Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sebuah Refleksi tentang Pendidikan Tinggi Australia dan Indonesia

KOMPAS.com - Tak terasa satu tahun telah berlalu sejak saya mulai kuliah S1 di Australian National University (ANU). Setumpuk bacaan dan tugas membuat saya tidak begitu sempat melakukan refleksi mendalam tentang pengalaman belajar di Australia dan implikasi dari pengalaman tersebut.

Beberapa minggu terakhir setelah masa libur kampus tiba, barulah saya sempat mendalami apa yang terjadi selama satu tahun hidup saya yang luar biasa ini.

Saya menyadari bahwa selain melalui kelas, kuliah di ANU memperkenalkan secara tidak langsung filosofi dan praktik pendidikan tinggi Australia itu sendiri. Melalui tulisan ini, saya hendak berbagi pengalaman dan observasi tentang saya pendidikan tinggi di Australia.

Saya berharap melalui pengalaman saya yang tak seberapa, para pembaca tetap dapat membandingkan, mempertimbangkan, dan mungkin mempertanyakan praktik dan aspek dari bidang pendidikan tinggi di tanah air.

O-Week, pengenalan kampus tanpa senioritas

Masa orientasi studi dan pengenalan kampus ANU berlangsung selama seminggu mulai dari 12 Februari 2017. Namun, pengenalan kampus yang dilakukan di ANU amat berbeda dari apa yang biasa kita lihat di Indonesia.

Kegiatan pengenalan kampus atau O-Week dibuka dengan acara induksi sampai dengan commencement speech oleh Brian Schmidt, Vice-Chancellor ANU yang menandakan dimulainya semester satu.

Memang semua kegiatannya bersifat tidak wajib alias suka-suka kita mau hadir ke suatu sesi atau tidak, meskipun direkomendasikan untuk datang di sesi tertentu. Saya perhatikan, semua kegiatan bersifat edukatif dan profesional. Tidak ada acara atau instruksi "aneh-aneh".

Para mahasiswa baru diperlakukan sepantasnya orang dewasa. Tidak ada kesenjangan dengan para senior, bahkan mereka hadir untuk membantu administratif kegiatan seperti menyambut di pintu, membantu mengurus hal yang berkaitan dengan IT, bagi-bagi merchandise, dan berbagi pengalaman.

Pengalaman ini membuat saya berpikir tentang kegiatan orientasi yang dilakukan di perguruan tinggi di tanah air.

Mengapa desain pengenalan kampus di Indonesia cenderung jauh berbeda dengan negara lainnya? Tak jarang saya membaca berita tentang "kejanggalan- kejanggalan" yang terjadi saat pengenalan kampus di negara tercinta.

Padahal menurut saya, tujuan pengenalan kampus sejatinya ialah untuk memperkenalkan kampus, presentasi dan tur diadakan oleh para staf universitas dan departemen rasanya cukup.

Nah, jika tujuan O-Week adalah untuk melatih disiplin dan kesopanan, pengenalan kampus di Indonesia terasa tak sejalan dengan tujuannya.

Saya tidak merasa ada korelasi antara menuruti perintah-perintah yang bisa jadi nyeleneh dengan pengembangan disiplin dan etika akademik mendasar seperti kejujuran dan ketepatan waktu.

Di sisi lain, saya juga meragukan dalih bahwa pengenalan kampus bertujuan untuk mengajarkan hormat dan solidaritas angkatan. Tentu tak ada salahnya menghormati orang yang lebih tua, namun apakah senior universitas harusnya dipertuakan?

Umur senior-junior rata-rata hanya berbeda tipis (kecuali jika senior pengenalan kampus kebetulan "terlalu betah" kuliah).

Kesan perbedaan pengalaman serta asam garam pun, rasanya dapat diabaikan. Bisa jadi, bukan hormat dan solidaritas yang muncul. Melainkan memupuk dendam kesumat, yang kemudian dilampiaskan kepada para junior berikutnya.

Nampaknya ruang untuk menerapkan praktik dan filosofi dari Australia dalam hal pengenalan kampus cukup terbuka. Jika tidak, janganlah terkejut jika kita terus membaca berita tentang kejanggalan-kejanggalan ketika pengenalan kampus di Indonesia.

Bagi siapa pun yang bilang bahwa kejanggalan-kejanggalan ini hanyalah kejadian terisolasi yang bersumber dari a few bad apples, ada baiknya membaca tentang Stanford Prison Experiment.

Pedagogi berbasis tanggung jawab dan critical thinking

Ketika masih di SMA, saya selalu diwanti-wanti oleh guru bahwa nanti di universitas, "Enggak ada lagi yang nyuapin kamu!"

Guru-guru penulis bicara dalam konteks perguruan tinggi Indonesia, tapi perkataan mereka juga tepat untuk ANU. Sebagai international student, saya wajib mengambil 4 mata kuliah per semester, masing-masing berharga 6 unit.

Rata-rata murid di ANU dapat lulus dengan gelar Bachelor setelah dapat 144 unit (atau sekitar 3 tahun). Namun, karena saya ambil gelar ganda dengan system flexible double degree, saya harus menyelesaikan 240 unit atau sekitar 5 tahun.

