Salin Artikel

Meraba Nasib Ujian Nasional Usai Pesta Politik

PERBINCANGAN perihal Ujian Nasional (UN) tampaknya bakal selalu hangat setiap tahun. Topik ini juga semakin ramai diungkap pada debat ketiga Pemilihan Presiden 2019 beberapa waktu lalu.

Lagi-lagi wacana penghapusan UN di dunia pendidikan mengemuka. Lantas, mengapa hal ini selalu menarik untuk terus dijadikan narasi politik?

Ujian nasional dari masa ke masa

Sebagai sebuah parameter kelulusan, kita perlu melihat UN sebagai objek historis yang dinamis. Setidaknya, sejak kemerdekaan hingga 1970-an sistem pendidikan kita menggunakan UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan dan diatur secara resmi oleh Kementerian Pendidikan.

Pada 1974, regulasi tersebut diubah. Kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Tentu, hal ini menimbulkan polemik karena seratus persen kelulusan diraih oleh siswa dengan alasan kurang ketatnya standar yang diterapkan oleh sekolah.

Sejak itu, beberapa peraturan lain juga diterapkan. Misalnya, UN hanya menitikberatkan pada beberapa pelajaran saja dan kembali tidak menjadi penentu kelulusan.

Hingga kemudian belakangan ujian ini berganti nama menjadi Ujian Nasional Berstandar Nasional (USBN) dengan komputer, mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2018.

Selain pada aspek historis di atas, UN dapat dilihat minimal ke dalam tiga kacamata pendidikan, yakni UN sebagai summative evaluation, UN sebagai diagnostic evaluation, dan UN sebagai placement test.

Penyelenggaraan UN di akhir masa studi pada akhirnya menempatkan UN ke dalam kategori summative evaluation, yakni mengukur kemampuan peserta didik sebagai hasil akhir proses belajar.

Oleh karenanya, UN menjadi salah satu alat refleksi atas keberhasilan belajar siswa. Walaupun banyak pro-kontra dalam proses ini, namun fungsi UN sebagai salah satu alat ukur summative masih berlangsung setidaknya hingga saat ini.

Penting juga untuk dicatat bahwa adanya perbaikan pendidikan dari tahun ke tahun tidak bisa dilepaskan dari kontribusi UN sebagai diagnostic evaluation, di mana hasil dari UN digunakan sebagai acuan untuk merumuskan kebijakan di masa mendatang.

Misalnya, mengacu pada situs Kemendikbud, terdapat tren penurunan nilai pada rata-rata UN untuk program IPA dari 65,78 di tahun 2014/2015 menjadi 51,57 di tahun 2017/2018.

Oleh karenanya, nilai UN berguna untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam proses perbaikan pendidikan ke depan.

Terakhir, UN sebagai placement test dapat dilihat di kampus-kampus, di mana nilai akhir UN digunakan sebagai syarat masuk sebuah universitas.

Pada level yang lebih spesifik, nilai UN juga digunakan sebagai penjurusan program studi universitas.

Di level yang berbeda, nilai UN juga dapat digunakan untuk melamar pekerjaan atau menempati sebuah posisi. Pada titik ini, nilai UN dapat dilhat sebagai tolok ukur bagi peserta didik untuk dapat melanjutkan kariernya, baik melalui universitas maupun bekerja profesional.

Narasi berulang dalam pesta demokrasi

Pada putaran ketiga debat pilpres beberapa waktu lalu, biaya yang tinggi dijadikan salah satu alasan penghapusan UN oleh calon wakil presiden, Sandiaga Uno.

"Kami juga akan menghapus Ujian Nasional. Ini adalah salah satu sumber daya biaya yang tinggi bagi sistem pendidikan kita," ucapnya. Selanjutnya, UN akan diarahkan kepada penelusuran minat dan bakat siswa.

Benarkah UN menjadi salah satu sumber pembiayaan tinggi di pendidikan kita?

Mengutip pernyataan Sekretaris Badan Penelitian dan Penembangan Kemendikbud Dadang Sudiyarto, anggaran UN 2019 berkisar Rp 210 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp 500 miliar.

