Salin Artikel

Cerdas Kebangsaan bagi Pemilih Milenial Cuek Politik

KOMPAS.com - Pada Januari 2018, Alvara Research Center (ARC) mengeluarkan hasil survei mereka terkait generasi milenial. Salah satu hasil survei tersebut menyebutkan generasi milenial cuek terhadap politik.

Bagi generasi ini, politik dianggap milik generasi lebih tua sehingga mereka acuh terhadap berbagai proses politik.

Hal ini tergambar pada gambar segmentasi pemilih di Indonesia yang terbagi menjadi empat, yakni rasional, konservatif, swing (belum menentukan pilihan), dan apatis.

"Diantara keempat segmen tadi, pemilih milenial paling banyak ada di pemilih apatis dan swing," ujar Hasanudin Ali, Management Office ARC. 

Hal ini tergambar pula dalam perbincangan yang dilakukan sehari-hari. Generasi milenial cenderung lebih asik mengobrol tentang musik, film, olahraga, dan teknologi informasi.

Netralitas sekolah dari kontestasi politik

Hal senada disampaikan Robertus Budi Setiono Direktur Global Sevilla School. "Sangat tergantung dari latar belakang keluarga. Kalau keluarga mereka memiliki concern mengenai hal ini (politik), mereka juga memiliki kepedulian yang sama. Mereka masih dalam tahap belajar berpolitik. Hal wajar bila mereka seolah terlihat cuek terhadap hal ini," ungkap Robertus.

Ia beranggapan, sekolah hingga tingkat SMA sebaiknya menjadi tempat netral dari dunia politik, termasuk kampanye atau kontestasi pemilihan kepala daerah dan presiden. "Saat masuk dalam jenjang universitas mungkin saat tepat untuk mendorong mereka belajar berpolitik," ia menambahkan.

"Pada pemilihan kepala daerah tahun lalu kami bahkan secara tegas mengimbau siswa dan guru untuk menghindari rivalitas di sekolah, kelas dan bahkan sosial media. Jangan sampai proses pembelajaran terganggu, atau teman dan guru satu kelas terpecah karena hal ini," tegas Robertus.

Mendorong milenial bersikap kritis

Robertus menambahkan hal terpenting saat ini adalah bagaimana membangun kesadaran siswa agar mereka dapat memberikan kontribusi positif dalam proses berbangsa dan bernegara. 

"Generasi milenial ini dekat dengan gawai, jangan sampai mereka mindless, tidak sadar, memposting atau malah ikut menyebarkan hoax. Sikap spontan, atau tidak menyadari apa yang dilakukan ini sangat berbahaya. Itu mengapa mengajak anak menjadi Mindfulness atau 'sadar secara penuh' menjadi nilai yang sangat penting di sekolah ini," katanya.

Jangan sampai anak mudah berbuat salah kemudian mudah meminta maaf. Dengan berpikir kritis dan mindfulness siswa didorong untuk tidak saja menjadi pintar namun juga memiliki tanggungjawab.

Untuk itu, pendidikan diharapkan mampu melahirkan lulusan yang kritis, proaktif, serta penuh rasa tanggung jawab. Hal ini dapat terwujud bila pendidikan akademik dapat sejalan dengan pendidikan karakter.

Proses pembelajaran dapat mendukung hal ini. "Anak harus dibiasakan berani berdikusi secara terbuka. Berdebat namun secara kritis menggunakan basis data dan bukan hanya berdasarkan asumsi," terang Robertus. 

Dengan demikian anak akan mampu melihat perbedaan sebagai hal yang biasa dan bukan rivalitas. Berpikir kritis dan berkesadaran secara penuh merupakan salah satu upaya menjadikan generasi milenial menjadi pemilih kritis dan tidak apolitis.

"Semangat kebangsaan melalui pelajaran bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, upacara bendera, peringatan hari nasional, perlu terus dikembangkan. Anak tetap harus didorong memiliki wawasan internasional agar siap bersaing global, namun tetap harus memiliki karakter baik termasuk rasa nasionalisme agar bangga menjadi bangsa Indonesia," tutup Robertus.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/17/16164861/cerdas-kebangsaan-bagi-pemilih-milenial-cuek-politik

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke