Salin Artikel

Media Sosial Membuat Kita Semakin Dungu?

MEDIA sosial membuat kita semakin dungu, itu hipotesis saya. Dugaan saya. Memang, saya belum menemukan penelitian yang menguji korelasi tingkat kedunguan (entah bagaimana cara mengukurnya) dengan aktif tidaknya seseorang di media sosial.

Khususnya di tahun politik yang sangat panjang seperti sekarang. Kok bisa demikian? Apakah saya ngawur? Bukankan banyak juga konten media sosial positif, membangun, bermanfaat bagi kehidupan orang banyak?

Tentu saja banyak, banyak sekali. Saya juga percaya. Tapi kalau dilihat, mana lebih viral? Mana lebih banyak direspons netizen? Konten bermanfaat tadi, atau konten menebar kebencian, konten yang saling menghina satu sama lain? Kenapa juga saya memilih kata "dungu" sebagai judul artikel saya minggu ini?

Begitu banyak pertanyaan. Minimal pertanyaan dari saya, untuk diri saya sendiri.

Berpikir belakangan dan berpikir kritis

Pertama bisa mulai dari pemilihan kata "dungu". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, /du·ngu/artinya sangat tumpul otaknya, tidak cerdas, bebal, bodoh. Kalau mau lebih kasar lagi, bisa pakai kata "goblok", "idiot".

Tapi nanti saya bisa ditangkap polisi, seperti seseorang yang baru-baru ini merasa dipersekusi. Menurut saya, orang tidak selamanya dungu. Orang menjadi dungu tergantung konteks dan waktu.

Dalam hal ini, ketika kita sudah merasa jempol kita lebih cerdas dibandingkan dengan otak kita. Sudah menjadi hal yang biasa, orang klik dulu, pencet dulu, bagikan dulu berita atau gambarnya dengan jempol. Apakah berita dan gambarnya sesuai dengan kenyataan, itu urusan belakangan.

Belakangan ini orang-orang mungkin lebih suka menyimpan otaknya di rumah, kalau perlu tidak usah dibawa-bawa. Karena jarang dipakai untuk lebih kritis membaca sebuah informasi, apalagi klarifikasi.

Ujaran kebencian lebih disukai

Kedua, apa benar media sosial menjadi penyebab orang-orang menjadi dungu? Sekali lagi saya tidak asal, tidak ngawur.

Sebuah penelitian tahun 2017 oleh tim peneliti New York University berjudul "Emotion shapes the diffusion of moralized content in social networks" membahas hal ini.

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan lebih dari 500 ribu tweet dari Twitter. Tepatnya 563.312 tweet. Data sebanyak itu kemudian dianalisis. Isu yang ada dalam ratusan ribu tweet itu dipilah-pilah.

Salah satunya adalah isu pernikahan sesama jenis. Pada isu ini, tweet yang mengandung kata-kata emosional seperti menyalahkan orang lain (blame) dan ujaran kebencian (hate) jauh lebih banyak di re-tweet dibandingkan kata-kata netral mengenai isu ini.

Hal sama juga berlaku pada isu-isu lain, termasuk politik. Misal, dalam konteks pemilu Amerika. Tweet agak datar seperti "Saya pendukung partai republik", mendapatkan 7 like. Adapun tweet seperti "Hidup partai republik! partai demokrat anti Amerika!!!" mendapatkan 370.000 like. Artinya, 7 berbanding 370.000.

Sebenarnya konten sama, hanya terakhir memodifikasi beberapa kata menjadi lebih ekstrem, dan perbanyak tanda seru.

"Kami" versus "Kalian" 

Bagaimana penjelasannya? Salah satu peneliti, associate profesor psikologi Jay J. Van Bavel mengatakan bahwa hal ini berkaitan (lagi) dengan konsep psikologi sosial in-group (kami) vs out-group (kalian).

Kata-kata makin kasar dapat makin menegaskan seseorang anggota kelompok tertentu, atau pro dengan isu tertentu (in-group). Umpatan dan makian ke kelompok lain juga menegaskan bahwa orang lain itu bukan bagian dari kelompok (out-group).

Seperti gerombolan suporter persib (in-group) di stadion Gelora Bandung Lautan Api beberapa waktu yang lalu, ketika mengetahui Haringga Sirla adalah pendukung persija (out-group) tanpa pikir panjang, tanpa perlu tahu latar belakang, mereka langsung keroyok dan habisi. Sesimpel itu.

Situasi chaos semacam itu dengan mudah bisa terjadi, apalagi semua media sosial memberikan bahan bakarnya.

Ya, bahan bakar ini makin meruncingkan opini, makin membuat masyarakat mudah sekali diadu domba. Mudah dicocok hidungnya untuk percaya bahwa capres idola selalu benar bagi masing-masing pendukungnya, dan capres lawan selalu salah. Kenapa bisa begitu?

Media sosial "mengikat"

Media sosial dirancang untuk "mengikat", untuk mencegah pengguna pindah ke aplikasi lain. Kalau bisa selama 24 jam. Karena semakin banyak diklik, semakin banyak pula iklan yang bisa didapat, semakin banyak uang yang mengalir ke Facebook, Instagram atau Twitter. Bagaimana caranya?

Misal, saya pernah mencari-cari restoran burger di google atau membaca testimoninya di media sosial. Tiba-tiba secara otomatis hampir semua media sosial lain muncul informasi terkait restoran burger.

Ini bukan kebetulan. Begitu pula ketika kita lebih sering membuka tautan capres idola. Otomatis makin banyak tautan mengenai capres idola, makin jarang kita klik tautan capres lawan, makin sedikit pula informasi dari tim capres lawan mampir ke halaman media sosial kita.

Situasi ini diperparah dengan semakin jarangnya kita berdiskusi atau bicara tatap muka dengan orang berbeda pendapat. Padahal ketika makin banyak bertatap muka dengan orang lain, apalagi yang berbeda pendapat sinapsis, atau lompatan-lompatan neuron dalam otak kita akan semakin banyak.

Wawasan kita akan semakin luas dan pandangan kita akan semakin beragam. Sehingga mencegah kita menjadi buta, membuka kacamata kuda, dan membuat otak kita tidak tumpul (baca: dungu).

https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/22/14305781/media-sosial-membuat-kita-semakin-dungu

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke