KOMPAS.com - Rendahnya minat dan kebiasaan membaca di Indonesia masih sangat dirasakan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya akses, terutama untuk di daerah terpencil.
Hasil dari Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kemendikbud menunjukkan bahwa sembilan provinsi memiliki literasi tingkat sedang, 24 provinsi rendah, dan satu provinsi sangat rendah.
Menurut Lukman Solihin, peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud, salah satu cara untuk meningkatkan tingkat literasi itu melalui pemanfaatan teknologi internet.
Internet untuk pendidikan
Sesuai data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tercatat lebih kurang 143 juta pengguna intenet di Indonesia pada tahun 2017. Jumlah itu bisa dibilang cukup banyak, meski harus diakui penyebarannya belum merata.
Maka dari itu, pemerintah dan semua pihak ditantang mampu memanfaatkan internet dalam dunia pendidikan, termasuk untuk menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca.
“Ada tantangan untuk pemanfaatan media pendidikan. Sebagian besar internet dimanfaatkan untuk media sosial, masih kurang sebagai sarana edukasi. Artinya potensial, tapi belum dimanfaatkan dengan baik,” ucap Lukman di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Dari hasil Indeks Alibaca itu, penggunaan internet masuk ke dimensi alternatif, di mana sebanyak satu provinsi memiliki akses yang tinggi, 17 provinsi sedang, dan 16 provinsi rendah. Provinsi yang aksesnya tertinggi adalah DKI Jakarta.
Peralihan cetak ke digital
Hal itu bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak sekolah yang sudah memiliki gawai (gadget) berupa ponsel sendiri dan bisa memakainya untuk mengakses internet dengan berbagai keperluan.
Namun, kebanyakan dari mereka menggunakannya melihat media sosial. Seharusnya ponsel itu bisa digunakan untuk keperluan yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah, misalnya mengunduh buku digital.
Lukman menuturkan, jika dilihat dari perkembangan zaman, ada kecenderungan secara internasional bahwa pembaca buku sekarang mulai beralih dari buku cetak ke buku digital, tetapi belum begitu banyak.
“Terutama di kota-kota besar, siswa sudah mulai pegang handphone, tapi umumnya untuk medsos. Jika bisa diintroduksi untuk kebiasaan mereka membaca buku, justru bukan beralih dari cetak ke digital, tapi memulainya dari digital, atau simbiosis,” ujarnya.
Jangkau wilayah pelosok
Dia pun mengungkapkan hasil lain dari Indeks Alibaca, yaitu dari dimensi kecakapan, sebanyak enam provinsi dalam tingkat sangat tinggi dan 28 provinsi tinggi. Kemudian, dari dimensi akses, tiga provinsi di tingkat sedang, 16 provinsi rendah, dan 15 provinsi sangat rendah.
Berikutnya, dari dimensi budaya, sebanyak tiga provinsi tingkat sedang, 29 provinsi rendah, dan dua provinsi sangat rendah.
Sebelumnya, Lukman mengatakan, keterbatasan akses itu bisa diatasi, misalnya dengan memanfaatkan teknologi internet dan gawai (gadget) serta perangkat elektronik lain, terutama untuk sekolah di daerah pelosok desa.
Biasanya di daerah tersebut masih susah ditemui toko buku dan perpustakaan yang memadai. Bahkan untuk pengiriman buku juga masih mengalami kesulitan. Maka dari itu, guru bisa mengakali dengan mengunduh buku digital lalu dibacakan kepada para siswa di kelas.
“Untuk mengatasi keterbatasan akses, misalnya guru di daerah terpencil bisa mengunduh buku digital, lalu ditampilkan ke proyektor dan dibaca sama-sama di kelas,” tambahnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/06/23/07112161/dapatkah-internet-jadi-solusi-meningkatkan-literasi-indonesia