KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKM) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Yayi Suryo Prabandari menyampaikan jumlah perokok di Indonesia cenderung menunjukkan peningkatan setiap tahun.
Bahkan prevalensi perokok di atas 15 tahun cukup tinggi. “Jumlah perokok di atas usia 15 tahun di Indonesia sangat tinggi,” tuturnya, Jum’at (16/11/2018) dalam talkshow "Tembakau dan BPJS Kesehatan" di FKKMK UGM, Yogyakarta.
Mengutip Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok pada remaja usia sekolah atau usia 10-18 tahun mengalami kenaikan terbaru. Persentase perilaku merokok remaja pada Riskesdas 2018 tercatat sebesar 9,1 persen, meningkat dari Riskesdas 2013 yakni 7,2 persen.
Yayi Suryo menunjukkan jumlah perokok diatas 15 tahun sebanyak 33,8 %. Dari jumlah tersebut 62,9 % merupakan perokok laki-laki dan 4,8% perokok perempuan.
Peringatan belum memberi dampak
Yayi mengatakan peningkatan jumlah perokok ini dibarengi dengan peningkatan proporsi penyakit akibat konsumsi rokok. Beberapa diantaranya hipertensi, stroke, diabetes, jantung, kanker.
“Meskipun pemerintah telah mengatur peringatan bahaya merokok serta mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau, tetapi hal ini tidak memberikan dampak signifikan bagi perokok,” katanya seperti dilansir dari laman resmi UGM.
Peningkatan jumlah penderita akibat konsumsi rokok, disebutkan Yayi berpengaruh dalam peningkatan beban kesehatan negara. Bahkan BPJS kesehatan mengalami defisit hingga 16,5 triliun di tahun 2018 akibat banyaknya jumlah peserta yang sakit. Pemerintah pun mulai melirik dana bagi hasil cukai tembakau guna menambal defisit ini.
Kebijakan harga untuk program pencegahan
“Kebijakan harga rokok seharusnya mahal sehingga cukai industri rokok naik juga. Pajak rokok ini bisa digunakan tidak hanya untuk program kuratif saja, tetapi untuk pencegahan,” jelasnya.
Yayi mencontohkan di Thailand, pajak rokok dan minuman alkohol dialokasikan untuk Badan
Promosi Kesehatan, yang memberikan program promosi dan preventif.
Belajar dari hal tersebut, menurutnya BPJS bisa menyediakan anggaran preventif, misalnya bagi anggota program untuk penyakit kronis. Ada dukungan untuk berhenti merokok dan konsultasi pengaturan pola makan.
Sementara Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari,
SE.MM.,AAK menyebutkan defisit BPJS Kesehatan terjadi akibat besarnya biaya pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satunya karena perubahan morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit kronis.
“Iuran besar pun tidak akan cukup kalau orangnya sakit,” katanya.
Pajak rokok untuk dana jaminan sosial
Dia menyampaikan terdapat tindakan khusus yang dilakukan jika dana jaminan sosial bernilai negatif. Salah satunya melalui sin tax yakni pembiayaan melalu pajak rokok untuk memberikan suntikan dana tambahan bagi kecukupan dana jaminan sosial. Besaran pajak rokok 10% dari cukai rokok.
Dana bagi hasil cukai tembakau, kata dia, diprioritaskan untuk mendukung JKN paling sedikit 50% dari alokasi dana tersebut yang diterima daerah. Beberapa diantaranya untuk kegiatan pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Lalu, penyediaan sarana prasarana fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, pelatihan tenaga kesehatan, serta pembayaran iuran jaminan kesehatan penduduk yang didaftarkan pemerintah daeerah atau yang terkena PHK.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/11/19/17354111/ugm-peringatan-merokok-belum-memberi-dampak