KOMPAS.com - Siapa tidak mengenal Haji Agus Salim, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia pada tahun 1961.
Pemilik nama lahir Mashudul Haq kelahiran Agam, Sumatera Barat ini, pernah menjadi jurnalis, lantas bergabung dengan dengan Sarekat Islam (SI) dan menjadi pemimpin kedua SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Karier berikutnya ia menjadi anggota BPUPKI dan turut menyusun draft UUD. Terakhir ia menjabat Menteri Luar Negeri di beberapa kabinet, yakni Kabinet Syahrir, Kabinet Amir Syarifuddin, dan Kabinet Hatta.
Melawan arus masa itu
Namun tidak banyak orang mengetahui bagaimana pola asuh Agus Salim bersama istrinya Zaenatun Nahar dalam mendidik 8 anaknya: Theodora Atia (Dolly), Jusuf Tewfik Salim (Totok), Violet Hanifah (Jojet), Maria Zenobia (Adek), Ahmad Sjewket Salim (gugur dalam pertempuran di Lengkong), Islam Salim, Siti Asiah, dan yang bungsu Mansur Abdur Rachman Ciddiq.
Dikutip dari buku 100 Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 1996, disebutkan, Agus Salim mendidik langsung tujuh anaknya di rumah atau yang saat ini dikenal dengan "homeschooling". Hanya si bungsu Mansur Abdurrahman Sidik mengenyam sekolah formal.
Tokoh bangsa itu memiliki perspektif berbeda dengan para pemimpin bangsa lain yang hidup sezaman. Pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh bangsa Indonesia menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang paling tinggi, meskipun itu sekolah kolonial yang dikendalikan pemerintah Hindia Belanda.
Ambil peran sebagai guru
Bahkan tak sedikit menyekolahkan anak hingga ke luar negeri. Namun bagi Agus Salim, sekolah kolonial tak membuat anak mandiri.
Dilansir dari forum Sahabat Keluarga Kemendikbud, Agus Salim kemudian menjadikan rumah sebagai sekolah bagi anak-anaknya. Ia dan istrinya bergantian berperan sebagai guru.
Padahal, Agus Salim sendiri menapaki jenjang sekolah formal. Bahkan pernah meraih prestasi sebagai lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) tahun 1903 di tiga kota besar, yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya.
HBS adalah sekolah menengah setara SMA milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah ini hanya menerima siswa berkebangsaan Belanda atau Eropa, serta sedikit anak lokal yang orangtuanya terpandang atau punya pangkat.
Rencana sejak awal
Namun, usai lulus HBS, harapan Agus Salim mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda yang sangat diminatinya kandas. Hanya karena ia seorang pribumi.
Pengalaman pahit itulah yang barangkali membuat Agus Salim akhirnya kecewa dan memutuskan agar anak-anaknya tidak masuk pendidikan kolonial. Selain itu, ia merasa sanggup mendidik anak-anaknya di rumah.
Soal si bungsu yang masuk sekolah formal, itu karena dilahirkan setelah era kolonial Belanda di Indonesia berakhir.
Kustiniyati Mochtar, wartawan senior harian Indonesia Raya berkesempatan mewawancarai Agus Salim. Dari wawancara yang dijadikan sumber buku Seratus Tahun Haji Agus Salim itu, Agus Salim mengenang, ketika masih pengantin baru, ia meminta istrinya rajin membaca dan berzikir karena berencana mendidik sendiri anak-anaknya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/20/15215831/ternyata-haji-agus-salim-pilih-homeschooling-untuk-pendidikan-anak