Dana yang berkurang dari periode sebelumnya ini terjadi karena sistem UN yang tidak lagi berbasis kertas serta pembiayaan pengawas oleh satuan pendidikan melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Lebih lanjut, dengan anggaran Rp 210 miliar untuk UN, maka rata-rata dana operasional per siswa sebesar Rp 55.000. Hal ini jauh lebih efektif jika berkaca pada pelaksanaan UN tahun 2012 yang menelan hingga Rp 600 miliar dengan biaya operasional per siswa sebesar Rp 50.000.

Narasi lainnya dikemukakan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo. Pada tahun 2014, Jokowi berkampanye bahwa UN bagi pelajar SD dan SMP akan ditiadakan, sedangkan UN bagi SMA digunakan sebagai pemetaan kualitas pendidikan.

Namun, kebijakan itu tidak berjalan sepenuhnya pada masa pemerintahannya, UN tetap dilaksanakan, tetapi hanya dihilangkan fungsinya sebagai satu-satunya tolok ukur standar kelulusan peserta didik.

Ini memperlihatkan perbedaan kacamata bagaimana mereka melihat UN itu sendiri. Sandiaga Uno lebih melihat UN dalam sudut pandang anggaran serta UN sebagai placement test, sementara Joko Widodo pada 2014 lebih melihat UN dalam sudut pandang diagnostic evaluation.

Yang menarik diamati, narasi penghapusan UN muncul menjelang pesta demokrasi alias pemilu. Tepatnya saat kampanye capres-cawapres berlangsung.

Tidak mustahil jika ini kemudian dikaitkan dengan proses perolehan suara oleh pemilih pemula, yang tentu baru saja mengalami suka-duka UN.

Data dari Kompas dan Komisi Pemilihan Umum, misalnya, menegaskan bahwa pada tahun 2014, gabungan angka pemilih pemula (17-20 tahun) dan pemilih muda (17-30 tahun) sekitar 60 juta jiwa.

Hal ini bertambah di pemilu 2019 kali ini dimana jumlah gabungan pemilih pemula dan muda diperkirakan mencapai 100 juta dari 186.379.878 jumlah daftar pemilih tetap.

Akan dibawa ke mana?

Perlu kita akui, UN sendiri sedikit banyak memberikan dampak bagi siswa. Pada beberapa penelitian, UN menimbulkan kecemasan, perasaan gelisah hingga tertekan secara mental.

Namun, dengan tidak menyampingkan aspek psikologis di atas, penghapusan UN memang memerlukan kajian panjang.

Harus diakui, pada kenyataannya UN di Indonesia belum bisa dikatakan sempurna. Misalnya, kasus jual-beli jawaban beberapa tahun silam ataupun penggunaan UN berbasis komputer yang belum bisa merata di semua sekolah.

Namun, penghapusan UN tidak serta-merta membuat kondisi pendidikan kita jauh lebih baik. UN sebagai sebuah kebijakan memang tidak bisa dilepaskan dari arus kritik. Ini karena perspektif fungsinya yang beragam, baik sebagai summative evaluation, diagnostic evaluation, maupun placement test, pintu kritik tentu terbuka lebar.

Namun, penting juga untuk dicatat, sesuai fungsinya menurut Permendikbud Nomor 4 Tahun 2018, bahwa UN dilaksanakan untuk meningkatkan mutu penilaian hasil belajar serta peningkatan standar kompetensi lulusan nasional.

Oleh karena itu, UN memang harus dipandang secara lebih holistik. UN tidak bisa dilepaskan dari variabel guru, sekolah, siswa, anggaran, hingga perangkat soal yang digunakan.

Kajian-kajian yang mendalam sangat diperlukan untuk menentukan masa depan UN itu sendiri. Bukan sebagai narasi politik lima tahunan sekali.

Indra Dwi Prasetyo
Mahasiswa Magister Pendidikan, Monash University Australia
Vice President of Media and Communication PPI Australia 2018-2019

https://edukasi.kompas.com/read/2019/04/28/08000061/meraba-nasib-ujian-nasional-usai-pesta-politik

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke