Salin Artikel

Mendikbud Minta Orangtua Tidak Resah soal Zonasi PPDB 2019, Alasannya?

KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta orangtua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan dengan penerapan zonasi pendidikan pada PPDB 2019.

Hal ini disampaikan Mendikbud pada Rapat Koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan jajarannya di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Jumat (14/6/2019).

"Penerapan sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat," tambahnya.

Ubah cara pandang

Dilansir dari rilis resmi Kemendikbud (18/6/2019) Mendikbud mengajak para orang tua agar dapat mengubah cara pandang dan pola pikir terkait "sekolah favorit/unggulan". Ia memahami masyarakat masih resisten dengan konsep ini.

Dikatakan Mendikbud, jangan sampai sekolah mengklaim sebagai unggulan hanya karena menerima anak-anak pandai dan umumnya dari keluarga ekonomi menengah ke atas yang mampu memberikan fasilitas penunjang belajar anak.

Sekolah, khususnya sekolah negeri harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali.

"Prestasi itu tidak diukur dari asal sekolah, tetapi masing-masing individu anak yang akan menentukan prestasi dan masa depannya. Pada dasarnya setiap anak itu punya keistimewaan dan keunikannya sendiri. Dan kalau itu dikembangkan secara baik itu akan menjadi modal untuk masa depan," ujar Muhadjir Effendy.

"Ke depan, yang unggul itu individu-individunya. Sekolah hanya memfasilitasi belajar siswa," tambahnya.

Semua bisa sekolah

Pendekatan zonasi pada PPDB dimaksudkan memberikan akses lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi.

"Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya," terang Mendikbud.

"Karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Cirinya harus non excludable, non rivarly, dan non discrimination," ungkapnya.

Apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya.

Pendidikan karakter

Mendikbud juga menjelaskan pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Dijelaskan Mendikbud, sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara, pemerintah mendorong sinergi antara pihak sekolah (guru), rumah (orangtua), dan lingkungan sekitar (masyarakat).

Ekosistem pendidikan yang baik tersebut diyakini dapat mudah diwujudkan melalui pendekatan zonasi. Mendikbud memberikan contoh negara maju yang turut menerapkan zonasi pendidikan seperti Jepang.

Saat jarak sekolah dekat dengan tempat tinggal, kemudian siswa jenjang pendidikan dasar bisa berjalan kaki ke sekolah. Dalam proses berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki itu, siswa bisa belajar etiket sebagai warga negara.

Nilai sopan santun, peduli lingkungan, dan berbagai macam kegiatan terkait pendidikan karakter dan budi pekerti dapat ditanamkan dengan sistem zonasi ini. "Orang tua dan masyarakat sekitar ikut terlibat dalam pendidikan karakter," katanya.

https://edukasi.kompas.com/read/2019/06/19/15072741/mendikbud-minta-orangtua-tidak-resah-soal-zonasi-ppdb-2019-alasannya

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke