Kuliah di kampus yang berada di kota Amsterdam misalnya. Sebagai tipikal ibukota, kehidupan para mahasiswa di kota ini pun lebih kental nuansa individualnya.
"Karena semua mahasiswa fokus ke studi dan pekerjaannya. Mereka punya kehidupan pribadi sendiri-sendiri. Secara umum seperti itu dinamikanya. Itu akan jadi satu culture shock tersendiri untuk anak-anak Indonesia yang mau kuliah di luar negeri," ujar Hadi Rahmat Purnama, mahasiswa yang tengah menempuh studi doktoralnya (PhD) Hukum Internasional di Vrije Universiteit Amsterdam (VU), Jumat (16/11/2018).
Beruntung, menurut Hadi, dia berusaha membuka diri untuk bisa bergaul dengan anak-anak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang suka membuat ajang kumpul anak Indonesia. Di ajang seperti itulah biasanya pergaulan terbuka dan informasi mengalir.
Hadi bertutur, mahasiswa yang belum mendapat housing bisa menggali informasi di antara anak-anak PPI tersebut. Bahkan, lanjut dia, sejak itu dirinya mulai memberlakukan "aturan kecil" ke rekan-rekannya yang sudah lulus agar memberikan kamar atau housing untuk mahasiswa lain yang belum mendapatkan kamar.
"Kumpul dengan PPI itu pada akhirnya tidak cuma makan-makan, tapi ngobrol banyak hal, terutama soal kendala teman-teman yang kuliah di sini. Karena memang, tak semua mahasiswa datang ke sini siap dengan culture schok. Jangan heran, ada yang bawa keluarganya ke sini, tahu-tahu pulang karena enggak betah," ucap Hadi.
Insan Firdaus, mahasiswa yang tengah menempuh PhD di Clinical, Neuro & Developmental Psychology Vrije Universiteit Amsterdam (VU), mengakui bahwa masalah individualisme adalah hal wajar di awal kuliah. Toh, menurut dia, persoalan tersebut tidak cuma dialami anak-anak Indonesia, tetapi juga mahasiswa internasional lainnya, seperti dari AS, Denmark, Hungaria, Jepang, dan lain-lainnya.
Menurut Insan, mahasiswa dari kalangan bachelor dan master (S-2) akan lebih mudah berinteraksi, karena mereka punya kelas. Lain halnya dengan mahasiswa PhD yang tidak punya kelas dan harus lebih banyak berkutat dengan penelitiannya.
"Sebab mereka fokus ke penelitiannya sendiri-sendiri, sibuk sendiri, jadi susah. Ruang anak-anak PhD lebih sempit," kata Insan.
Terkait kondisi itulah, Bhagasjati Kusuma, mahasiswa S-1 International Relation di Leidan University, mengaku di awal-awal kuliah lebih banyak bergaul dengan anak-anak di Rotterdam.
"Karena anak-anak di Den Haag itu kan kebanyakan anak S-2 dan S-3, jadi saya coba buka jejaring ke Rotterdam dan ketemu banyak teman di sana," kata Bhagas atau disapa Aga.
Masuk ke Rotterdam, lanjut Aga, dia merasa tidak terkena culture shock. Hal itu karena dirinya banyak bergaul dengan anak-anak internasional.
"Dengan anak Indonesia sendiri baru mulai bergaul itu pas bulan ke empat. Kampus saya kan di Den Haag, anak-anak Indonesia di situ baru 10 orang, sangat sedikit," ujar Aga.
Terkait itu, Hadi menimpali, bahwa sebetulnya tiap kota punya kultur sendiri-sendiri. Dia mengakui, dinamika pergaulan mahasiswa di Amsterdam berbeda dengan kota-kota Belanda lainnya.
Pernah kuliah satu semester di Groningen, menurut Hadi, terasa sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi yang dihadapinya saat ini di Amsterdam. Dia bilang, anak-anak di Groningen lebih mudah berinteraksi.
"Karena kotanya lebih kecil, di Groningen itu orang-orang terasa lebih perhatian satu sama lain. Mahasiswa internasionalnya kalah banyak dengan di Amsterdam, dan itu jelas mempengaruhi," ucap Hadi.
Hadi, Insan atau Aga sepakat, masuk ke negeri orang itu ibarat jenjang kehidupan baru sehingga jangan pernah anggap enteng pergaulan dan jejaring. Pasalnya, siapa pun calon mahasiswa yang datang ke Belanda, tentu meninggalkan support system mereka di Indonesia.
Ya, support system itulah yang kerap dilupakan anak-anak Indonesia yang baru datang ke Belanda. Di Indonesia support system dimulai dari keluarga, teman di rumah, teman di sekolah atau di kampus, sementara sebagai anak baru di Belanda? Nol!
"Karena kalau di Indonesia support system itu sudah ada, sudah terbentuk, kalau di sini ya si mahasiswa itu yang membentuk sendiri, dan caranya adalah membuka pergaulan," kata Insan.
Ada tiga saran yang disampaikan Insan dan Hadi terkait support system tersebut. Pertama, sebelum tiba di Belanda, mahasiswa harus banyak cari tahu tentang apa saja yang akan dia butuhkan untuk mendukung hidup dan studinya, mulai soal waktu, sepeda, makanan, housing, dan lainnya.
Kedua, mereka harus harus proaktif. Ya, karena anak-anak Indonesia atau mahasiswa internasional di Belanda bukan tidak "welcome", tapi memang mahasiswa yang baru datang inilah yang harus aktif dan banyak bertanya.
Hadi mengakui, karakter umum orang Indonesia memang harus ada wadah seperti halnya PPI. Hal itu lantaran sifat dasar orang Indonesia yang tidak gampang aktif. Plus, bahasa Inggris mereka tidak terlalu lancar sehingga takut untuk mulai membuka perbincangan.
"Padahal, kalau kita enggak bertanya akan dianggap enggak tertarik, jadi enggak diajak kalau ada acara. Kalau kita enggak bertanya, kita dianggap sudah tahu terkait kegiatan atau diskusi. Kalau enggak bertanya, kita juga dianggap tidak setuju, artinya dianggap sudah tidak interest," kata Hadi.
Adapun yang ketiga adalah menyesuaikan ekspektasi. Insan mengatakan, ekspektasi mahasiswa yang baru datang tidak perlu terlalu tinggi. Karena, di situ si mahasiswa bisa terbawa perasaan atau baper begitu tahu ekspektasinya gagal atau jatuh.
"Banyak juga mahasiswa yang jadi baper lantaran susah involve ke dalam pergaulan. Intinya harus proaktif deh. Jangan ragu cari info atau berbagi info, itu penting. Saya satu-satunya anak Indonesia di departemen hukum untuk jalur PhD, mau tak mau harus proaktif buka pergaulan, kalau tidak begitu pasti mentok," ucap Insan.
Sejatinya, menurut Insan, kondisi paling krusial adalah ketika si mahasiswa baru tiba di Belanda dnamenjalni rutinitasnya selama 3 bulan pertama. Pada saat itulah excitement atau tingkat antusias mahasiswa tinggi.
"Ibaratnya sedang bulang madu, semuanya terasa kelihatan enak-anak saja, dan excitement mereka tinggi banget dan naik terus. Begitu masuk ketiga dan keempat barulah turun, karena mulai dihadapkan pada realitas-realitas yang kita paparkan tadi itu. Harus jaga semangat, kalau drop bisa bikin depresi. Bisa hancur semuanya," kata Insan.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/11/21/08000081/kuliah-di-belanda-jangan-gampang-baper-tahu-sebabnya-