Masing-masing mata kuliah penulis hanya butuh 3-5 jam kuliah tatap muka per minggu, sampai-sampai ibu saya bertanya apakah saya benar-benar kuliah. Namun, tidak berarti bahwa datang ke kelas saja cukup.

Untuk melahap semua mata kuliah, saya membutuhkan minimal 6 jam studi independen di luar jam perkuliahan, bahkan seringkali lebih. Konsisten dengan pandangan ANU bahwa melihat setiap mahasiswa adalah orang dewasa, dengan sistem flipped classroom ini ANU mencoba mendorong rasa tanggung jawab pribadi atas nilai dan pendidikan setiap muridnya.

Akan tetapi, ini tak berarti bahwa mereka boleh cuek. Semua jenis lecture (kelas besar) direkam dan dapat ditonton kembali untuk revisi.

Dosen dan tutor selalu siap dan datang tepat waktu, plus sangat terbuka untuk pertanyaan dan diskusi baik didalam maupun di luar jam kelas. Keterbukaan para dosen dan tutor amat terkait dengan keinginan ANU untuk mendorong pemikiran kritis.

Tentu ujian tengah dan akhir semester yang menonjolkan hafalan masih ada. Namun, mayoritas pembelajaran didesain untuk memberi insentif bagi para murid untuk mengembangkan argumen yang kritis dan original.

Mayoritas tutorial (kelas kecil) diisi dengan adu pikiran baik antara para murid atau antara murid dengan dosen. Tentu dengan dibimbing daftar bacaan dan topik yang didiskusikan di lecture. Menurut saya, cara pendidikan seperti ini amatlah memperkaya dan mendidik.

Lagi-lagi ada ruang yang cukup luas bagi beberapa perguruan tinggi di Indonesia untuk mengambil inspirasi dari ini. Filosofi dan sistem yang mendorong dan menghargai rasa tanggung jawab pribadi atas pendidikan serta pemikiran kritis dan original sangatlah berguna dibandingkan filosofi "hafal mati".

Sistem hafal mati hanyalah itu, ilmu dihafal kemudian "mati". Selain itu, dapat dipertanyakan bagaimana kiita dapat menghasilkan karya ilmiah yang dimuat di jurnal ternama jika banyak calon akademisi tidak terlatih sejak dini berpikir kritis dan berargumen originil.

Anti-pelecehan seksual

Pada Agustus 2017 lalu, Australian Human Rights Commission (Komnas HAM Australia) menerbitkan laporan mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di kampus-kampus Australia.

Hasilnya sungguh memprihatinkan. Satu dari lima murid universitas di Australia melaporkan bahwa mereka dilecehkan secara seksual di dalam kampus sepanjang tahun 2016. Mahasiswi dua kali lipat lebih mungkin untuk mengalami pelecehan seksual dan 3 kali lipat lebih mungkin untuk mengalami penyerangan seksual dibandingkan mahasiswa.

Pelajar internasional juga tidaklah luput dari tindakan ini. Sebanyak 22 persen melaporkan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual di Negeri Kanguru.

Saya yang ketika itu masih pelajar program persiapan untuk masuk ke ANU, kaget mendengar statistik ini.

Kekagetan berubah menjadi rasa malu dan kecewa ketika saya mendengar bahwa ANU (bersama Bond University) menduduki peringkat satu dalam persentase keseluruhan responden yang mengalami pelecehan seksual di setting universitas atau sekitar 38 persen.

Belakangan ini saya juga menaruh perhatian pada kasus pelecehan seksual seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada. Melihat perkembangan kasus tersebut dan diskursus yang mengitarinya, saya prihatin tapi tidak terkejut.

Ini karena hal-hal seperti kultur victim-blaming sampai sistem pelaporan yang tidak cukup, juga hadir di kasus pelecehan seksual seperti halnya di ANU.

Menciptakan sistem untuk meniadakan kekerasan dan pelecehan seksual di universitas akan sulit, tetapi mengubah budaya akan jauh lebih penting.

Saya berharap, kita sampai pada budaya di mana tidak ada lagi upaya menyalahkan atau menyepelekan korban pelecehan dan kekerasan seksual, baik wanita maupun pria.

Budaya yang kita bisa berkata kepada mereka, "We hear you, we believe you, we are here for you" dan lebih penting lagi "How can we really help?" sehingga semakin banyak korban lain yang berani bersuara.

Saya masih akan menempuh 4 tahun lagi pendidikan di Australia. Perjalanan masih panjang. Namun, saya tak ragu bahwa pengalaman dan pemahaman saya akan terus berkembang karena satu tahun ini telah mengajarkan saya banyak hal.

Penulis: Kevin Marco Tanaya
Mahasiswa program Flexible Double Degree (Law & Politics, Philosophy and Economics) The Australian National University, Australia

https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/08/11054271/sebuah-refleksi-tentang-pendidikan-tinggi-australia-dan-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke