KOMPAS.com - Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) yang berlangsung tanggal 15-20 Oktober 2018 di kota Semarang, Jawa Tengah telah berakhir hari ini ditutup oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad.
Tahun ini OPSI 2018 mengangkat tema ”Meneliti Itu Seru” dan diikuti 275 SMA dan 55 Madrasah Aliyah dari 30 provinsi. Dari 1.593 proposal penelitian tersaring sebanyak 900 naskah laporan penelitian di tahap penilaian naskah dan kemudian menjadi 105 naskah terbaik dari 199 siswa di babak final.
Rizal Alfian, Penanggungjawab OPSI, menyampaikan banyak perkembangan positif dalam pelaksanaan OPSI 2018 ini
Telah memenuhi kaidah ilmiah
"Potensi yang dimiliki anak-anak SMA/MA dalam keterlibatan mereka mengikuti OPSI tahun ini sudah mulai tumbuh dan membaik. Hal ini terlihat banyak naskah penelitian yang sudah memenuhi aturan kaidah ilmiah," ungkap Rizal Alfian, Analis Pengembangan Peserta Didik SMA, Direktorat Pembinaan SMA.
Rizal menambahkan hasil penelitian tahun ini banyak yang memberikan solusi dari masalah penelitian di sekitar lingkungannya.
"Di usia mereka sudah berniat untuk terlibat dalam penelitian saja menurut saya sudah baik dan perlu diapresiasi, apalagi mereka mampu bersaing untuk memberikan karya dan inovasi penelitian yang memiliki daya guna atau manfaat yang luar biasa untuk masyarakat," ujarnya,
Penelitian siswa berpotensi paten
Berdasarkan pengamatan dari tim Juri OPSI tahun 2018 pada penelitan di bidang MST sebagian besar peneliti sudah menggunakan metode yang benar dengan alur penelitian yang benar.
Bahkan, beberapa hasil penelitian dari peserta tahun ini berpotensi paten, beberapa hasil penelitian tahun ini sudah menyertakan ethical clearance dibandingkan dengan penelitan tahun lalu.
Sebagian besar penelitian tahun ini menyelesaikan problem daerah sekitarnya secara ilmiah. Keunggulan dari bidang FTR adalah banyak peserta finalis OPSI yang bisa menyajikan prototype yang bisa bekerja dengan baik.
Contohnya ada karya penelitian tentang lot untuk kandang ayam, alat-alat bantu tuna rungu dan masih banyak keunggulan lainnya. Sedangkan di bidang ISH keunggulan yang muncul pada tahun ini adalah kepekaan siswa untuk menelaah persoalan sosial yang dengan lingkungan sekitar mereka.
Persoalan utama dalam mengembangkan budaya riset/penelitian di kalangan siswa adalah komitmen sekolah terutama guru mata pelajaran dan kepemimpinan kepala sekolah dalam menerapkan metode pembelajaran berbasis inkuiri dan menciptakan budaya penelitian ilmiah di setiap sekolah.
Rizal memberikan catatan penting dalam mendorong anak-anak menumbuhkan budaya penelitian. "Scientific temper atau perangai ilmiah harus melekat pada karakter peserta OPSI. Perangai ilmiah yang dimaksud adalah jujur, objektif, kreatif, inovatif dan sportif serta bertanggunjawab," tegas Rizal lebih jauh.
Ia melihat, kunci keberhasilan OPSI tahun ini adalah terletak pada nilai gotong royong. "Visi dan misi OPSI tidak bisa dilakukan Kemendikbud sebagai penyelenggara saja, namun harus bergotong royong dengan menjalin kemitraan dan kerjasama baik dengan pihak lain," ujarnya.
Perlunya partisipasi berbagai pihak
Pihak lain itu seperti lembaga/masyarakat yang memiliki peran dan fungsi secara profesional di bidangnya. "Contohnya kita harus bermitra dengan perguruan tinggi, komunitas/lembaga Penelitian, Industri dan Dinas Pendidikan di 34 Provinsi serta dengan sekolah itu sendiri.
Sebagai penanggungjawab OPSI, Rizal memandang OPSI dapat digunakan sebagai trigger atau pemacu peningkatan mutu pendidikan dan membentuk peserta didik yang memiliki karakter ilmiah di setiap Sekolah.
"Kita tidak boleh terlalu cepat berpuas diri, karena tantangan OPSI ke depan adalah bagaimana meningkatkan partisipasi SMA di seluruh Indonesia untuk berkarya melalui karya ilmiah," ujarnya.
Ia berharap OPSI dapat meningkatkan kualitas karya penelitian siswa SMA yang berdaya guna tinggi sehingga mampu mendorong partisipasi masyarakat, terutama dunia industri dan lembaga yang peduli penelitian ilmiah untuk bergabung di OPSI.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/20/21161511/opsi-2018-dan-pemajuan-penelitian-siswa-indonesia