KOMPAS.com - Sejak masa penjajahan hingga timbulnya kesadaran Pergerakan Nasional telah banyak kelompok dan golongan menghadirkan pendidikan di wilayah nusantara dengan ciri khasnya masing-masing.
Salah satu kalangan turut menggoreskan tinta sejarah dunia pendidikan nusantara adalah Peranakan Tionghoa. Sayangnya, fakta ini belum banyak diketahui banyak kalangan. Belum banyak literatur atau diskusi mengangkat fakta sejarah ini.
Atas dasar itu, Sekolah Terpadu Pahoa menyelenggarakan seminar berjudul “Menyingkap Sejarah Peranakan Tionghoa dalam Pendidikan Nasional”, di Auditorium Chong Yuan TK Pahoa, Serpong, Sabtu (8/12/2018)/
Seminar dihadiri pakar sejarah, praktisi dan pemerhati pendidikan tanah air. Sinolog Indonesia Myra Sidharta turut hadir dalam seminar ini.
Seminar dibuka oleh Ketua Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Pahoa, Yoedono Goeinawan. Dalam sambutannya, Yoedono menyampaikan harapannya agar seminar ini dapat menambah pengetahuan baru bagi para peserta mengenai sejarah Peranakan Tionghoa dalam Pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan pertama
Berdirinya Perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di awal 1900 yang memprakarsai berdirinya Sekolah THHK/Pa Hoa di tahun 1901 menyimpan sejarah penting tersendiri.
THHK/Pa Hoa merupakan lembaga pendidikan pertama di nusantara yang menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti, juga pionir yang menghadirkan lembaga pendidikan bernuansa modern di wilayah nusantara.
Ahli Sejarah Didi Kwartanada memaparkan bahasan awal mula berdirinya THHK dalam kondisi sosial awal tahun 1900-an. Saat itu, terjadi segregasi masyarakat era kolonial.
Kendati masuk ke dalam golongan masyarakat “kelas dua”, berdirinya THHK yang diprakarsai para kaum terpelajar Tionghoa mampu menginspirasi begitu banyak kalangan pada saat itu.
Dr. Abdoel Rivai, pengasuh bacaan mingguan “Bintang Hindia” pada era itu memuji persatuan golongan Tionghoa, seperti yang dilakukan para penggagas di THHK dalam upaya mereka mengejar kemajuan hidup untuk menyamai kemajuan golongan Eropa.
Didi membandingkan, semangat yang sama juga telah dibawa para alumni Sekolah Pa Hoa lama yang pada tahun 2008 mendirikan kembali “Sekolah Terpadu Pahoa”.
Sentimen ras mengubur kebudayaan
Pemahaman sejarah golongan Tionghoa di tanah air juga dibawakan oleh Aprianif, Dosen sekaligus Kaprodi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Islamic Village.
Sentimen ras yang pernah membatasi secara ketat segala unsur kebudayaan Tionghoa di Indonesia pada akhirnya mengubur kekayaannya di mata masyarakat.
Kenyataan ini sangat disayangkan, maka darinya dapat diambil sebuah pembelajaran. “Mari bersama menggali sejarah dan belajar dengan benar, agar tidak ada lagi sikap intoleransi yang disebabkan oleh kebodohan-kebodohan kita sendiri,” ujarnya.
Pembahasan diperkaya lagi dengan pemaparan Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Museum yang didirikan pria berdarah Aceh pada tahun 2011 ini telah menjadi pusat dokumentasi dan sumber informasi bagi para akademisi dari dalam dan luar negeri.
Azmi menjelaskan, kehadiran Museum Pustaka Peranakan Tionghoa memiliki aktivitas rutin dalam rangka menguatkan semangat toleransi dan mengentaskan masalah diskriminasi di tengah masyarakat.
“Ada informasi yang tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat mengenai peran dan jasa kaum Tionghoa di Indonesia, baik sebelum ataupun sesudah kemerdekaan,” ungkap Azmi.
Sejumlah literatur mengenai THHK juga masuk dalam koleksi museum. Bagi Azmi, cita-cita yang ingin dicapai dari pendirian museum adalah merajut kebhinnekaan Indonesia. Ia menambahkan, “Dengan bisa mengubah stigma keliru pada etnis Tionghoa, niscaya akan terwujud Indonesia yang kita impikan.”
Merangkai semangat persatuan
Liliawati Rahardjo, Wakil Ketua Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Pahoa memaparkan tentang kekayaan nilai moral Di Zi Gui yang menjadi ciri khas Sekolah Terpadu Pahoa yang membedakannya dari lembaga pendidikan lain.
Melalui berbagai kegiatan dalam dan luar kelas, siswa dan siswi Sekolah Terpadu Pahoa diasah budi pekertinya dengan ajaran moral yang terinspirasi dari nilai-nilai kebajikan dari Confucius.
“Karakter tidak bisa diwariskan, tidak bisa pula dibeli dan ditukar. Karakter harus dibangun dan dibina melalui proses yang tidak instan,” ujarnya.
Penutup seminar sekaligus rangkuman isi materi disampaikan oleh perwakilan Pembina Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Pahoa, Suryono Limputra. Suryono merupakan alumnus Pa Hoa angkatan 1958 yang turut membidani berdirinya kembali Sekolah Terpadu Pahoa pada tahun 2008.
Seminar diikuti seluruh guru dan karyawan Sekolah Terpadu Pahoa, alumni, orangtua siswa, serta tamu undangan dari sejumlah lembaga pendidikan. Pihak sekolah berharap, dengan mengenal dan mempelajari sejarah, timbul rasa bangga serta dorongan untuk melestarikan kekayaan sejarah dan nilai-nilai positif Pa Hoa, serta paling penting adalah merangkai kebhinnekaan dalam semangat persatuan.
https://edukasi.kompas.com/read/2018/12/09/19595671/menyingkap-sejarah-peranakan-tionghoa-dalam-pendidikan-nasional