Salin Artikel

Sisi Gelap Teknologi dan Informasi: Kurikulum STEM Saja Tidak Cukup

KOMPAS.com - Kemajuan teknologi informasi dan ekonomi digital ternyata juga mendorong sisi gelap internet, media sosial, dan lompatan teknologi telah menjadi semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir.

Dari sisi ekonomi digital, apa yang baik untuk bisnis belum tentu baik untuk individu atau masyarakat. Lompatan teknologi informasi justru memudahkan orang untuk memanipulasi opini, melemparkan kebencian, dan menghasut untuk tindak kekerasan.

Secara naif banyak orang pernah mengatakan akses ke World Wide Web akan secara pasti mendemokratisasi informasi; hari ini, justru menimbulkan kekuatiran hal ini justru dapat membawa damapk buruk.

Apakah yang dapat dilakukan untuk mendukung teknologi yang lebih manusiawi, etis, dan efektif?

Persoalan nilai kemanusiaan dalam teknologi

Dilansir dari World Economic Forum, salah satu cara penting mengatasi masalah ini adalah dengan mereformasi pendidikan STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). 

Selama ini pembuat kebijakan di seluruh dunia sudah berfokus pada peningkatan jumlah lulusan STEM dan keragaman siswa STEM. 

Tetapi masih dipandang perlu untuk memperluas cakupan pendidikan STEM, untuk memastikan bahwa siswa belajar untuk mengevaluasi dan menanggapi konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik dari pekerjaan mereka.

Dibutuhkan pengembangan kurikulum yang sama sekali baru agar generasi teknologi, insinyur, ilmuwan, dan matematikawan generasi mendatang mampu mempertimbangkan efek dari tindakan atau hasil inovasi mereka terhadap masyarakat.

Tanpa kerangka seperti itu, akan muncul kesenjangan besar antara inovasi dan realitas nilai-nilai kemanusiaan.

Memasukan etika dalam pendidikan STEM

Untungnya, benih revolusi pendidikan ini sudah tumbuh. Beberapa universitas menambahkan kelas etika ke kurikulum STEM. Universitas Stanford, salah satu referensi pendidikan STEM ke industri teknologi, baru-baru ini menambahkan subyek pelajaran dengan topik seperti "Etika, Kebijakan Publik, dan Perubahan Teknologi" dan "Komputer, Etika, dan Kebijakan Publik."

Stanford juga baru-baru ini meluncurkan Human-Centered AI Initiative , yang mengakui bahwa "perkembangan AI (kecerdasan buatan) harus dipasangkan dengan studi tentang dampaknya pada masyarakat.

Casey Fiesler dari University of Colorado, tengah mengumpulkan beragam silabus yang berfokus pada etika teknologi. Saat ini telah terkumpul database online yang sudah berisi lebih dari 200 silabus dari universitas di seluruh dunia.

Namun hanya seperempat dari kursus-kursus tersebut yang diajarkan fakultas terkait sains dan ilmu komputer. Sisanya diajarkan di departemen seperti hukum, filsafat, dan komunikasi, yang berarti belum disesuaikan dengan tantangan berhubungan dengan STEM.

Integrasi ilmu humaniora

Hal inilah yang menjadi dasar pendirian Responsible CS Challenge yang diluncurkan bulan lalu oleh Omidyar Network, Schmidt Futures, Craig Newmark Philanthropies, dan Mozilla.

Lembaga ini dalam dua tahun ke depan akan mendorong profesor ilmu komputer di Amerika Serikat untuk mengintegrasikan etika ke dalam kurikulum sarjana mereka sehingga siswa STEM dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan komplek tentang bagaimana teknologi mempengaruhi umat manusia.

Ini adalah langkah di mana masih banyak yang harus dilakukan. Selain etika, eksplorasi serupa akan diperlukan dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, psikologi, dan banyak lagi yang disebut humaniora.

Memperluas pendidikan STEM untuk memasukkan pertimbangan humaniora lebih luas seperti itu akan berfungsi sebagai landasan strategi jangka panjang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa teknologi melayani masyarakat dengan cara positif.

Strategi itu juga harus memasukkan perubahan, agar para lulusan STEM mampu mempersiapkan dan mengatasi dampak pekerjaan atau hasil inovasi terhadap masyarakat.

 

Untungnya, benih revolusi pendidikan ini sudah tumbuh. Beberapa universitasmenambahkan kelas etika ke kurikulum STEM. Universitas Stanford, dengan tautan mendalam ke industri teknologi, baru-baru ini menambahkan kursus dengan topik seperti "Etika, Kebijakan Publik, dan Perubahan Teknologi" dan "Komputer, Etika, dan Kebijakan Publik."

Stanford juga baru -baru ini meluncurkan Human-Centered AI Initiative yang baru, yang mengakui bahwa "perkembangan AI harus dipasangkan dengan studi yang sedang berlangsung tentang dampaknya pada masyarakat manusia, dan dipandu sesuai." Tahun lalu, Cornell meluncurkan Program Milstein dalam Teknologi dan Kemanusiaan.

Inisiatif awal ini dapat berfungsi sebagai landasan pengujian penting untuk kurikulum dan metode baru. Tetapi perubahan nyata hanya akan terjadi ketika semua program STEM memberi siswa alat yang mereka butuhkan untuk melakukan penilaian yang dapat dipercaya atas efek pekerjaan mereka terhadap kemanusiaan.

Tentu saja, perubahan semacam itu akan berarti kecil jika kita tidak tahu apa alat yang paling efektif sebenarnya. Itulah mengapa eksperimen lanjutan juga penting.

Casey Fiesler dari University of Colorado, Boulder, sedang mengejar hanya eksperimen seperti itu oleh orang-orang yang banyak silabus yang berfokus pada etika teknologi. Database online yang berkembang sudah berisi lebih dari 200 silabus yang berbeda dari universitas di seluruh dunia. Namun hanya seperempat dari kursus-kursus ini yang diajarkan oleh fakultas ilmu komputer. Sisanya diajarkan di departemen seperti hukum, filsafat, dan komunikasi, yang berarti bahwa mereka tidak disesuaikan dengan tantangan yang berhubungan dengan STEM.

https://edukasi.kompas.com/read/2018/12/20/10272151/sisi-gelap-teknologi-dan-informasi-kurikulum-stem-saja-tidak-cukup

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke