Salin Artikel

Soal Pemindahan Ibu Kota, President University Ingatkan Kota Komersial

KOMPAS.com - Wacana pemindahan Ibukota pemerintahan mendorong berbagai pihak memberikan tanggapan dan masukan. Kalangan akademisi, termasuk mahasiswa turut memberikan beragam rekomendasi mengenai wacana ini.

Salah satunya mengemuka pada diskusi “Pandangan dan Masukan Tentang Pemindahan Ibu Kota Ditinjau Dari Aspek Ekonomi, Sosial, Politik, dan Lingkungan” yang diadakan Senat Mahasiswa President University, Cikarang di Menara Batavia, Jakarta (Rabu, 15/5/2019).

Dalam sambutannya, S.D. Darmono pendiri President University dan pendiri Jababeka mengingatkan pemindahan Ibu Kota Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman negara lain seperti Australia, Brasil dan juga Malaysia.

"Tidak kalah penting, selain wacana pemindahan Ibu Kota, masalah pembangunan kota-kota komersial baru tidak boleh dilupakan. Amerika berhasil memisahkan ibu kota pemerintahan dari ibu kota komersial, namun kota-kota komersial lain berkembang sangat maju. Demikian halnya dengan Australia," jelas S.D. Darmono. 

Perencanaan zonasi ibu kota  

Dalam acara dihadiri 19 perwakilan mahasiswa President University dari beragam kota Indonesia, mencuat beberapa alasan mendesaknya pemindahan Ibu Kota Pemerintahan dari Jakarta mendesak untuk perlu dilakukan.

"Fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis, dan jasa sayangnya tidak diimbangi mobilitas yang efektif dan efisien akibat masalah kemacetan di Jakarta. Hal ini mengakibatkan jalannya kegiatan pemerintahan, bisnis, dan jasa tidak berjalan efektif dan efisien, sehingga berdampak pada kerugian ekonomi,” kata Devany dari jurusan Manajemen.

Untuk itu, jika terlaksana, pemindahan ibu kota sudah semestinya terencana dengan baik sehingga menghindari kembali terjadinya kerugian ekonomi di masa datang. Devany mengusulkan agar perencanaan calon ibu kota mendatang dibagi dalam zonasi jelas.

“Ibu kota baru bisa dibagi dalam lima zonasi yang jelas. Zona pertama berada di pusat diperuntukkan bagi kantor dan instalasi pemerintahan, di susul dengan zona diplomatik dan perwakilan internasional," jelasnya

Zona ketiga merupakan wilayah pendukung terdiri dari sarana pendidikan maupun kesehatan dan lainnya. Zona ke empat dan ke lima merupakan wilayah pemukiman berbagai tipe dengan fasilitas umum dan sosial. "Seluruh zona harus terhubung dengan infrastruktur yang baik,” tambahnya Devany.

Harapan "efek berantai"

Tamara dari jurusan Hubungan Internasional menambahkan pada konteks politik keindonesiaan, wacana pemindahan ibu kota ke luar Jakarta terutama berada di luar Pulau Jawa merupakan langkah menepis anggapan kecenderungan "Jawa sentris" dalam pembangunan Indonesia.

Pada tataran tertentu, hal ini menimbulkan dampak politis sangat kuat, yaitu adanya suatu wajah baru Indonesia yang selama ini kerap disebut sebagai terlalu bertumpu pada berbagai proses di Pulau Jawa.

Ia menambahkan, timbulnya ibu kota baru akan menimbulkan "multiplier effect", karena diikuti dengan perpindahan sumber daya manusia. “Perpindahan itu diikuti dengan pertumbuhan demand atau permintaan warga yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan kegiatan perekonomian yang merata," jelasnya.

Tamara juga mengingatkan pemindahan ibu kota tidak hanya menyangkut persoalan teknis, namun juga proses politik mengingat posisi Jakarta sebagai ibu kota negara tercakup dalam UU Nomor 10  tahun 1964 tentang pernyataan DKI Jakarta Raya Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

“Ini melibatkan proses politik antara pemerintah dengan DPR. Tapi lebih luas, prose politik itu tidak hanya sebatas pada tataran legislasi, tapi pada komitmen politik untuk mengawal kesepakatan yang akan dicapai,” kata Tamara.

Hal ini kembali ditegaskan Wakil Rektor IV, Handa S. Abidin, "Pemindahan ibu kota pemerintahan tidak hanya dapat dilihat dari aspek cost and benefit saja karena membutuhkan komitmen politik."

Selain itu, pendidikan sebagai pondasi dasar pembangunan ibu kota baru maupun kota-kota komersial di Indonesia juga menjadi catatan penting diberikan dalam forum diskusi tersebut.

"Pendidikan nantinya harus disesuaikan dengan kekuatan setiap kota atau daerah. Pendidikan Papua atau Maluku jangan disamakan dengan Jakarta. Pendidikan ini nantinya akan menumbuhkan ekonomi. Ibu kota pemerintahan maupun ibu kota komersial setiap daerah nanti akan tumbuh," jelas S.D. Darmono.

Melihat unsur efisiensi, ia mendorong agar pemindahan ibu kota pemerintah tetap dilakukan di Pulau Jawa dengan melihat kesiapan infrastruktur, misalnya Yogyakarta sebagai alternatifnya.

"Kalau harus membangun ibu kota baru apalagi di luar Jawa itu sangat mahal sekali dan belum tentu satu periode pemerintahan selesai. Belum lagi kesiapan pejabat pemerintahan kita jika harus pindah bersama dengan keluarga ke luar Jawa," ujarnya.

Oleh karena itu, sebagai pendiri President University S.D. Darmono selalu mengingatkan lulusan President University untuk kembali membangun daerah asal masing-masing.

"Silahkan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya ke Amerika, Jepang, Singapura atau Jakarta. Tapi setelah mendapatkan teknologi, kapital dan jaringan kembali ke daerah masing-masing untuk membangun daerahnya," kata S.D. Darmono.

Lewat cara ini, di manapun ibu kota pemerintah nantinya, diharapkan akan lahir banyak ibu kota komersial di Indonesia yang menjadikan Indonesia kekuatan baru di kancah persaingan ekonomi dunia.

https://edukasi.kompas.com/read/2019/05/15/21141791/soal-pemindahan-ibu-kota-president-university-ingatkan-kota-komersial

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke