KOMPAS.com - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menganggap penelitian dan pengabdian masyarakat penting dilakukan, tetapi hal itu membutuhkan dana.
Padahal, selama ini dana penelitian dan pengabdian masyarakat belum dinilai penting, sedangkan yang menjadi prioritas yaitu dana pendidikan.
Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristekdikti Ocky Karna Radjasa mengungkapkan, pihaknya telah mengusulkan sejumlah perubahan untuk memperbaiki kualitas penelitian di Indonesia.
Perubahan itu termasuk menambah dana untuk biaya penelitian. Dia mengatakan tiga hal mengenai penelitian dan sumber pendanaannya.
Dana abadi riset
“Pertama, penelitian tidak hanya dari perguruan tinggi. Semua pihak termasuk swasta dan LSM, kami mungkinkan untuk melakukan penelitian. Kedua, penelitian boleh multisumber. Ketiga, pendanaan multitahun bisa 3-5 tahun," ujar Ocky melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (20/8/2019).
Ocky menambahkan untukmulti tahun ada jaminan untuk diprioritaskan. "Ini akan mendorong kolaborasi. Sementara untuk keterbatasan alat riset, Pak Menteri mendorong sinergi dalam konsorsium,” ujarnya
Dia menyebutkan, saat ini Kemenristekdikti masih membahas mengenai bentuk investasi dana abadi riset. Namun, dijamin bahwa keuntungan dari dana abadi itu akan diprioritaskan untuk riset nasional.
Dia pun megakui dana pengabdian masyarakat masih lebih kecil dibandingkan dengan pendidikan dan penelitian. Supaya hasil dari pengabdian masyarakat lebih maksimal, dibutuhkan dana lebih kurang Rp 400 miliar.
“Kami antisipasi juga untuk dana abadi riset. Ini masih dibahas bentuk investasinya. Nanti keuntungan dari dana abadi salah satu prioritasnya untuk riset nasional. Idealnya, Rp 400 miliar itu pengabdian masyarakat baru ada dampaknya. Kalau kurang dari itu, kasihan teman-teman dosen,” imbuh Ocky.
Regulasi adaptif
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia Yos Johan Utama mengatakan hal serupa. Dia menuturkan, akibat tidak adanya dana penelitian, sekarang ini banyak dosen yang tidak melanjutkan pendidikan menjadi profesor atau S3.
Maka dari itu, pihaknya pun membuat insentif kepada para dosen itu agar mereka mau meningkatkan keinginan untuk melanjutkan pendidikan.
“Kami ada insentif (agar dosen mau kuliah lagi dan melakukan penelitian). Karena bila tidak, mereka mending mengajar tanpa risiko. Karena mereka ada separuh dosen senior sampai kita biayai untuk kuliah tetap tidak mau,” ucap Yos yang menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro, Semarang, tersebut.
Menurut dia, banyak alat penelitian di Indonesia yang sudah ketinggalan zaman. Makanya, dia setuju jika ada regulasi yang mendorong agar para dosen mau belajar lagi. Namun, jangan sampai regulasi itu malah menjadi penghambat.
Seharusnya regulasi bukan menjadi penghambat, melainkan menambah progres, dan mendorong orang ke arah yang diharapkan pemerintah dalam membangun sumber daya manusia.
“Yang saya khawatirkan, kita tidak bisa buat regulasi yang adaptif untuk seluruh perguruan tinggi, jangan sampai (regulasi yang) Jakarta view. Menurut saya, kebijakannya harus bisa mempersatukan perbedaan,” tambahnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/08/20/13431751/kemenristekdikti-siap-tambah-dana-untuk-tingkatkan-penelitian