereka cukup mahal bila harus membeli 2 jenis sepatu tersebut.

"Maka kami menciptakan "Alkisna" agar anak muda dapat tampil gaya tanpa mengeluarkan biaya yang mahal," ungkap Teguh.

Produk dan budaya lokal juga banyak menjadi perhatian peserta FIKSI 2018. Misal Sambal Buranan "Sambar" kreasi Nali Rateh dan Sri Indriyani, siswa IPA dari SMA Sukodadi Lamongan.

"Sambal Buranan adalah sambal khas Lamongan yang umumnya dijual di pinggir jalan. Kesannya jorok dan kurang higienis. Lewat Sambal "Sambar" kami ingin mengangkat kearifan lokal agar lebih berkualitas dan berdaya saing," cerita Nali.

Sri menambahkan latar belakangan keilmuan jurusan yang mereka pilih juga membantu banyak dalam memecahkan masalah yang muncul dalam proses berinovasi bidang boga tersebut. "Pelajaran larutan dan senyawa kimia membantu kami dalam meningkatkan masalah daya tahan produk sambal khas Lamongan ini," ujar Sri.

Bukan generasi milenial namanya bila tidak menghadirkan teknologi dalam inovasi yang mereka buat. Dalam bidang aplikasi, Bayu dan Ratna dari MAN 1 Samarinda menciptakan aplikasi berbasis website "BARA (Best Application Resolution Anbes) untuk membantu guru Bimbingan Konseling melakukan deteksi awal masalah psikologis siswa.

"Anbes sendiri merupakan istilah di Samarinda artinya anak beserangan (anak tawuran). Tahun lalu tidak kurang ada 80 lebih kelompok Anbes yang saling berkelahi inilah yang mendorong kami menciptakan aplikasi BARA ini," jelas Bayu.

Ratna menambahkan aplikasi ini dapat mendeteksi dini gejala atau permasalahan psikologis lewat pertanyaan-pertanyaan sederhana yang harus dijawab siswa. Tidak hanya itu, aplikasi ini dapat sekaligus membantu siswa dalam menemukan konselor atau psikolog terdekat.

Kreasi para siswa pun banyak berangkat dari persoalan yang terjadi di sekitar mereka. Clara Intania dan Sherafim Gratia dari SMAK Santo Petrus Pontianak mencoba menemukan solusi kesulitan teman-teman mereka sebagai siswa yang sulit belajar Termokimia.

"Kami telah melakukan survei di sekolah kami dan beberapa sekolah teman, ternyata banyak yang kesulitan mempelajari 'Termokimia'. Dari situ kami membuat inovasi membuat scrapbook yang membantu teman-teman belajar materi ini secara menarik dan mudah lewat desain visual yang menarik," cerita Clara.

Sherafim menambahkan, mereka menggambar sendiri ilustrasi kemudian mencetaknya dalam format cetak menarik dengan penjelasan materi dari kehidupan sehari-hari sehingga mudah dimengerti.

"Selain pendampingan entrepreneurship kami membangun persahabatan melalui ajang FIKSI 2018 ini. Semua saling sharing dan belajar satu sama lain. Tidak ada perbedaan soal suku, agama, ras atau golongan," kata Clara menutup ceritanya.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/02/20190821/fiksi-2018-ini-bukan-fiksi-ini-inovasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke