Salin Artikel

Universitas dan Menara Gading Ilmu Pengetahuan

JUDUL dan tulisan ini terinspirasi dari pidato yang disampaikan oleh Goenawan Mohamad (GM) bertajuk “Universitas dan Pasca-Kebenaran” di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tahun 2017 silam.

Ceramah itu adalah bagian dari rangkaian seremonial penghargaan yang diberikan kepada GM sebagai insan berdedikasi dalam bidang kebudayaan.

Harus diakui, kampus atau universitas awalnya didirikan sebagai upaya dalam proses mencari kebenaran dengan rumusan dalil yang disebut sebagai “ilmu pengetahuan”.

Akan tetapi, dalam beberapa kurun waktu terakhir universitas justru menjadi tiran, dengan melanggengkan dogma-dogma yang membuat kebenaran itu menjadi kaku dan tunggal.

Universitas di negeri ini kemudian mendasarkan pola pemikiran dan pengembangan paradigma berpikir yang parsial. Hampir semua bermuara pada pemenuhan kebutuhan kapitalis.

Universitas yang mampu menarik minat mahasiswa terbanyak akan dipertahankan, sementara yang sebaliknya akan dihapus atau dimatikan. Ukuran keberhasilan kemudian dihitung secara kuantitaif dengan mengesampingkan kualitas atau mutu.

Dikotomi

Mahasiswa jurusan ilmu eksak (ilmu pasti), tak lagi penting mendapatkan pelajaran (kuliah) ilmu sastra, musik, teater atau seni. Bahkan sebaliknya, mahasiswa sastra, musik, humaniora dan sejenisnya seolah tak lagi memerlukan ilmu eksak semacam ekonomi, matematika, fisika dan kedokteran.

Hal ini mengakibatkan cara berpikir mahasiswa yang terpenggal. Mereka tak lagi saling mengenal untuk menjelajah indah dan kayanya dunia ilmu pengetahuan, karena menganggap yang lain tak lebih baik dari apa yang ditekuninya, dalam kacamata kebudayaan hal ini disebut etnosentris.

Mahasiswa dengan demikian akan ahli di bidangnya, namun akan kehilangan dari apa yang disebut sebagai “empati”.

Oleh karena itu, di hari ini kita banyak melihat gesekan-gesekan yang frontal bahkan cenderung anarkis antar mahasiswa lintas jurusan dan bidang ilmu. Eksistensi diwujudkan dengan kekerasan, demonstrasi dan ancaman.

Belum lagi bagaimana pemerintah atas nama negara, melakukan evaluasi berdasarkan atas ukuran-ukuran yang kuantitatif. Universitas besar akan diguyur dana penelitian berlebih, sementara universitas (kampus) kecil akan mendapatkan dana penelitian minim. Dana penelitian tak ubahnya proyek yang mendatangkan keuntungan melimpah.

Masyarakat jarang menikmati buah hasil temuan-temuan universitas selain polemik atas kasus-kasus hukum (korupsi, anarkisme) yang mencuat di layar kaca lewat berbagai berita.

Ilmu pengetahuan menjadi statis, menara gading yang tak terbaca oleh publik. Universitas kemudian semakin mengekalkan kasta dalam kehidupan bermasyarakat.

Deretan gelar menjadi ajang pameran sekaligus misi narsistik dan penyombongan diri. Golongan yang demikian dilabeli dengan nama “kaum terdidik”, sementara lainnya adalah “tak terpelajar”.

Saya mengapresiasi kerendahan hati GM di forum itu, dengan kepala tegak menyebut diri sebagai “seorang yang tak terdidik alias berasal dari dunia ilmiah, sebagai seorang yang secara serabutan bersentuhan dengan lingkungan akademis”, namun ia berupaya memberi sumbangan pemikiran sekaligus koreksi dan kritik bagi universitas di negeri ini.

Ilmu pengetahuan serta cakrawala berpikir kritis dan ilmiah dapat tumbuh dari siapapun dan lingkungan manapun tanpa harus memuja-muja sebuah lembaga bernama universitas.

Justru dalam arena ilmu, juga laboratorium maupun di lapangan riset, banyak sekali hal yang menyesatkan. Bukan semata karena lemahnya keterampilan, cerobohnya penggunaan metode, kurangnya supervisi, tak memadainya ruang penelitian, tapi juga karena struktur kekuasaan yang distorsif dalam dunia ilmu, termasuk universitas.

Kekuasaan dan kapitalisme

Dari persoalan yang paling sepele kita dapat melihat kekuasaan dan kapitalisme tumbuh subur dalam tembok universitas. Nama-nama kampus lebih diidentikkan dengan penguasa, raja dan kebesaran suatu kaum.

Bahkan nama Universitas Sebelas Maret (UNS) sendiri, tempat di mana GM menyampaikan ceramahnya itu, adalah sebuah warisan yang kental beraroma Orde Baru.

Nama-nama dan warisan penguasa itu tidak saja mengekalkan ilmajinasi tentang kekuasaan, namun juga mengkonstruksi kebekuan pola pikir dan cara pandang ilmiah.

Kebenaran kemudian menjadi milik siapa yang mensponsori. Hari ini kita banyak melihat suatu kaum yang mendogmakan kebenaran versinya. Ia tak membuka kemungkinan untuk berdiskusi, koreksi dan kontemplasi bagi kebenaran yang lain.

Masyarakat menuduh dan sekaligus menghendaki apa-apa yang tak sesuai dengan pilihan dan keyakinannya adalah salah, tak ada lagi ruang berbagi, atau wisdom, kearifan.

Zaman telah berubah, universitas bergerak dengan cepat. Muncul berbagai jurusan yang mampu mengakomodasi perubahan itu. Nama kementerian dirasa terlalu usang untuk tetap mengunakan “Pendidikan dan Kebudayaan”.

Universitas harus diwadahi dengan nama kementerian yang lebih perlente: “Riset dan Teknologi”.

Apapun harus berdasar riset dan berbasis teknologi. Kata terakhir, teknologi, memang telah menyulap wajah universitas dan dinamika masyarakat dewasa ini.

Kuliah jarak jauh dengan menggunakan sambungan internet banyak digalakkan. Teknologi itu membunuh waktu, meringkas jarak dan mendekatkan yang jauh.

Namun kita lupa bahwa, yang dekat itu tidak lagi mendatangkan kedekatan. Kedekatan manusia sejatinya tak dapat dihitung dengan detik, menit maupun jam, namun keakraban dan kemesraan.

Kritik besar bagi eksistensi universitas di negeri ini. Untuk tidak semata menghamba pada ilmu pengetahuan yang berlandas nalar dan kebenaran temporer, namun juga membuka diri dengan segala kemungkinan dan keterbukaan yang lebih manusiawi.

Menjadi lebih arif dan ruang bagi kebebasan berpikir. Oleh karena itu, harapannya, universitas tak lagi menjadi menara gading, namun mampu menjadi jembatan penyadaran bagi kehidupan yang lebih baik dan harmonis, tak semata ilmiah dan kalkulatif.

https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/15/20495691/universitas-dan-menara-gading-ilmu-pengetahuan

Terkini Lainnya

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke