Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rencana Rektor Asing Dinilai Tidak Efektif, Ini Alasannya

Ada pihak yang menganggap kehadiran rektor asing diperlukan sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi itu sehingga mampu bersaing secara internasional. Namun, ada juga pihak yang tidak setuju dengan pendapat itu.

Menurut Pelaksana Tugas Rektor Universitas Budi Luhur, Wendi Usino, keberadaan rektor asing untuk memimpin suatu kampus di Indonesia tidak efektif karena berhubungan dengan dua alasan, yaitu masalah budaya dan pembiayaan.

Bagi dia, perbedaan budaya dari negara asal rektor asing tersebut dengan budaya Indonesia akan membuat kesulitan tersendiri dalam menata manajemen kampus. Dibutuhkan penyesuaian budaya yang tidak mudah dan waktu yang tidak sebentar.

Dua pertimbangan pokok

“Rektor asing boleh saja, tapi tidak efektif. Misalnya dia harus menyesuaikan dengan budaya untuk menggerakkan orang-orang di kampus tersebut. Itu tidak mudah,” ujar Wendi saat ditemui Kompas.com di kampus Universitas Budi Luhur, Jakarta, Rabu (14/8/2019).

Hal yang dimaksud dari menggerakkan orang-orang di kampus adalah membuat aturan tentang sistem pengelolaan dan kehidupan di kampus kepada para dosen, mahasiswa, dan karyawan kampus.

Terlebih lagi, pada era perkembangan informasi dan demokrasi seperti sekarang ini, tidak semua orang akan langsung setuju dengan regulasi baru yang dibuat oleh rektor asing. Faktor utamanya yakni perbedaan budaya tersebut.

“Jadi tidak mudah rektor asing untuk menggerakkan roda operasional kampus di Indonesia. Apalagi di era keterbukan ini, tidak semuanya menurut, pasti ada yang melawan. Itu yang bikin tidak efektif,” imbuh Wendi.

Alasan kedua yang membuat tidak efektifnya rektor asing di Tanah Air yaitu menyangkut pembiayaan gaji atau penghasilannya. Tentunya rektor asing akan menuntut gaji yang lebih tinggi dibanding rektor yang merupakan warga negara Indonesia (WNI).

Padahal, tingginya gaji yang didapatkan itu belum tentu memberikan hasil maksimal bagi kampus yang dipimpinnya. Artinya, tidak ada jaminan peningkatan kualitas kampus tersebut, misalnya dari segi mahasiswa, fasilitas, dan sistem pembelajaran.

Selain itu, kesenjangan perbedaan gaji itu akan menimbulkan kecemburuan sosial dari rektor yang WNI karena mereka pun merasa mampu memimpin suatu perguruan tinggi walaupun gajinya tidak setinggi itu.

“Masalah kedua soal remunerasi yang diberikan. Berapa yang harus dibayar ke rektor asing itu? Bisa menimbulkan kecemburuan karena banyak profesor kita yang mampu, lalu masuk rektor asing yang tidak mau gajinya sama dengan rektor kita,” ucap Wendi.

Dia pun mencontohkan pengalaman dari temannya yang merupakan seorang diaspora dan diundang untuk menjadi rektor suatu kampus swasta ternama di Indonesia. Orang tersebut dianggap mempunyai kemampuan yang mumpuni dan jaringan yang luas.

Makanya, dia diberikan gaji yang jauh lebih besar dibanding rektor lokal. Namun, ternyata perkembangan kampus yang dipimpinnya itu tidak sebagus yang diharapkan, termasuk dalam penilaian akreditasi.

Untuk itu, Wendi mengimbau pemerintah agar mempertimbangkan kembali rencana menghadirkan rektor asing di Indonesia dan memikirkan berbagai pengaruhnya, baik langsung maupun tidak langsung, secara lebih matang dan mendalam.

Sebab, hal itu menyangkut kepentingan masyarakat umum, khususnya masa depan dunia pendidikan di Tanah Air.

https://edukasi.kompas.com/read/2019/08/14/19520181/rencana-rektor-asing-dinilai-tidak-efektif-ini-alasannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke