Hal tersebut dipaparkan staf pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia Donny Adian Gahral, Senin (27/5/2019). Terlebih, menurut Donny, setelah meletusnya kericuhan antara aparat dengan massa pada 22 Mei lalu konten sosmed penuh informasi menyesatkan.
Donny menilai langkah pemerintah sudah tepat karena kebebasan berpendapat dalam hak asasi manusia tidak mutlak.
"Kalau kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah belah, dan memanipulasi informasi bisa dibatasi, apalagi saat situasi genting dimana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," kata Donny.
Untuk itu, Donny mengajak pengguna medsos agar tak gampang mengirim atau malanjutkan (forward) informasi dari sumber yang dirasa masih meragukan.
"Supaya tercipta masyarakat yang sehat dan kritis. Mereka tidak gampang termakan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," kata Donny.
Sementara itu, pemerhati komunikasi Fetty Azizah juga menilai positif langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut. Fetty mengatakan, tanpa ketertiban, di dalam negara demokrasi seperti Indonesia hanya akan menghasilkan sikap anarki.
"Konten hoaks yang tidak berbasis fakta bisa menimbulkan instabilitas. Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di sosmed pada kenyataannya tidak bisa dijamin oleh penyedia platform, seperti instagram facebook, atau Whatsapp, dan lainnya," tambah Fetty.
Dia mencontohkan pada beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan sosmed. Pengguna yang melanggar aturan itu akan dikenakan sanksi hukum.
"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten sosmed semata untuk menciptakan ketertiban (order) di sosmed. Jadi, untuk alasan menjaga ketertiban umum memang diperlukan pembatasan-pembatasan," ujarnya.
Fetty mengingatkan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa aturan.
"Demokrasi itu hanya bisa tegak kalau ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," ucapnya.
Merujuk data Kominfo pada April 2019 ditemukan sebanyak 486 hoaks. Dari jumlah itu sebanyak 209 termasuk dalam kategori hoaks politik.
Sementara itu, sepanjang Agustus 2018 hingga April 2019 ditemukan 1.731 hoaks. Hoaks politik yang beredar antara lain berupa kabar bohong yang menyerang capres-cawapres, parpol peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
https://edukasi.kompas.com/read/2019/05/27/15263921/akademisi-ui-langkah-pemerintah-batasi-penyebaran-konten-medsos-tepat