Salin Artikel

Susah Cari "Housing", Ini PR Pertama untuk yang Mau Kuliah di Belanda!

Urusan berburu housing ini memang pesan khusus yang disampaikan beberapa mahasiswa yang ditemui Kompas.com di Vrije Universiteit Amsterdam (VU), Jumat (16/11/2018). Ini dianggap penting, karena urusan susahnya mencari tempat mondokan di negeri orang ini juga masuk kategori culture shock.

Jangankan mahasiswa baru, bagi yang sudah lebih dari setahun di Belanda pun mengaku mencari indekos adalah persoalan paling memusingkan kalau tak diurus serius. Salah satu yang menyatakan itu adalah Hadi Rahmat Purnama, mahasiswa Hukum Internasional di Vrije Universiteit Amsterdam (VU).

Bagi Hadi, housing tetap masalah pelik meski dirinya sudah lebih dari dua tahun menempuh studi untuk meraih PhD di Belanda.

"Cari housing ini kompetitif alias susah. Pertama, pesaingnya sangat banyak, bukan cuma anak Indonesia, tapi juga mahasiswa internasional lain. Kedua, kita terbentur banyak aturan. Tak bisa langsung sewa rumah atau kamar langsung ke pemiliknya, jadi harus lewat makelar dulu. Ada makelar atau agen resmi sini, dan itu orang Belanda," tutur Hadi.

Saking susahnya, meski terhitung lebih dari dua tahun hidup di Belanda, lanjut Hadi, dia sudah lima kali pindah rumah atau indekos. Bermacam pengalaman sudah dia alami sepanjang berburu housing ini.

"Aturannya ketat. Kalau dibilang cuma boleh satu orang, ya memang cuma satu orang. Kalau ketahuan, kita kena denda," kata Hadi.

Zulfikar, mahasiswa S-3 di Departemen Komuniasi di VU, menimpali pengalaman Hadi. Menurut dia, iklan online atau koran cetak yang memunculkan layanan sewa kamar atau indekos tak bisa sepenuhnya dipercaya.

"Housing sangat bergantung informasi dari mulut ke mulut. Lewat Facebook sih banyak, tapi harus hati-hati, karena banyak penipuan," papar Zulfikar.

Sejauh pengalamannya, tarif housing di Amsterdam terhitung paling mahal di Belanda. Untuk ukuran atau tipe studio atau tinggal sendiri dengan kamar mandi dan dapur, kasur dan meja belajar di kisaran 500 sampai 1000 Euro per bulan.

"Kalau lewat agen kita harus bayar agen lagi. Mereka itu dibayar seharga satu bulan harga sewa yang bakal kita bayar. Itu bayarnya hanya sekali, yaitu pas kita sudah deal untuk menyewa," ujarnya.

Ada juga tipe rumah untuk isi dua orang. Tarifnya sekitar 1200 Euro atau kurang lebih Rp 20 juta per bulan. Syaratnya, mahasiswa penghuni tidak diperbolehkan membawa anak.

"Memang, satu-satunya yang paling murah itu cuma lewat kampus. Cuma listnya panjang, bisa tunggu sampai setahun. Hadi dua tahun, si Insan setahun. Kami urus itu sejak dari jakarta," kata Zulfikar.

Hadi kembali ikut menimpali. Dia bercerita, dua bulan pertamanya di Belanda dirinya terpaksa tinggal di student hotel. Hadi mengaku saat itu dia sama sekali tidak mendapatkan housing.

"Terakhir saya sewa kamar itu sekitar 425 Euro, tanpa internet, lalu kena pajak sampah dan pajak air. Totalnya hampir 600 Euro. Pajak sampah per bulan itu bisa 34 sampai 40 Euro per orang, bukan per kamar," kata Hadi.

Hadi mengaku anggarannya sangat ditekan. Dia meraih beasiswa LPDP dan mendapat settlement allowance yang setengah dibayarkan di Indonesia dan setengahnya lagi dilunasi saat tiba di Belanda.

"Tapi cost-nya kan besar, jadi harus nombok dulu. Belum ditambah beli buku meski sudah ada uang buku dari beasiswa, tapi enggak cukup, karena belum dengan ongkos," papar Hadi.

Cerita betapa susahnya cari housing sebetulnya tergambar bukan cuma dari mahasiswa yang sudah lama studi di Belanda seperti Hadi atau Zulfikar. Inilah pengalaman yang juga diperoleh Insan yang juga mahasiswa S-3 di VU. 

Inzan mengaku baru 3 bulan di Belanda. Dia datang studi ke negara itu langsung sekaligus membawa isteri dan puterinya.

"Masalah baru terasa karena family allowance dari LPDP baru muncul pada bulan ketiga belas. Di awal saya cari rumah itu terpaksa cari yang murah banget, bahkan saya cari sampai ke Rotterdam," tutur Insan. 

Beruntung saja, lanjut Insan, akhirnya dia memperoleh student housing di Amsterdam. Tarifnya per bulan mencapai 905 Euro dan sudah termasuk semua kebutuhan di dalam rumah itu.

"Menurut saya, itu yang paling murah. Saya mendapatkannya lewat kampus. Tapi, itu cuma maksimal setahun aja, setelah itu harus keluar dan cari sendiri," kata Insan.

Sebagai sama-sama mahasiswa yang studi dengan fasilitas beasiswa LPDP seperti Hadi, Insan juga mengaku harus nombok seperti halnya Hadi, terutama buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut dia, hal itu lantaran allowance dari LPDP masih di bawah UMR Amsterdam.

"Untuk itu, seharusnya kampus di Belanda, terutama termasuk kami yang kuliah di VU, urusan indekos itu tidak susah, sebab kita (pihak Indonesia) kan bayar ke mereka, lho malah kita yang cari sendiri. Di VU kita tidak dapat fasilitas housing yang sesuai dengan masa studi kita. Cuma dapat satu tahun, setelah setahun kita harus cari sendiri," timpal Hadi.

Hadi melanjutkan, kondisi tersebut berbeda dengan mahasiswa di Leiden. Dia mengakui, tiap perguruan tinggi di tiap kota memang punya aturan berbeda.

"Di Leiden itu kalau mereka kuliah empat tahun, mereka dapat housing juga empat tahun. Untuk itu, LPDP harusnya bisa melakukan push ke kampus soal housing ini. Dalam dua tahun saya pindah tinggal lima kali itu kan tidak bagus," kata Hadi.

Tak heran, Presiden Direktur LPDP Rionald Silaban pun menekankan kepada para wakil perguruan tinggi Belanda untuk lebih memperhatikan kebutuhan mahasiswa Indonesia, salah satunya soal housing. Hal tersebut dia paparkan di hadapan 15 wakil perguruan tinggi Belanda di kantor Nuffic, Senin (19/11/2018).

https://edukasi.kompas.com/read/2018/11/20/08400001/susah-cari-housing-ini-pr-pertama-untuk-yang-mau-kuliah-di-belanda-

Terkini Lainnya

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke