Demikian hal itu disampaikan usai diskusi antara LPDP dengan 15 perguruan tinggi Belanda di kantor Nuffic di Den Haag, Senin (29/11/2018). Untuk itulah, dalam pertemuan tersebut Rio menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan perguruan tinggi Belanda terkait apa yang sudah LPDP.
"Intinya, harus sesuai dengan value for money, karena kita mengalirkan rupiah kita ke negara ini. Kita minta perguruan tinggi Belanda memperhatikan kebutuhan mahasiswa kita, contohnya housing, bimbingan supervisor, equal treatment dan perlunya kejelasan biaya studi atau tuition fee. Pokoknya, kepentingan terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa kita di Belanda," ujar Rio.
Menurut dia, perlakuan masing-masing perguruan tinggi tidak sama terhadap mahasiswa yang tengah menuntut gelar doktoral atau PhD. Hal itu terkait erat dengan tipe mahasiswanya, yang pertama mahasiswa sedang menjalankan proyek profesornya, dan kedua mahasiswa PhD yang belajar karena proposalnya.
"Nah, biasanya yang mendapat prioritas itu adalah mahasiswa yang proyeknya diinisiasi profesornya. Itu yang kami sampaikan ke mereka (perguruan tinggi Belanda). Mahasiswa kita merasakan ada keterlambatan dan itu bikin studi mereka jadi lebih lama," kata Rio.
Hal kedua, menurut Rio, terkait masalah kepindahan profesor ke perguruan tinggi atau negara lain. Rio menjelaskan, banyak profesor di universitas itu berstatus kontrak, kecuali profesor top level.
"Banyak profesor dapat kontrak 3 sampai 5 tahun. Nah, kalau si profesornya pindah, itu yang bikin repot mahasiswa kita," ujarnya.
Hal lain yang juga menjadi perhatian Rio adalah persoalan housing atau indekos para mahasiswa Indonesia. Hal itu pulalah yang langsung mendapat komentar dari mahasiswa PhD Indonesia di Belanda.
Hadi Rahmat Purnama, mahasiswa Hukum Internasional di Vrije Universiteit Amsterdam (VU) ini mengakui bahwa housing adalah masalah pelik meski dirinya sudah lebih dari dua tahun menempuh studi di Belanda.
"Seharusnya kampus di Belanda, terutama termasuk kami yang kuliah di VU, urusan indekos itu tidak susah, sebab kita (pihak Indonesia) kan bayar ke mereka, lho malah kita yang cari sendiri. Di VU kita tidak dapat fasilitas housing yang sesuai dengan masa studi kita. Cuma dapat satu tahun, setelah setahun kita harus cari sendiri," papar Hadi.
Hadi melanjutkan, kondisi tersebut berbeda dengan mahasiswa di Leiden. Dia mengakui, tiap perguruan tinggi di tiap kota memang punya aturan berbeda.
"Di Leiden itu kalau mereka kuliah empat tahun, mereka dapat housing juga empat tahun. Untuk itu, LPDP harusnya bisa melakukan push ke kampus soal housing ini. Dalam dua tahun saya pindah tinggal lima kali itu kan tidak bagus," kata Hadi.
Sebelumnya, Presiden Direktur LPDP Rionald Silaban mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pembagian persentase beasiswa bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan studi di luar negeri, terutama anggapan mengenai sedikitnya kuota untuk program beasiswa reguler dibandingkan afirmasi.
Baca: "Jangan Khawatir, Dana Beasiswa LPDP Tahun Ini Rp 46 Triliun!"
https://edukasi.kompas.com/read/2018/11/20/08000001/lpdp-harus-tekan-kampus-kampus-di-belanda