Salin Artikel

Menggagas Reformasi Sekolah Vokasi di Indonesia

PENDIDIKAN menjadi salah satu isu yang tak pernah lekang dibahas dalam setiap debat Pemilu Presiden tahun ini. Buktinya, dalam debat ketiga yang diikuti oleh calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin dan nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno kembali menitikberatkan pada pendidikan, khususnya sekolah vokasi (SV).

Sedikit kilas balik, Ma'ruf memilih untuk melakukan reformasi pendidikan dari tingkat dasar hingga universitas.

Untuk tingkat SMK, ia akan merevitalisasi SMK, politeknik, dan akademi sesuai dengan tuntutan pasar. Ia juga akan melibatkan dunia usaha dan dunia industri dalam menjalankan program ini.

Adapun Sandiaga memastikan agar SMK terhubung dengan penyedia lapangan kerja di dunia usaha dan pemerintah melalui program Rumah Siap Kerja.

Program ini menghubungkan pencari kerja dan penyedia lapangan kerja dan memberi keterampilan kepada pencari kerja.

Namun dalam kesimpulannya, keduanya kompak membatasi hanya pada tahun 2045. Padahal, jika kita menilik pendidikan negara-negara maju, program vokasi ini mereka rancang berskala panjang dan kontinuitas dari 50 sampai 100 tahun ke depan.

Mari kita belajar pada penerapan pendidikan vokasi yang diterapkan di negara-negara maju, seperti Jerman.

Jerman berhasil mengoptimalkan fungsi sekolah kejuruan/vokasi (berufsschule). Dengan menerapkan model dual system, mereka memiliki jumlah pengangguran paling sedikit di Eropa.

Model dual system tercipta sebagai hasil kolaborasi antara pemerintah dan swasta. Siswa vokasi di negara itu memiliki jam belajar di sekolah satu sampai dua hari dan di perusahaan tiga sampai empat hari. Full selama masa sekolah.

Siswa mendapatkan hak gaji dan cuti selama proses belajar tersebut. Alhasil, setelah lulus, siswa memiliki kecakapan dari satu bidang yang diminati dan benar-benar siap bekerja.

Kisah lain sekolah vokasi datang dari China. Di Negeri Tirai Bambu ini, kita bisa melihat banyaknya produk inovasi lahir justru berkat kontribusi pendidikan vokasi yang diterapkan.

Sebut saja Alipay, Payease, WeChat, dan lain-lain yang memungkinkan masyarakat menyelesaikan hampir semua aktivitas kebutuhan sehari-hari hanya dengan ponsel.

Kemajuan ekonomi, sains, dan teknologi yang mengguncang dunia ini tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping dalam menjaga kualitas SV di negara tersebut.

Masyarakatnya pun menanamkan spirit konfusius, di mana pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental, yakni "If your plan for one year plant rice, if your plan is for 10 years plant trees, if your plan is for 100 years educate children."

Tiga reformasi pendidikan melalui sekolah vokasi

Tentu saja setiap negara memiliki kebudayaan, ciri khas dan kebutuhan yang berbeda-beda. Namun, setiap hal positif sebagai pembenahan sistem pendidikan tak bisa dinihilkan.

Sebab, tren pendidikan global saat ini mengalami pergeseran mulai dari high speed menjadi high quality economic development serta dari higher education enrollment pressure menjadi the choice to be educated in the other way.

Artinya, bukan seberapa banyak jumlah sekolah yang dimiliki namun seberapa berkualitas sekolah tersebut sehingga mampu menciptakan lulusan yang memiliki skill tinggi dan mampu mengoptimalkan minat bakatnya.

Untuk menyelaraskan dengan tren pendidikan global tersebut, SV harus melakukan 3 reformasi.

Pertama, fokus kuantitas diganti ke arah kualitas. Kedua, dari government sponsored menjadi gabungan antara government dan non-government sponsored. Yang ketiga, dari sistem pendidikan umum menjadi sistem pendidikan vokasi yang nyata.

Organisasi sosial, NGO, dan swasta harus lebih banyak lagi mengambil porsi dalam pembangunan SV, baik pembangunan sekolah maupun sistem belajar. Karena, merekalah yang paling diuntungkan untuk memanfaatkan skill siswa ketika sudah lulus. Selain itu, agar ada penyesuaian antara teori dan praktik riil.

Fenomena saat ini, SV masih menjadi pilihan kedua bagi para siswa dan orangtua. Gengsi sebagai siswa SMA dianggap lebih gaul ketimbang sebagai siswa SMK/STM.

Padahal, SMA maupun SMK memiliki posisi yang sama pentingnya. Salah satu cara untuk mengikis gap itu ialah dengan mendorong SV dalam perkembangan inovasi pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Tujuan utama para siswa memilih SV ialah agar cepat mendapatkan pekerjaan dan menghemat biaya pendidikan karena tidak perlu melanjutkan ke level universitas. Namun faktanya, tujuan tersebut masih jauh panggang dari api.

Harus ada terobosan baru agar SV berkembang. Peningkatan kualitas dalam proses pembelajaran, guru, kesejahteraan, praktik, dan manajemen.

Yang paling utama, siswa harus terjun langsung ke perusahaan/industri dan memiliki keunikan yang spesial berupa kecakapan skill daripada siswa dari sekolah umum.

Hal konkret yang harus dilakukan dalam mereformasi SV adalah dengan mengumpulkan pihak pemerintah (Kemendikbud), profesional, peneliti dan guru untuk merumuskan 50 sekolah sebagai pilot project dan menunjuk 150 spesialis sebagai penanggung jawab.

Dari situ dibangunlah international advanced level Indonesia standard system yang terhubung langsung dengan dengan sektor industri.

Tentu saja bukan hal mudah untuk mewujudkan ini. Perlu kerja keras dan tak hanya menjadi tugas tunggal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Perlu juga sinergi bersama dari kementerian terkait, seperti Kemenristekdikti, Kemenkominfo, Kementerian Ekonomi, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Bekraf.

Pada akhirnya, semoga upaya dalam peningkatan pendidikan benar-benar bisa dieksekusi secara konkret, tidak sekadar wacana yang dihadirkan dalam pemilu lima tahun sekali apalagi menjadi bahan humor "ganti menteri, ganti kurikulum".

Budy Sugandi
PhD Candidate, Education Leadership and Management, Southwest University China
Founder & CEO Mentoring Online Klikcoaching.com
Komisi Pendidikan PPI Dunia

https://edukasi.kompas.com/read/2019/03/30/13410431/menggagas-reformasi-sekolah-vokasi-di-indonesia

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke